Oleh : Muh. Asratillah Senge*
KHITTAH.co-Begitu pula dengan ide kebebasan borjuis, kapitalisme mengandaikan bahwa dari proses tukar menukar apakah itu berupa jasa atau komoditas mutlak dibutuhkan kebebasan. Komoditas dipertukaran dengan bebas tanpa paksaan. Tetapi dalam sejarah, ide ini hanyalah gambaran terbalik dari realitas yang sebenarnya, yang terjadi adalah setiap orang tidak bebas, bagaimana mungkin orang yang tidak berpunya bebas membeli komoditas semaunya, bagaimana mungkin orang miskin bebas memilih kualitas sekolah bagi anaknya, yang bebas adalah modal, dan yang diuntungkan adalah pemilik modal.
Terlepas dari masih mampunya sebagian konsep Marx tentang ideologi untuk menjelaskan beberapa kondisi sosiokultural kontemporer, tetapi ada beberapa hal yang memang perlu dikoreksi dan dikembangkan. Misalnya konsep Marx tentang realitas. Dari pemaparan sebelumnya kita ketahui bahwa salah satu fungsi ideologi adalah untuk membalikkan realitas yang sebenarnya. Yang menjadi pertanyaan bagi penafsir Marx, kelompok post-marxisme, teori kritis dan post-strukturalisme adalah apakah yang dimaksud dengan “ realitas yang sebenarnya”?, apakah realitas merupakan sesuatu yang netral atau tidak? Apakah memang ada realitas yang paling benar sebagai realitas? Mereka menjawab, realitas bukanlah sesuatu yang ada begitu saja dan solid. Realitas merupakan bentukan citra, episteme, ideologi, logos tertentu. Sedangkan citra, episteme, ideologi dan logos tersebut yang mengandaikan realitas kebenaran tertentu merupakan “wahyu” yang disampaikan oleh kepentingan, kuasa tertentu.
Ideologi selalu menemukan jalan untuk melegitimasi dirinya. Dan untuk melegitimasi dirinya, ideologi tidak harus mengunnakan legitimasi ekonomi dan politik. Menurut Terry Eagleton salah satu alat legitimasi ideologi yang paling jarang untuk dicurigai adalah estetika. Dalam perjalanan sejarah, estetika selalu dibelenggu oleh kepentingan ideologis. Melalui estetika ideologi menyeru orang agar optimis dapat menuju kepada suatu kondisi yang membahagiakan. Ideologi terus menerus menampakkan dirinya sebagai sistem yang terpadu, agar usaha tersebut berhasil, ideologi harus mampu menunjukkan jalan untuk menghilangkan segala kondisi yang tidak menyenangkan. Dimana letak keefektifan saat ideologi menggunakan sebagai alat untuk melegitimasi dirinya?. Eagleton menjelaskan bahwa melalui estetika nilai-nilai atau perasaan kolektif dapat diinjeksikan ke dalam individualitas kita yang paling subtil, dan ini bisa menghasilkan rasa kebersamaan yang cukup kuat. Dalam kebudayaan kontemporer kita bias melihat bagaimana dunia advertising menggunakan estetika untuk merangsang hasrat belanja kita. Dalam sejarah Politik Indonesia, bagaimana lembaga kebudayaan semacam LEKRA dipergunakan oleh rezim tertentu dan akhirnya di “sembelih” oleh rezim yang lain.
Tema-tema seputar ideologi pasca Marx merupakan tema-tema yang lebih beragam dan kaya. Terutama para penafsir Marx berikutnya yang mempunyai orientasi Hegelian, berusaha mengembangkan sekaligus mengoreksi relasi basestructrur – superstructure, dimana yang pertama mendeterminasi yang berikutnya. Para penafsir tersebut ingin menunjukkan bahwa antara keduanya terdapat hubungan yang dialektis, bukan hubungan deterministik.
Antonio Gramsci (1891-1937), menawarkan konsep “hegemoni”. Gramsci berusaha mengidentifikasi bagaimana kekuasaan menciptakan mekanisme-mekanisme untuk mempertahankan kekuasaannya tanpa melalui sarana kuasa koersif dan kekayaan, inilah hegemoni. Yaitu bagaimana kelompok-kelompok yang didominasi menerima nilai-nilai etik yang berkuasa dan menganggap nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang bersifat universal. Pada kenyataanya kelas-kelas dominan hanya dapat menegaskan otoritas mereka jika mereka dapat memproyeksikan pandangan-pandangan mereka dalam tatanan sosial dan menjadikannya commone sense. Hegemoni tidak hanya sekedar merujuk pada serangkaian ide-ide kelas dominan, tetapi merupakan suatu proses dimana ide-ide tersebut danggap sebagai bagian dari tatanan alamiah.
Salah seorang penafsir Marx dan pendukung gagasan Hegelian yaitu George Luckas, menawarkan apa yang dimaksud dengan konsep reifikasi. Reifikasi adalah gagasan dimana sesuatu yang merupakan konstruk sosiokultural dianggap sebagai sesuatu yang alami. George luckas juga mengkritik modernisme yang memberikan impresi subjektif dan menolak secara terbuka setiap arti perkembangan sejarah. Saat George Luckas menangggapi sastrawan modern dia berkata : “manusia, bagi penulis-penulis ini (yakni kaum modernis), adalah terkucil secara alamiah, asosial, tidak sanggup menjalin hubungan dengan manusia lain…seorang pahlawan amat terkungkung dalam batas-batas pengalamannya sendiri. Tak ada baginya setiap realitas yang ada sebelumnya…….pahlawan itu sendiri tanpa sejarah pribadi”.
Kemudian Mazhab Frankfurt melakukan pengembangan serupa terhadap teori Marxian dengan menggunakan kecenderungan hegeliannya. Mazhab Frankfurt merupakan sekelompok intelektual dari beragam disiplin yang didirikan oleh Carl Grunberg pada tahun 1923. Mazhab Frankfurt berusaha melampaui determinisme ekonomi dari Marxian tradisional. Mazhab Frankfurt berusaha menghubungkan teori-teori Marx dengan perkembangan budaya kontemporer. Mazhab Frankfurt menggunakan frase “Teori kritis” untuk melakukan penyelidikan sistematis terhadap industri budaya yang sifatnya teknokratis dan biasa mereka juluki sebagai sebuah “administrasi total”.
Salah satu keberatan terhadap teori Marx adalah gagalnya prediksi Marx akan berdirinya Masyarakat komunis, dimana masyarakat ini adalah hasil yang logis dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam kapitalisme. Marx mengatakan bahwa para kapitalis hidup dari eksploitasi- yang berupa nilai surplus- terhadap para pekerja, semakin kapitalis mengeksploitasi buruh semakin besar keuntungannya. Tetapi kapitalis tidaklah sendirian tetapi juga terperangkap dalam dunia persaingan tiada habisnya dengan para kapitalis lainnya, agar tetap bertahan hidup para kapitalis haruslah memproduksi terus menerus, memperoleh keuntungan dan menjadikan keuntungan tersebut sebagai modal. Kondisi ini akan membawa kapitalis dalam hukum umum yang berbunyi ”biaya produksi akan kembali ke angka nol”, satu-satunya syarat pemenuhan hukum tersebut adalah , pengurangan terus menerus tingkat kesejahteraan pekerja, sehingga memperbanyak kaum proletar. Akhirnya revolusi kelas akan terjadi menuju terwujudnya masyarakat komunis.
Tetapi ini tidaklah terjadi, takdir itu tidaklah terwujud juga, karena kapitalis belajar dan mempelajari, berusaha mempercanggih ideologinya dengan cara menyediakan sarana-sarana katarsis bagi kesulitan para pekerja, agar kesulitan-kesulitan tidaklah menjadi sesuatu yang sublime sehingga terlihat oleh yang menanggungnya. Salah satu sarana katarsis tersebut adalah media massa, industri budaya atau budaya pop. Sarana-sarana tersebut merupakan sebuah ‘konduktor’ yang mengkonversi sedih menjadi tawa yang mentertawai kepalsuan.
Salah satu anggota Mazhab Frankfurt, Theodore Adorno (1903-1969) menanggapi budaya kontemporer, dengan melakukan demarkasi antara seni otentik dari produk-produk popular yang hanya bisa memberikan kepuasan semu. Praktik-praktik dari produk popular tersebut juga disebut dengan industri kesenangan atau industri budaya, yang memaksa dengan penuh “pesona” dan tentunya ideologis para “jemaat”nya ke dalam logika pasar. Menebar janji tiada henti agar para audiensnya berada dalam masa penantian tiada ujung pula. “budaya industri tidak henti-hentinya menipu konsumen-konsumennya atas apa yang terus- menerus mereka janjikan” sebab “janji ……..adalah ilusi: segala yang sungguh-sungguh ditegaskan adalah bahwa hal nyata tidak akan pernah diraih, bahwa makan malam harus dipenuhi oleh menu” (Theodore and Adorno). Yah…. jika industri budaya merayu kita dengan “makan malam” yang mewah maka dia akan menyuguhi kita janji dari daftar-daftar menu yang menggiurkan dan tampaknya menggoda tanpa pernah mewujudkan rayuannya.
Tapi tidak semua anggota Mazhab Frankfurt menatap budaya pop sebagai sesuatu yang sepenuhnya suram . Walter Benjamin disamping tetap melakukan penulusuran terhadap tendensi-tendensi ideologis budaya pop, tetapi mengatakan bahwa budaya pop juga menyimpan potensi untuk membuka alternatif-alternatif baru, ranah-ranah baru diluar ranah yang ditentukan oleh seni-budaya otentik yang seringkali dominatif dan menjadi sarana ideologis.
Jurgen Hubermas, mengaitkan bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral tetapi bersifat ideologis politis, semua konstruk pengetahuan terkait dengan kepentingan dan tujuan-tujuan tertentu. Misalnya jenis pengetahuan yang masuk dalam kategori sains apakah itu sains natural ataupun sains sosial, dimana berhasrat untuk mengidentifikasi hukum-hukum yang sifatnya ajeg yang mengatur alam semesta dan alam sosial, bersifat empiris analitis, memiliki kepentingan yang sifatnya teknis dan bertujuan untuk menguasai realitas. Sains alam bukanlah sekedar untuk menjelaskan alam tetapi tujuan utamanya adalah menguasai alam untuk kepentingan-kepentingan tertentu, begitu pula dengan sains sosial bukan hanya sekedar menggambarkan kondisi sosial tetapi bertujuan untuk menguasai dan melakukan rekayasa sosial untuk kepentingan kuasa tertentu. Misalnya jika seorang ilmuwan kimia melakukan penelitian terhadap komposisi kimia batubara dalam lokasi tertentu, bukan hanya sekedar untuk memenuhi hasrat ingin tahunya terhadap batubara, tetapi itu dalam rangka agar mampu mengeksplotasi cadangan batubara untuk investor tertentu misalnya. Begitu pula misalnya studi terhadap masyarakat perkotaan, tujuan utamanya adalah agar mampu merekayasa dengan mudah serta mendisiplinkan dengan mudah segmen-segmen tertentu dalam masyarakat kota.
Bersambung ke bagian 4……………….
*Penulis adalah anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel