Oleh: Agusliadi Massere*
Ada hal menarik dan bagi saya sekaligus sebagai pemantik kesadaran⸻sebagaimana dituliskan oleh Prof. Hilman Latief⸻”gagasanlah yang menjadi realitas sebenarnya bila kita menggunakan cara berpikir yang bersifat ‘neo-platonistik’. Bagi Hilman sebuah organisasi bisa menjadi besar bila diiringi oleh etos dan dijiwai oleh gagasan yang besar.
Entahlah, apakah tim perumus tema “Milad ke-57 IMM” pernah membaca tulisan Hilman di atas dalam buku Muazin Bangsa dari Makkah Darat, tepatnya pada bagian “Islam dan Pusaran Gagasan Kemanusiaan Global: Memotret Kontribusi Syafii Maarif dan Muhammadiyah” (2015:96-118)? Setelah itu terinspirasi dan akhirnya menetapkan tema yang salah satu substansinya, bagi saya bahwa gagasan itu memiliki urgensi bahkan sebagai elan vital terutama korelasinya dalam pembangunan peradaban.
Dalam rangka milad ke-57 IMM yang “jatuh” pada tanggal 14 Maret⸻meskipun saya bukan kader⸻tertarik untuk memberikan se-percik perspektif (mungkin tepatnya akumulasi perspektif dari berbagai pemikir) atas tema yang sedang diusungnya. Mungkin pembaca, sudah mengetahui semua bahwa IMM adalah akronim dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Sebuah organisasi otonom yang lahir dari “rahim ideologis” Muhammadiyah. Jadi saya yang pernah dikader di Ikatan Pelajar (saat itu Remaja) Muhammadiyah dan menjadi pimpinan di tingkat daerah Kabupaten Banteang memiliki kedekatan ideologis dengan IMM.
Bagi saya, bukan hanya gagasan yang harus dibumikan⸻sebagaimana substansi tema⸻ tetapi tema itu sendiri (tema milad ke-57 IMM) seharusnya di-bumi-kan. Di dalamnya terkandung sebuah harapan, sebuah kesadaran dan jika meminjam perspektif Rhenald Kasali (2019) merupakan hasil pembacaan sekaligus jawaban dari “where we are” dan “where we are going to”.
Pada awalnya adalah gagasan, selanjutnya bertransformasi menjadi peradaban. Bahkan Allah pun mengawali penciptaan manusia (khalifah di muka bumi) berawal dari sesuatu yang bisa disimpulkan sebagai sebuah “gagasan”. Sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 30, Allah menyampaikan “niat”-Nya dan dibalik itu tersimpan pengetahuan yang sangat “dalam” tentang seperti apa yang akan diciptakanNya itu. Gagasan⸻menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia⸻adalah “hasil pikiran” atau “ide”. Meskipun demikian, saya tidak mensejajarkan antara pikiran (gagasan) manusia sama dengan apa yang saya sebut di atas sebagai “gagasan” Allah.
Hilman Latief menegaskan pula dalam tulisannya tersebut, antara lain: pertama, tidak sedikit amal usaha Muhammadiyah maupun lembaga-lembaga milik organisasi yang lain mengalami kemandekan dan bahkan kemunduran, karena etos dan gagasan para penggeraknya sudah ‘habis’ dan tenggelam dalam rutinitas kegiatan praktis dan taktis namun kadang tidak substantif; kedua, proses penguatan ideologi gerakan dan strategi pembangunan organisasi tidak boleh berhenti apalagi proses produksi gagasan baru kontekstualisasinya dalam pelbagai bidang kehidupan harus terus dilakukan.
Mencermati problematika kehidupan hari ini, di tengah pandemi covid19 termasuk merebaknya suara-suara “pengasong” khilafah untuk menggantikan ideologi pancasila dan niat menjadikan Indonesia sebagai negara Islam⸻begitupun dengan ideology lain, banyak gagasan besar Muhammadiyah yang terkesan masih “kurang di-bumi-kan” bagi kader-kadernya. Khusus dalam konteks pandemi Covid19, masih ada ditemukan kader bahkan jajaran pimpinan tingkat daerah yang “terkesan” memiliki sikap dan perilaku yang paradoks dengan kebijakan resmi Muhammadiyah. Padahal kita telah memahami bersama bahwa kebijakan resmi Muhammadiyah tersebut adalah buah pikiran bersama para ilmuwan dengan basis keilmuan yang beragam, multi bahkan lintas disiplin.
Dari konteks atau realitas kehidupan di atas, maka saya semakin menemukan urgensi dan garis relevansi pentingnya “membumikan gagasan” yang salah satunya, dalam jangka waktu lama akan bermuara pada “pembangunan peradaban”. Dan IMM sebagai episentrum kaum intelektual “harus” bahkan bisa saja dipandang “wajib” menjadi garda terdepan.
Proses pembumian gagasan, sesungguhnya bukan hal baru. Berdasarkan preseden historis profetik⸻jika memahami perspektif Eko Supriyadi (2013) dalam pemahamannya terhadap pikiran-pikiran Ali Syari’ati⸻bahwa “dalam kerangka membumikan gagasan langit tersebut, maka Tuhan mengutus para nabi dan rasul untuk menjelaskan Islam secara praksis kepada umat manusia”. Disebut proses pembumian karena sesungguhnya menurut Eko, Islam sebagai agama yang sakral, sebagaimana kehendak Tuhan secara utuh, jelas berada dalam otoritas prerogatif Tuhan. Menurutnya lagi, “hanya Tuhan yang mengetahui secara tepat wajah murni Islam sebagai gagasan langit tersebut.”
Begitupun jika kita menegok sejarah perjalanan Muhammadiyah ataupun sejarah pemikiran Muhammadiyah, Muhammadiyah bisa menjadi organisasi besar bahkan⸻khususnya jika diukur dari kepemilikan aset⸻merupakan organisasi terkaya di dunia, itu adalah hasil dari “pembumian gagasan”. Teologi Al-Ma’un dibumikan sehingga menjadi etos pelembagaan amal usaha begitupun teologi Al-‘Ashr menjadi etos untuk memasuki/melintasi abad kedua dengan tantangan peradaban yang luar biasa.
Hanya saja dalam hal pembumian gagasan, ada hal yang harus dipahami dan menjadi modal utama terlebih dahulu, apa itu? Untuk menjawab ini saya meminjam pemahaman/perspektif dari HM. Yunan Yusuf. Saya memahami bahwa pembumian gagasan sangat tergantung atau memiliki korelasi positif dengan pemahaman teologis dan jenis corak teologis yang kita pahami. Hal ini dimaksudkan jika gagasan itu merupakan derivasi atau minimal percikan dan bersentuhan dengan dimensi ajaran agama.
Yunan memahami bahwa secara umum ada dua corak paham teologi (ilmu kalam) yiatu teologi rasional dan tradisional. Kedua corak ini memiliki ciri-ciri yang berbeda bahkan paradoks atau memiliki garis diametral yang berjauhan antara keduanya. Memahami dan memiliki teologi rasional akan menjadi etos untuk senantiasa membumikan gagasan termasuk gagasan yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang berdimensi transenden (sakral). Dan sebaliknya⸻berdasarkan apa yang saya pahami dari Yunan⸻teologi tradisional kurang bahkan tidak memberikan ruang untuk membumikan gagasan, kalau pun ada maka seringkali tidak mengikuti konteks kehidupan. Singkatnya teologi akan menentukan dinamis atau fatalisnya seseorang.
Untuk memahami sedikit perbedaan kedua teologi tersebut adalah: pertama ada yang tegas mengikatkan diri hanya pada nash-nash qath’y dan ada yang selain nash-nash qath’y juga termasuk zhanny; kedua, ada yang memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, dan ada yang tidak; ketiga, ada yang meletakkan daya yang kuat pada akal dan ada yang kecil; dan keempat, ada yang memahami kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan terbatas oleh kebijaksanaan Tuhan sendiri, dan ada yang memahami berlaku sepenuhnya. Dari perbedaan ini, sebagaimana telah dijelaskan di atas akan menentukan apakah kita bisa bersikap dinamis atau justru fatalis.
Pembumian gagasan termasuk bagaimana membumikan teologi KH. Ahmad Dahlan yang tentunya sebagian mungkin masih hanya sebatas “gagasan” belum menjadi etos, penting untuk dilakukan. Agar kita mampu⸻secara ontologis eksis dalam setiap arus perubahan yang ada, secara epistemologis mampu berdialetika dengan berbagai diskursus yang ada yang lahir terus menerus mengikuti paradigma kecepatan globalisasi. Selain daripada itu secara aksiologis mampu untuk menghadirkan atau minimal menawarkan nilai yang selanjutnya dipandang atau secara nyata bisa menjadi solusi atas berbagai problematika kehidupan yang ada.
Meskipun Kyai Dahlan dipandang sebagai man of action. Kita jangan mempersepsikan secara kaku bahwa gagasan tidak penting. Ilmu pengetahuan atau teori tidak penting. Karena saya masih menemukan fenomena, masih adanya segelintir orang yang terkesan menjadikan man of action Kyai Dahlan sebagai justifikasi pembenaran dan sekaligus pembelaan untuk menolak urgensi gagasan, tetapi yang utama, menurutnya adalah “langsung aksi” saja. Kyai Dahlan menjadi man of action itu terlebih dahulu diawali oleh kematangan intelektualitas, kematangan gagasan. Hasil pergumulan dan pergulatan berbagai diskursus. Jadi kita seharusnya tidak langsung menjadi “man of action”. Tetapi harus mencelupkan diri dalam samudera gagasan dan harus secara kolaboratif membumikan gagasan-gagasan khususnya gagasan baru.
Atau mereka-mereka ini, orang-orang yang terkesan anti “gagasan”, “teori”, “ilmu pengetahuan”,”perdebatan diskursif” dan maunya “man of action” saja, tanpa disadari mereka mengikuti cara berpikir Karl Marx⸻padahal di antara mereka ada yang anti Karl Marx meskipun hanya mendengar nama dan sedikit gagasannya. Menurut Prof. Ahmad Najib Burhani (2001)⸻berdasarkan temuan akademisnya⸻”Karl Marx, sangat benci dan muat dengan perdebatan-perdebatan seperti itu. Maksudnya perdebatan diskursif. Dan menurutnya lagi, Mulla Sadra pun, mengatakan hal seirama “janganlah kamu tergiur dengan omong kosong para filosof. Jangan pula engkau ternina-bobokkan oleh ungkapan-ungkapan aneh para sufi”.
Namun Prof. Najib pun menegaskan:
“bila kita selalu terjebak pada tataran praktis dan tidak mau berada pada tataran diskursif atau wacana, maka alih-alih kita bisa menciptakan dunia yang semarak, alam yang indah, manusia yang penuh inovasi dan kreasi, justru sebaliknya kita bisa terjebak pada paham pembangunanisme yang mengukur segala hal dengan materi”.
Jadi mauka kita terjebak, atau cepat atau lambat menjadi sosok yang mengukur segala sesuatu hanya dengan materi?. Maka disinilah kembali ditegaskan pentingnya gagasan dan pentingnya membumikan gagasan. Yang saya sendiri⸻meskipun bisa saja dimaknai⸻tidak sedang memaknainya untuk maksud membumikan gagasan itu adalah sebagai upaya, untuk membawa tataran praksis semata, tetapi juga tetap berada dalam dimensi diskursif untuk semakin memperkaya dan memperbanyak gagasan.
Lalu gagasan apa yang harus dibumikan yang memiliki korelasi dengan atau dalam rangka membangun peradaban? Tentunya, minimal tidak jauh dari gagasan-gagasan yang telah dilahirkan secara resmi oleh Muhammadiyah dan termasuk gagasan yang relevan dan merupakan jawaban dari hasil pembacaan “where we are” dan ‘where we are going to”. yang jawabannya tidak dimaknai secara geografis, namun sesungguhnya adalah sebuah kesadaran ontologis bahwa kita sedang berada dalam jaring-jaring wacana. Begitupun secara epistemologis dan aksiologis, mampu memahami diskursus yang ada untuk memberikan pemaknaan, nilai dan menawarkan manfaat. Jadi dalam konteks ini tidak apa-apa kita “merebut narasi” atau “merebut gagasan”. Agar peradaban yang terbangun adalah merupakan yang terbaik.
Di antara beberapa⸻yang saya maknai sebagai sebuah gagasan⸻adalah seperti Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Konsepsi “Islam Berkemajuan”,”Etika Kosmopolitanisme”. Dan yang terakhir dan memiliki korelasi langsung dalam pemaknaan peradaban secara umum adalah gagasan “integrasi agama dan sains” perspektif Amin Abdullah. Begitupun yang terakhir dan sedang hangat menjadi perbincangan sebagaimana yang diusung oleh Haidar Bagir & Ulil Abshar Abdalla, “Sains Religius” dan “Agama Saintifik” (2020). Apa yang yang menjadi gagasan Amin Abdullah, Haidar dan Ulil sesungguhnya sangat relevan dengan cara pandang pemahaman keagamaan Muhammadiyah.
Integrasi Agama dan Sains, sebagaimana yang saya pahami dari pidato kebangsaan Yudi Latif (via youtube) itu sangat sesuati dengan spirit mempertahankan peradaban agar tetap kokoh, begitupun lebih jauh agar suatu peradaban bisa mempengaruhi peradaban lain.
Sebagaimana Radiasi Budaya Arnold Toynbee yang diulas secara progresif oleh Yudi Latif melalui pidato kebangsaannya tersebut, bahwa ada 4 lapisan peradaban, lapisan dari terdalam sampai terluar yaitu: visi dan nilai spiritual; etika; estetika; dan teknologi sains. Lebih lanjut dijelaskan bahwa suatu peradaban tetap bertahan selama visi dan nilai spiritual dalam jantung peradaban tetap ada, meskipun yang lainnya telah “hancur”. Dan sebuah peradaban bisa mempengaruhi peradaban lain, jika lapisan terluasnya, teknologi sains bisa unggul.
*Penulis adalah Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng, yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2013-2018.