Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Membangun Nilai Utama Muhammadiyah di Kampus, Lingkungan, dan Masyarakat

×

Membangun Nilai Utama Muhammadiyah di Kampus, Lingkungan, dan Masyarakat

Share this article

 

Oleh: Anggy Selviana Devi*

Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) adalah salah satu mata kuliah wajib yang merupakan bagian integral dari kurikulum yang diberikan pada setiap lembaga pedidikan Muhammadiyah, dengan harapan dapat mempengaruhi karakter para mahasiswa baik selama proses pendidikan berlangsung terlebih setelah mereka lulus nantinya. Dengan demikian maka target yang hendak dicapai untuk menjadikan lulusan pendidikan Muhammadiyah yang memiliki akidah yang benar, akhlak yang mulia, cerdas, terampil dan siap mengabdi bagi kepentingan agama Islam dan masyarakat dapat terwujud.

Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) ini menjadi ciri khas dari lulusan Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMa) yang nantinya akan mengabdi dalam masyarakat, yang akan bertemu dengan banyak jenis organisasi keIslaman. Dengan bekal Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) tersebut, mahasiwa diharapkan mampu membedakan dan paham apa organisasi Islam yang murni dan yang tidak murni.

Bekal keislaman yang diharapkan dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi Muhammadiyah melalui pembelajaran Al-Islam Kemuhammadiyahan (AIK) adalah mahasiswa memiliki bekal keIslaman yang kuat, memahami arti perjuangan muhammadiyah, toleransi, mengetahui asal-usul atau sejarah pendirian muhammadiyah serta seluk beluk organisasi ini.

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang KH Ahmad Dahlan memilih nama Muhammadiyah  yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.

Muhammadiyah secara etimologis berarti pengikut nabi Muhammad, karena berasal dari kata Muhammad, kemudian mendapatkan ya nisbiyah, sedangkan secara terminologi berarti gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dan tajdid, bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Berkaitan dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah secara garis besar faktor penyebabnya adalah pertama, faktor subyektif adalah hasil pendalaman KH. Ahmad Dahlan terhadap al-Qur’an dalam menelaah, membahas dan mengkaji kandungan isinya. Kedua, faktor obyektif  di mana dapat dilihat secara internal dan eksternal. Secara internal ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagiab besar umat Islam Indonesia.

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah berpandangan bahwa Agama Islam menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-’alamin dalam kehidupan di muka bumi ini.

***

Dalam Muhammadiyah sendiri mengusung nilai-nilai utama dalam kehidupan. Nilai utama yang diusung Muhammadiyah itu adalah: Pertama, ketauhidan untuk kemanusiaan. Tauhid merupakan asas paling mendasar dalam Islam. Tauhid dalam Islam tidak terbatas menyangkut aspek iman untuk mengesakan Tuhan semata. Bersamaan dengan itu, tauhid maupun iman dan takwa terkait dengan urusan kemanusiaan dan kehidupa. ajaran tentang iman dan takwa dalam Alquran banyak disandingkan dengan perintah amal saleh dan kebaikan. Allah menegaskan dalam surah Al-Maun, orang disebut mendustakan agama karena tidak peduli pada kaum miskin dan anak yatim.

Kedua, nilai pemuliaan manusia. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran pentingnya memuliakan manusia atau jiwa dan fisik manusia agar dihargai dan diselamatkan. Jangan sampai diabaikan, disia-siakan, dan direndahkan. Berusaha maksimal mengatasi virus korona dan melakukan vaksinasi sama dengan ikhtiar memelihara dan memuliakan manusia sebagai makhluk Allah yang terbaik. Selanjutnya, nilai persaudaraan dan kebersamaan.

Haedar mengatakan, pandemi adalah masalah bersama. Tindakan satu orang berpengaruh terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar. Manusia tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah ini. ”Pandemi ini merupakan penderitaan semua umat manusia. Kaum beriman diajarkan untuk bersabar dan tawakal dalam menerima musibah. Namun, bukan berarti insan beriman abai dan tidak peduli terhadap keadaan, termasuk dalam merasakan penderitaan saudaranya yang terpapar dan lebih-lebih yang meninggal dunia. Karena itu, diperlukan rasa persaudaraan dan kebersamaan dari semua pihak sebagai wujud aktualisasi nilai utama agar menjalani kehidupan bersama.

