Oleh: Agusliadi Massere*
Ada beberapa hal telah menjadi pemantik diri untuk menuliskan tema ini. Beberapa tahun yang lalu, saya menemukan gambar dari hasil searching di Google; gambar itu adalah sebuah patung di Jepang yang menunjukkan dan mengandung “pesan inspiratif” bahwa “bobotmu tidak ditentukan dari ukuran tubuhmu, melainkan dari berapa banyak buku yang kamu baca”; dan gambar itu pulalah yang menjadi gambar ilustrasi dari tulisan ini.
Dua tahun yang lalu, saya membaca tulisan Rektor UIN Salatiga (pada saat itu masih bernama IAIN Salatiga), Prof. Zakiyuddin Baidhawy, yang terbit di media online (ibtimes.id, 15/04/2020). Judul tulisannya, “Jihad Akbar itu dengan Pena, bukan Pedang”. Pekan lalu, saya membeli buku bekas dan murah, judulnya Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban; dan dalam buku ini, penulisnya, Suherman (Pendiri dan Ketua Masyarakat Literasi Indonesia, dan motivator kesadaran membaca) menegaskan satu hal menarik dan itu pula yang memantik diri ini.
Suherman dalam buku karyanya menegaskan, “Membaca adalah jihad dengan aksara dan buku merupakan bahan pokok yang lebih utama dari sembako”. Berbeda dengan para Mahaguru Peradaban yang diuraikan Suherman dalam bukunya, saya sendiri belum sampai ke maqam intelektual, psikologis, spiritualitas yang berkesimpulan bahwa “buku lebih utama dari sembako”.
Suherman menyebutkan ciri-ciri mereka yang sudah sampai pada maqam pecinta ilmu antara lain: makannya cepat, jalannya cepat, dan menulisnya cepat. Meskipun saya memiliki ciri-ciri yang disebutkan Suherman ini, ditambahkan lagi, saya telah memiliki koleksi buku sebanyak 1.027 buah dengan judul dan genre yang beragam, dan bahkan saya lebih senang beli buku daripada pakaian, namun, saya belum berani memiliki kesimpulan yang sama dengan Suherman: buku lebih utama daripada sembako.
Namun, saya sepakat bahwa idealnya membaca harus dipandang pula sebagai jihad, dan buku adalah kebutuhan pokok. Perubahan dan kemajuan mutakhir peradaban hari ini, harus terjadi transformasi pemaknaan bahwa yang dipandang jihad bukan hanya sesuatu yang identik dengan “perang”, “pertumpahan darah”, “bom bunuh diri”, dan/atau sesuatu yang masih dipandang identik dengan “kekerasan”.
Berdasarkan yang diuraikan oleh Zakiyuddin dalam tulisannya tersebut, bisa dipahami bahwa menggeser makna jihad tersebut dan dilekatkan dalam aktivitas membaca, memang terasa berat. Mengapa? Zakiyuddin menemukan literaturnya bahwa: jihad [dalam pengertian yang saya sebutkan di atas] memiliki basis pengalaman empirik sekaligus legitimasi teologis-yuridis yang telah berurat berakar lebih dari 14 abad lamanya dan meliputi sejarah kawasan yang membentang dari Spanyol hingga Asia Tengah; ada sekte Islam ekstrem yang menempatkan jihad (perang suci) sebagai bagian dari rukun Islam; dan selain Al-Qur’an, hadis juga sering memaknai jihad sebagai tindakan perang.
Lalu, apakah keliru ketika membaca dimaknai sebagai Jihad? Berdasarkan yang saya pahami salah satunya dari Zakiyuddin, itu tidak keliru. Jihad secara harfiah adalah berusaha sungguh-sungguh atau bekerja keras. Selain itu membaca juga merupakan kristalisasi daripada perintah “iqra”.
Membaca pun jika kita mendalami makna dan praksisnya memiliki korelasi positif dengan ungkapan Rasulullah Muhammad saw sepulang dari Perang Badar “Kita baru kembali dari jihad kecil (jihad al-ashgar) menuju jihad besar (jihad al-akbar). Lalu, apakah jihad besar itu? Ternyata jawabannya adalah “jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs)”. Membaca adalah modal utama mendapatkan pengetahuan untuk melawan hawa nafsu.
Jika kita mencermati substansi perang, selain tujuannya untuk pembelaan diri, seringkali berorientasi pada penaklukan dan kekuasaan. Terutama penaklukkan wilayah geografis dan kekuasaan fisik-material, tentunya dan sangat rasional jika masih diupayakan dalam bentuk perang dan seringkali dilabeli sebagai jihad. Dan memang, secara historis seringkali yang dimaknai jihad pun bernuansa politis.
Berbeda dengan era sebelumnya, hari ini penaklukan dan kekuasaan seringkali tidak lagi dalam makna geografis dan fisik-material. Namun, dalam wujud yang berbeda dan sama sekali jauh dari sesuatu yang harus diupayakan melalui perang. Sehingga power yang dibutuhkan bukan lagi dalam makna yang identik dengan konsep martir.
Hari ini dengan kemajuan yang ada—meskipun produksi senjata canggih seperti nuklir masih terus dilakukan—tetapi haru memiliki kekuatan lain. Ada yang memaknai knowledge is power. Ada pula yang memaknai speed is power. Kedua jenis kekuatan ini, pada substansinya adalah identik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jika kita mencermati dan memahami dengan baik, kedua kekuatan yang disebutkan di atas, baik yang dimaknai “knowledge” dan “speed” di atas, pada dasarnya metode penguasaannya adalah dengan aktivitas yang disebut dengan “membaca”. Instrumen utamanya pun yang dinilai masih yang terbaik hari ini, sesungguhnya adalah “buku”.
Mencermati perjalanan sejarah peradaban yang ada, pencapaian kejayaannya seringkali identik dengan masifnya aktivitas “membaca” atau dalam pemaknaan sebagaimana tafsir M. Quraish Shihab dari kata “iqra”. Peradaban Islam melejit secara cepat dan menjadi peradaban unggul pada saat itu, dan bahkan dipandang memiliki kontribusi besar menyelematkan Barat dari “era kegelapan” itu karena perkembangan ilmu pengetahuan, dan bisa dipastikan di dalamnya ada aktivitas “membaca” meskipun bukan dalam makna sempit, melainkan mencakup di dalamnya membaca secara filosofis sebagaimana perspektif Hassan Hanafi.
Ada banyak para Mahaguru Peradaban yang disebutkan Suherman dalam bukunya tersebut. Abu Thahir as-Salafi, Ismail bin Ahmad al-Hairi an-Naisaburi, Ibnu Hajar, Syekh Abu Ali, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, An-Nawawi dan masih banyak lagi yang tidak muat untuk saya tuliskan di sini adalah para Mahaguru Peradaban yang bisa dinilai sangat “gila membaca”.
Dalam literatur sejarah perjuangan dan pejuang Indonesia, kita bisa menjumpai sosok yang menunjukkan memiliki semangat membaca yang sangat besar. Seperti Muhammad Hatta yang menegaskan “rela dipenjara asalkan bersama dengan buku” itu berarti selain memiliki semangat membaca yang besar, termasuk kecintaannya terhadap buku sangat tinggi.
Hari ini, meskipun buku konvensional bukan lagi satu-satunya sebagai sumber bacaan, namun idealnya buku masih merupakan kebutuhan pokok. Di balik urgensi membaca, dan signifikansi kebutuhan terhadap buku, di dalamnya pun tersirat terkait relevansi dan implikasi besar dari aktivitas menulis.
Keberadaan buku memiliki peran strategis dalam kehidupan, baik secara personal maupun secara kolektif yang lebih luas, tanpa kecuali untuk membangun peradaban. Jika melihat dari lembaran sejarah peradaban, kita bisa menemukan satu kesimpulan dan bisa dipandang sebagai embrio awal mula terpuruknya peradaban Islam, adalah ketika buku-buku itu atau perpustakaan yang dimiliki mulai dihancurkan dan/atau dibakar oleh para penakluk dunia Islam.
Melalui tulisan ini, saya sebenarnya punya harapan besar, agar siapa saja terutama yang terlibat dalam dunia pendidikan, sikap dan perilakunya tidak menunjukkan hal paradoks dari peran dan lingkungannya. Kita dan/atau mereka idealnya harus memiliki semangat membaca yang besar bahkan dipandang sebagai “jihad” serta senang membeli dan mengoleksi “buku”.
Memahami pandangan Nicholas Carr dalam buku karyanya The Shallows, membaca buku cetak, ketimbang membaca melalui instrumen lainnya seperti ebook, masih lebih utama. Yang saya pahami pun, buku masih bisa dipandang dan diyakini sebagai instrumen keilmuan yang terbaik dibandingkan hanya dengan menghabiskan waktu berselancar di Google. Google, meskipun tetap menawarkan kemudahan dan kecepatan, tetapi masih perlu dibayar dengan harga mahal dengan “dangkalnya kemampuan berpikir atau daya analisa manusia”.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023