KHITTAH.CO, MAKASSAR – Islam adalah agama yang sempurna. Selain memberi tuntunan hidup, juga mendatangkan kebahagian bagi para penganutnya. Asalkan, aktivitas keseharian sesuai dengan pedoman agama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
Demikianlah penuturan Ketua Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan (Sulsel), Usman Jasad alias Ujas saat menyampaikan materi pengajian bulanan PWM Sulsel di Masjid At-Tanwir Pusdam, Rabu, 18 Desember 2024. Pengajian itu mengangkat tema ‘Bahagia Sesuai Sunnah Nabi’.
“Mengapa bahagia perlu kita bahas, sebab banyak dari kita sering menyebut Islam itu indah, Islam itu sempurna, maka seharusnya Islam itu membuat kita bahagia. Tapi jangan-jangan ada diantara kita yang sudah berislam berpuluh-puluh tahun tapi tidak merasakan kebahagiaan. Jangan sampai selama ini kita berislam tapi justru belum merasakan indahnya berislam, belum merasakan bahagia berislam,” papar Ujas.
Menurut dia, semua pekerjaan manusia, termasuk beribadah, berorientasi pada kebahagiaan. Karena itu, kata Ujas, umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, tidak boleh salah paham tentang standar kebahagiaan.
“Ada yang beranggapan bahwa bahagia adalah yang memiliki harta berlimpah, uang banyak, pangkat dan jabatan tinggi. Kadang juga ada yang bercanda ‘Uang tak dibawa mati, tapi tak ada uang kadang mau mati’. Tapi ada ungkapan lain ‘tanpa uang sulit bahagia’, tetapi uang semata-mata bukan jaminan orang bahagia,” ujar dia.
Ia lalu mencontohkan sejumlah tokoh yang kaya raya namun berakhir bunuh diri, seperti seorang miliarder asal Jerman, Adolf Merckle yang tewas karena menabrakkan dirinya kepada kereta api yang sedang melaju. Contoh lainnya adalah Presiden Brazil, Getulio Vargaz yang menembak jantungnya sendiri, dan Michael Jackson yang mengonsumsi obat-obatan terlarang hingga overdosis.
Tokoh-tokoh dunia itu, menurut Ujas sudah memiliki semuanya. Mulai dari kekayaan, jabatan dan popularitas. Namun semua itu tak menjamin kebahagiaan.
Lalu apa tips meraih kebahagiaan?, Ujas mengilustrasikan, “Ketika kendaraan kita bermasalah, kita pasti membawanya ke bengkel, untuk diperiksa, apa saja yang perlu diganti supaya kita nyaman kembali menaiki kendaraan itu. Begitu juga manusia, ketika ingin bahagia maka kita harus datang kepada dzat yang menciptakan manusia, Allah yang paling tahu seluk-beluk manusia,” kata dia.
Hanya saja, kata Ujas, Islam tidak pernah melarang penganutnya untuk mencari harta, pangkat, dan ketenaran. “Letakkan semuanya dalam genggaman tangan, jangan simpan di dalam hati, karena hati tempatnya taqwa. Taqwa lah yang membuat kita tenang, membuat kita bahagia,” ucap dia.
Selain taqwa, Ujas juga menyebut ikhlas sebagai salah satu cara menjalani hari agar bahagia. Ia sendiri mengaku kerap menemui fenomena, dimana orang-orang seringkali merasa kehilangan sesuatu, baik itu barang atau hal lainnya. Padahal, kata dia, manusia, sejak awal kelahirannya memang tidak membawa apa-apa.
“Jadi kalau kehilangan sesuatu, tidak usah merasa kehilangan, ikhlaskan saja karena memang kita tidak pernah memiliki. Semakin kita menolak ketetapan, semakin kita menderita,” ucap dia.
Sikap ikhlas itulah, kata Ujas, yang mengantarkan umat Islam kepada derajat taqwa.
Selain pendekatan agama, Ujas juga berbicara tentang cara meraih kebahagiaan berdasarkan pendekatan sains, namun tetap sejalan dengan Islam.
“Di dalam tubuh manusia, ada dua hormon yang memicu kebahagiaan, yaitu Dopamin dan Serotonin. Kedua hormon ini berguna untuk mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan. Caranya mengaktivasinya adalah tersenyum dan menangis,” ucap dia.
Cara itu, kata dia, telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW semasa ia hidup. Meski terkadang hanya tidur beralaskan pelepah kurma, tak makan selama tiga hari, Muhammad selalu memancarkan senyum saat bertemu dengan orang-orang di sekelilingnya.
“Sama juga dengan ibu-ibu, kalau ke pasar, pasti belanja di tempat yang penjualnya ramah, tidak mungkin ke penjual yang pasang muka cemberut. Filosofi China ‘Jangan berdagang kalau tidak bisa senyum’,” kata Ujas.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat dua jenis hormon di dalam diri manusia, yaitu kebahagiaan dan kesengsaraan. “Hormon kebahagiaan adalah dopamim dan serotonin. Cara mengaktivasinya adalah dengan mengikhlaskan setiap kejadian, menebar senyum, dan membantu sesama. Kalau hal ini kita lakukan, Insyaallah, kebahagiaan akan meliputi diri kita,” jelas dia.
Namun, selain tertawa, ternyata menangis juga mendatangkan ketenangan. “Hormon bahagia lainnya adalah endorfin dan korsitosin, yang memicu kedua hormon ini adalah menangis,” kata Ujas. Hanya saja, secara kultural, khususnya di Sulsel, menangis terkadang dinilai sebagai hal negatif, terlebih bagi laki-laki.
“Sejak kecil kita diajari, kalau laki-laki itu tidak boleh menangis, padahal Nabi dan para sahabatnya sering menangis. Saat kita menangis, manfaatnya ada tiga, melepaskan racun dari dalam tubuh, memberishkan kelopak mata dari bakteri, dan memberi ketenangan. Umar bin Khattab itu garang sekali, tapi beliau juga menangis, kapan menangisnya, di sepertiga malam, saat melaksanakan salat lail,” papar Ujas.
Sementara itu, hormon kesengsaraan adalah kortisol dan andrenalin. Hormon ini akan bekerja jika saat manusia sres, merasa kehilangan dan berpikiran negatif. “Kedua hormon ini meningkatkan detak jantung, tekanan darah tinggi, tangan gemetar, hingga keringant berlebihan. Ini bahanya, apalagi kalau yang alami sudah berumur,” tutur Ujas.
Meski begitu, Ujas tak menampik jika menjadi penyabar, ikhlas dan taqwa bukanlah hal mudah. Setiap individu perlu meluruskan pola pikir terhadap realitas dunia.