Nilai berikutnya adalah kasih sayang. Ajaran kasih sayang dalam Islam sangat penting dan luas. Lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta’awun dalam wujud kepedulian, empati, simpati, kerja sama, dan kebersamaan atas nasib sesama. Jika tidak mau membantu sesama, jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan mengabaikan masalah.

Kemudian, nilai tengahan atau moderat. Moderat merupakan sinonim bahasa Arab dari tawasut, I’tidal, tawazun, dan iqtisad yang sangat selaras dengan konsep keadilan. Mengandung arti memilih posisi di tengah dan di antara titik-titik ekstrem. Berikutnya, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggung jawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan, dan melakukan vaksinasi.

Segala ikhtiar maksimal yang bersifat rasional-ilmiah dan spiritual-rohaniah harus terus dilakukan. Ketujuh, keilmuan atau ilmiah. Kedelapan nilai kemajuan. Pandemi meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pascamusibah.

Fenomena melorotnya akhlak generasi bangsa, termasuk di dalamnya para elit bangsa, acapkali menjadi apologi bagi sebagian orang untuk memberikan kritik pedasnya terhadap institusi pendidikan. Hal tersebut teramat wajar karena pendidikan sesungguhnya memiliki misi yang amat mendasar yakni membentuk manusia utuh dengan akhlak mulia sebagai salah satu indikator utama, generasi bangsa dengan karatekter akhlak mulia merupakan salah satu profil yang diharapkan dari praktek pendidikan nasional.

Adanya kata-kata berakhlak mulia dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia mencita-citakan agar akhlak mulia menjadi bagian dari karakter nasional. Hal tersebut diharapkan dapat terwujud melalui proses pendidikan nasional yang dilakukan secar berjenjang dan berkelanjutan. Terlebih bangsa Indonesia dengan mayoritas muslim menjadi daya dukung tersendiri bagi terwujudnya masyarakat dengan akhlak yang dilandasi oleh nilai-nilai Islam. Hal tersebut dikarenakan akhlak menjadi bagian integral dari struktur ajaran Islam (akidah, syariah dan akhlak).

Karakter ialah perilaku nilai-nilai manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang maha Esa, sesama manusia, lingkungan, diri sendiri, dan kebangsaan yang terwujud di dalam adat istiadat, budaya, tata kerama, hukum, pemikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama. Karakter yang mutlak dibutuhkan bukan hanya di lingkungan sekolah saja, tetapi di lingkungan sosial dan juga di lingkungan rumah. Bahkan sekarang ini pesertanya bukan lagi anak usia dini hingga remaja, tetapi juga meliputi usia dewasa. Di zaman ini kita akan berhadapan dengan persaingan termasuk rekan-rekan diberbagai belahan negara di dunia. Bahkan kita pun yang masih berkarya di tahun ini pasti akan merasa perasaan yang sama.

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, masyarakat atau pemerintah. Sekolah sebagai pembentuk kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak adalah dalam keluarga. Menurut Sayyidina Ali bin Abi Thalib (RA), seorang sahabat utama Rasulullah Muhammad (SAW) menganjurkan: Ajaklah anak pada usia sejak lahir sampai tujuh tahun bermain, ajarkan anak peraturan atau adab ketika mereka berusia tujuh sampai empat belas tahun, pada usia empat belas sampai dua puluh satu tahun jadikanlah anak sebagai mitra orang tuanya.

Ketika anak masuk ke sekolah mengikuti pendidikan formal, dasar-dasar karakter ini sudah terbentuk. Anak yang sudah memiliki watak yang baik biasanya memiliki achievement motivation yang lebih tinggi karena perpaduan antara intelligence quotient, emosional quotient dan spiritual  quotient sudah terformat dengan baik.

****

Seperti yang telah dijelaskan, bahwa lingkungan rumah dan keluarga memiliki andil yang sangat besar dalam pembentukan perilaku anak. Untuk itu pastilah ada usaha yang harus dilakukan. Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari (ummah) bangsa; dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri.

Bangsa terbaik (khayr ummah) yang merupakan ummah wahidah atau bangsa yang satu dan ummah wasath atau bangsa yang moderat, sebagaimana dicita-citakan Islam hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan dikembangkan atas dasar mawaddah warahmah. Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan Anas r.a, keluarga yang baik memiliki empat ciri. Pertama; keluarga yang memiliki semangat (ghirah) dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama dengan sebaik-baiknya untuk kemudian mengamalkan dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan seharihari.

Kedua, keluarga di mana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi; saling asah dan asuh. Ketiga, keluarga yang dari segi nafkah (konsumsi) tidak berlebih-lebihan; tidak ngoyo atau tidak serakah dalam usaha mendapatkan nafkah; sederhana atau tidak konsumtif dalam pembelanjaan. Keempat, keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup (life long learning), min al-mahdi ila al-lahdi.

Jika di lingkungan rumah/ keluarga, anak dapat dikatakan “menerima apa adanya” dalam menerapkan sesuatu perbuatan, maka di lingkungan sekolah sesuatu hal menjadi “mutlak” adanya, sehingga kita sering mendengar anak mengatakan pada orang tuanya “Ma, Pa, kata Bu guru/ Pak guru begini bukan begitu “Ini menunjukkan bahwa pengaruh sekolah sangat besar dalam membentuk pola pikir dan karakter anak, namun hal ini pun bukanlah sesuatu yang mudah tercapai tanpa ada usaha yang dilakukan. Untuk menjadi ‘Bapak dan Ibu’ guru seperti dalam ilustrasi diatas butuh keteladanan dan konsistensi perilaku yang patut diteladani.

Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of knowledge” belaka. Sekolah tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai (value-oriented enterprise). Pembentukan karakter merupakan bagian dari pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian.

Usaha pembentukan watak melalui sekolah, secara berbarengan dapat pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi “uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.

Kedua, menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing) dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan berkelanjutan.

Masyarakat pun memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam upaya pembentukan karakter anak bangsa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah orang yang lebih tua yang “ tidak dekat “, “ tidak dikenal “ “ tidak memiliki ikatan famili “ dengan anak tetapi saat itu ada di lingkungan sang anak atau melihat tingkah laku si anak. Orang-orang inilah yang dapat memberikan contoh, mengajak, atau melarang anak dalam melakukan suatau perbuatan. Lingkungan masyarakat luas jelas memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter.

Dari perspektif Islam, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula. Peran serta Masyarakat (PSM) dalam pendidikan memang sangat erat sekali berkait dengan pengubahan cara pandang masyarakat terhadap pendidikan. ini tentu saja bukan hal yang ,mudah untuk dilakukan. Akan tetapi apabila tidak dimulai dan dilakukan dari sekarang, kapan rasa memiliki, kepedulian, keterlibatan, dan peran serta aktif masyarakat dengan tingkatan maksimal dapat diperolah dunia pendidikan.

Penguatan pendidikan moral ataupun pendidikan karakter yang ada dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sudah melanda di negara kita. Krisis tersebut berupa banyaknya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan terhadap anak-anak dan remaja, pencurian remaja, kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, pornografi, penyalahgunaan obat-obatan, dan perusakan milik orang lain yang yelah menjadi masalah sosial sehingga pada saat ini belum bisa diatasi secara tuntas. Oleh karena itu betapa sangat pentingnya karakter pada pendidikan. Dengan masing masing peran yang dilakukan dengan baik oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat dalam pendidikan, yang saling memperkuat dan saling melengkapi antara ketiga pusat itu, akan memberi peluang besar mewujudkan sumber daya manusia terdidik yang bermutu.

 

* Mahasiswa S1 Kebidanan Semester 3 (3A) Universitas Aisyiyah Yogyakarta 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply