Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Membumikan Islam sebagai Agama Cinta dan Berkemajuan

×

Membumikan Islam sebagai Agama Cinta dan Berkemajuan

Share this article
Agama cinta
Sumber gambar: osolihin.net yang saya maknai merefleksikan agama cinta dan berkemajuan. Pena simbol kemajuan

Oleh: Agusliadi Massere*

Membaca salah satu buku karya Denny JA seharusnya kita—saya mengistilahkannya—“tersinggung positif”, dalam pengertian menjadikannya sebagai bahan evaluasi dan introspeksi diri untuk kemudian memperbaiki pandangan, pemahaman, dan pengamalan keagamaan kita selama ini. Ada hal menggelitik—mungkin kita juga bersedih—dari buku karya Denny JA tersebut, meskipun yang harus “tersinggung positif” bukan hanya umat Islam, tetapi semua umat beragama. Jadi bukan “tersinggung negatif” yang menghasilkan respons dan tindakan negatif pula.

Dalam buku 11 Fakta Era Google Bergesernya Pemahaman Agama dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama (2021) karya Denny JA, minimal—berdasarkan yang saya tangkap dan pahami—ada tiga paduan data yang seharusnya, kita berpikir ulang karena terkesan kita gagal dalam beragama. Data ini adalah hasil riset dari lembaga yang otoritas dan kredibilitasnya terpercaya, dan sumber datanya pun berasal lebih dari ratusan negara yang diriset.

Tiga paduan data utama yang saya maksud dalam buku tersebut mengungkap, bahwa sepuluh top negara paling bahagia di dunia, sepuluh top negara paling bersih dari korupsi di dunia, dan sepuluh top negara paling sejahtera di dunia, ternyata semuanya memandang agama itu tidak penting. Justru sebaliknya, seperti satu contoh saja, Indonesia adalah negara yang memandang agama itu sangat penting, tetapi tidak masuk dalam kategori sepuluh top negara paling bahagia, bersih dari korupsi, dan sejahtera—bukan hanya Indonesia. Bahkan, posisinya sebagai negara bahagia, negara bebas dari korupsi, dan sejahtera berada pada posisi indeks yang sangat rendah. Artinya sangat kurang bahagia, tingkat korupsinya sangat tinggi, dan tidak sejahtera.

Padahal berdasarkan hasil renungan, hidayah dari Allah, dan pemahaman dari banyak referensi, saya meyakini bahwa agama, khususnya Islam, adalah risalah yang berisi tuntunan hidup untuk mencapai kemajuan dalam setiap episode kehidupan. Denny JA pun sebenarnya, jika kita menelusuri pandangannya secara murni dan jujur tidak sedang memandang agama itu buruk, tetapi bisa jadi karena cara pandang, pemahaman, dan pengamalan keagamaan kita yang kurang kompatibel dengan zaman.

Denny JA masih menegaskan “Saya pribadi tetap memilih menjadi manusia spiritual.”. Bahkan, di dalam buku itu terungkap ada satu pengalamannya ketika Denny JA ke Makkah, kesannya tarikan dimensi spiritualitasnya masih jauh lebih besar karena dirinya sempat terharu, padahal dalam benaknya juga ada satu pengetahuan ilmiah atau berbasis ilmu pengetahuan tentang fakta sejarah antara awal mula datangnya Islam, Makkah atau kota Petra di Jordania. Tentang kota Petra ini, jika sahahat pembaca masih penasaran, silakan membaca buku karya Denny JA yang saya sebutkan di atas. Saya memiliki file e-booknya.

Selain itu, Denny JA pun (terkesan) merekomendasikan cara pandang dan pengamalan keagamaan ala Jalaluddin Rumi. Tentu, kita semua memahami yang pernah membaca—meskipun sedikit—karya Rumi, bahwa yang didorong adalah Islam sebagai agama cinta. Dan, saya pun yang lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah yang memiliki pandangan keagamaan Islam Berkemajuan, sangat merasakan dampak positif, produktif, konstruktif, dan fungsionalnya—bahkan sebagai framing sikap dan tindakan—cara pandang, pemahaman, dan pengamalan keagamaan ala Muhammadiyah tersebut.

Minimal dua kondisi ini, saya yakin, Islam pun jika dibumikan secara masif sebagai agama cinta dan berkemajuan maka pemeluknya pun akan tetap merasakan kebahagiaan sejati dan murni, mampu menciptakan kondisi kehidupan yang bebas dari korupsi, dan meningkatkan kesejahteraan. Islam sebagai agama memiliki mekanisme institusional. Ahamd Norma Permata menegaskan sebagai jalan mengubah kondisi kehidupan.

Untuk mewujudkan harapan tersebut di atas, terlebih dahulu agama yang mengandung pengertian “a” yang berarti tidak, dan “gama” berarti kacau, dibawa dalam makna yang lebih luas dan komprehensif sebagai din. Terkait ini, saya memahami banyak dari Dr. Asep Zaenal Ausop.

Din yang berasal dari kata dana-yadinu-dinan itu mengandung arti pengaturan dan perjalanan. Jadi “din” dimaknai sebagai aturan yang mengatur perjalanan hidup manusia di alam dunia ini. Menurut Dr. Asep, “din” jauh lebih luas dan komprehensif pemaknaanya daripada “agama”. Sebelum din ditautkan atau dilekatkan pada Islam, maka kita pun terlebih dahulu memahami makna Islam.

Islam itu berasal dari kata Salima yang berarti “selamat”. Kemudian terbentuk menjadi kata aslama-yuslimu-islaman yang berarti penyerahan diri secara totalitas. Kemudian din-al-islam itu berarti tata cara hidup ala Islam yang patuh secara total pada kehendak Allah.

Dr. Asep menjelaskan dengan baik, bahwa din-al-Islam adalah “tatanan hidup meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan (holistik), dari masalah ritual sampai masalah pergaulan antarmansuia, sampai masalah sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, sampai masalah kenegaraan. Semuanya menyatu tidak dapat dipisah-pisahkan (integralistik). Dari defenisi sederhana ini saja, saya masih meyakini bahwa Islam akan tetap mampu menghadirkan dan mengantar umat untuk mencapai kebahagiaan hidup, bebas dari korupsi, dan sejahtera.

Ada sejumlah “data” teologis—saya menyebutnya saja demikian—yang bersentuhan dengan dimensi psikologis manusia yang sebenarnya setelah melewati proses algoritmik dalam diri manusia (atau sebut saja proses berpikir, merasakan, dan intuisi) itu akan berpotensi memantik kebahagiaan, mencegah tindakan koruptif, dan termasuk memengaruhi kesejahteraan. Data teologis yang saya maksud di sini, bisa pula berupa firman Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an atau ajaran-ajaran dan nilai dari agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Minimal dalam ilmu psikologi, kita memahami bahwa pikiran dan perasaan itu sebagai sesuatu yang built-in dalam diri saling terhubung dan memengaruhi secara timbal-balik. Kemudian, kita mendapati ayat-ayat Allah yang menegaskan “dengan mengingat Allah hati akan tentram” maka dipastikan ini sebagai “data” teologis—dalam istilah saya—akan memengaruhi proses algoritmik dalam diri manusia. Apatah lagi sesuatu yang diyakini maka pengaruhnya sangat besar. Termasuk, kita meyakini, bahwa kita terikat janji suci dengan Allah yang menuntut komitmen berupa takwa, ini adalah basis data utama dalam diri manusia. Ibarat komputer, ini adalah operating system (OS)-nya.

Ketika kita fokus pada tiga paduan data di atas sebagai suatu hasil riset oleh lembaga otoritatif dan kredibel, terlepas adanya fakta-fakta sejarah agama yang dalam tinjauan ilmu pengetahuan tidak bisa terverifikasi kebenarannya dan adanya informasi yang bertentangan antara agama yang satu dengan agama yang lain, saya yakin esensi Islam dan termasuk bagaimana pemeluknya menjadikan Islam, nilai, dan ajarannya tersimpan kokoh dalam hati, maka sejatinya Islam sebagai agama mampu berkontribusi positif dalam memengaruhi kebahagiaan, bersih dari korupsi, dan kesejahteraan.

Jujur saja, seperti dalam hal korupsi. Korupsi itu adalah tindakan. Tindakan itu berawal dari sikap atau digerakkan oleh sikap. Sikap ini berupa pikiran dan perasaan. Dalam bahasa umum tindakan itu diawali dengan dorongan hati. Sebagaimana proses algoritma dalam teknologi, sebenarnya proses algoritmik dalam diri kurang lebih sama, sehingga data-data yang saya sebut sebagai “data teologis” (ajaran dan nilai-nilai Islam) sejatinya itu memengaruhi setiap sikap dan tindakan manusia (baca: pemeluknya) termasuk dalam pengambilan keputusan. Apalagi habits sebagai salah satu sunnatullah Allah—secara psikologi dan ilmu pengetahuan pun membenarkan mekanisme kerja habits dan pengaruhnya—sejatinya ritual agama (yang mengandung gerakan, bacaan, doa, dan ingatan kepada Allah) itu memengaruhi sikap dan tindakan.

Saya yakin jika cara pandang, pemahaman, dan pengamalan keagamaan atau cara berislam kita baik dan benar, maka tidak terjadi kondisi seperti hasil riset di atas yang terkesan agama tidak berkontribusi positif dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Tidak mungkin Max Weber sampai pada tesisnya, bahwa kapitalisme (yang sangat berpengaruh dan mencapai kemajuan pesat) itu didorong oleh adanya etos atau etika protestan. Begitu pun kesimpulan Arnold J. Toynbee yang menegaskan—sebagai hasil risetnya terhadap peradaban-peradaban yang ada—bahwa yang menentukan bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban adalah ada atau tidaknya nilai atau visi spiritualitas di jantung peradabannya (lapisan terdalamnya).

Ada pun fakta sejarah sebagai hasil riset dari ratusan negara, kemudiaan menempatkan negara-negara Skandinavia sebagai negara top sepuluh paling bahagia, bersih dari korupsi, dan paling sejahtera, kemudian ternyata di sana mereka memandang agama tidak penting, itu bisa jadi karena pandangan dan pemahaman keagamaannya lebih didominasi oleh informasi-informasi buruk tentang agama, seperti kekerasan, terorisme, radikalisme, bom bunuh diri dan lain-lain. Sehingga dalam proses algoritmik dalam dirinya tidak merasakan pengaruh agama yang menciptakan kebahagiaan. Mereka merasakan sumber kebahagiaan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tidak berasal dari agama.

Dan sebaliknya negara-negara termasuk Indonesia yang sangat mementingkan agama, kemudian ini tidak berkontribusi positif untuk menciptakan kehidupan kolektif yang bahagia, bersih dari korupsi, dan sejahtera, itu sangat dipengaruhi oleh cara pandang, pemahaman, dan pengamalan agama yang dimilikinya. Faktanya memang, banyak yang terkesan hanya fokus menciptakan kesalehan invidual, ada yang kaku dalam beragama dan sedikit-sedikit haram dan bid’ah. Ada pula hanya fokus untuk surga di akhirat, sehingga ada rela melakukan bom bunuh diri demi masuk surga.

Tidak sedikit yang memandang pula bahwa urusan agama hanya untuk ruang private, sehingga ruang-ruang publik jauh dari nilai dan ajaran agama. Meskipun, saya sendiri tidak sedang menyimpulkan harus menjadi “negara Islam” karena yang substansial di sini adalah bagaimana nilai dan ajaran Islam memengaruhi ruang private dan ruang publik.

Padahal agama pun menuntut kesalehan sosial. Apatah lagi hasil riset Al-Qur’an dengan menggunakan teknologi super canggih ditemukan fakta, bahwa isi Al-Qur’an berorientasi kepentingan sosial jauh lebih banyak daripada orientasi sebaliknya, individu. Sejumlah ajaran Islam pun menegaskan ketika dua urusan antara kepentingan sosial dan individu berbenturan waktunya, maka lebih diutamakan kepentingan sosial. Belum lagi jika kita memahami cara pandang Amien Rais tentang Tauhid Sosial-nya, membangun pandangan bahwa korupsi itu bisa dinilai sebagai syirik sosial. Islam pun menegaskan bahwa ajaran dan nilainya, bahkan rasulnya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmatan lil ‘alamin.

Di sinilah kita penting untuk fokus bagaimana memperbaiki cara pandang, pemahaman dan pengamalan keagamaan kita yang harus mampu membumikan Islam sebagai agama cinta dan agama yang berkemajuan. Atau dalam istilah  lain mewujudkan Islam Cinta dan Islam Berkemajuan.

Mungkin pada kesempatan dan ruang lain, ini pun menarik diulas lebih jauh. Beberapa referensi menarik untuk mengulas Islam Cinta dan Islam Berkemajuan, yaitu buku karya Mukti Ali, Islam Mazhab Cinta, buku karya Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, pandangan-pandangan M. Amin Abdullah tentang “Spiritualitas Ihsan”, buku-buku karya Haidar Bagir yang mendorong tentang Islam Cinta, dan termasuk buku Prof. Haedar Nashir, Gerakan Islam Berkemajuan, bisa menjadai referensi yang menarik, otoritatif, dan komprehensif untuk melengkapi tulisan saya ini, yang ruangnya sangat terbatas untuk diulas lebih jauh.

Semoga dengan buku ini pun, jika kita memahaminya dengan baik maka keyakinan kita untuk tetap memandang agama bisa berkontribusi positif pada kondisi kehidupan yang lebih baik, bukan pengaruh keyakinan agama semata dalam makna sebagai efek lompatan iman kea lam metafisika, di mana ilmu pengetahuan tak akan pernah sampai dan alam metafisika itu sendiri tak bisa difalsifikasi.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply

Opini

Oleh: Irwan Akib (Dosen Pendidikan Matematika Unismuh Makassar)…