KHITTAH.CO, Kasman Singodimedjo dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa.
Tokoh Muhammadiyah asal Purworejo ini berperan besar dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Kasman adalah tokoh yang berhasil melobi Ketua Muhammadiyah kala itu, Ki Bagoes Hadikoesoemo. Saat itu, Ki Bagoes menolak untuk menghapus tujuh kata dalam Sila Pertama Pancasila.
Selain dikenal sebagai Mantan Komandan Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta, ternyata Kasman juga merupakan rektor pertama Universitas Islam Indonesia (UII).
Ketua pertama KNIP, cikal bakal DPR ini, memang dikenal sebagai tokoh bangsa dengan profil paripurna. Kasman juga dikenal sebagai politisi Masyumi.
Kiprah Kasman dalam partai itulah yang membuat dirinya sempat ditahan oleh Orde Lama, menjadi tahanan politik Presiden Soekarno.
Menariknya, dalam jeruji besi, Kasman SIngodimedjo sempat menuliskan sejumlah buah pikirinnya. Tulisan itu selanjutnya dikenal dengan judul Renungan dari Tahanan.
Buku cetakan pertama Kasman itu segera habis terjual. Hal itu sebagaimana ditulis Kasman dalam kata pengantar cetakan kedua buku tersebut.
“Penulis merasa terkejut sekali pada awal waktu Oktober 1968, ia menerima telepon dari penerbit yang mengabarkan bahwa bukunya Renungan dari Tahanan sudah habis dari persediaan dan kini sedang disiapkan cetakan ulang,” begitu tertulis dalam kata pengantar.
Pada pengantar cetakan kedua itulah, Kasman juga menunjukkan sikap negarawannya. Dirinya mengaku tidak akan mengecam perorangan, terlebih “menari-nari di atas tubuh yang sekarang jatuh”. Maksud Kasman di situ adalah terkait Gerakan 30 September.
Sebelumnya, dalam pengantar cetakan pertama, Kasman menyebut bahwa buku yang ia tulis itu semula berjudul Hayya Alal Falaah.
Saat itu, kata Kasman, tulisannya masih berupa naskah-naskah yang akhirnya distensil selepas dari penahanan.
Teks itu ia tulis sejak 12 November sampai 3 Desember 1963 di Puncak, Cianjur, lokasi penahanan dirinya atas tuduhan dari Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dipimpin Soebandrio. Teks stensilan Kasman itu bahkan ia sertakan sebagai lampiran dalam pledoinya.
Kasman membaca pledoi itu dalam sidang Pengadilan Negeri Bogor pada 19 Juni 1964. Belakangan, teks itu pun dicetak menjadi buku dengan judul “Renungan dari Tahanan.”
Dalam tulisannya, Kasman mengungkapkan, dirinya ditahan dan dijerat Pasal 169 KUHP. Kasman dianggap terlibat dalam organisasi yang bermaksud untuk kejahatan atau perkumpulan yang dilarang oleh undang-undang.
Dedengkot Masyumi itu dianggap tergabung dalam organisasi yang melakukan pelanggaran.
Meski demikian, Kasman merasa tidak melakukan kesalahan. Terlebih, pemeriksaan, apalagi proses peradilan tidak pernah terjadi atas dirinya.
Renungan-renungan Kasman
Buku Kasman Singodimedjo itu berbicara terkait sejumlah renungan, di antaranya terkait gerakan Masyumi dan kesadarannya terkait pentingnya merenung lalu menuliskan keresahan dan pemikiran-pemikirannya.
Dalam tulisan dengan subjudul Rethinking, Kasman menyatakan keresahan nya terkait pembubaran Masyumi oleh Orde Lama.
“Apakah perjuangan kita kaum Muslimin yang dulu bergabung dalam Masyumi dan yang jumlahnya jutaan itu bersala kini telah selesai?”
“Selesai karena Masyumi dibubarkan? Selesai karena tidak disukai Soekarno? Oleh Islam pertanyaan itu tegas dijawab: TIDAK! dan Ex Masyumist sebagai muslim harus pula menjawab TIDAK!” begitu tulis Kasman.
Kasman menegaskan, dalam Islam, Muslimin tidak boleh berhenti dalam perjuangannya. Ia menekankan, hidup itu berjuang, beribadah, dan beramal. Ia mengutip Q.S Ali Insyirah 5–8.
“Dan tidak pula terdapat di kamus Islam itu bahwa si Muslim harus berjuang hanya dengan alat yang namanya Masyumi. Di zaman Nabi Muhammad saw. dan nabi-nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw. pun tidak pernah disyaratkan bagi si Muslim untuk berjuang hanya dengan Masyumi sebagai alat,” demikian tegas Kasman.
Kasman mengaku akan melakukan pembelaan diri atas hukuman yang dijatuhkan padanya. “Jika pembelaan diri itu kulalaikan, maka dosalah aku,” tegas Kasman.
Ia menekankan, membela diri adalah suatu kewajiban, menurut hukum Islam. Hal itu sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Asy-syura: 39–41.
Selain perihal politik, salah satu topik renungan mantan Jaksa Agung ini, terkait aktivitas bermanfaat di tengah kondisi menganggurnya. Atas resah yang ia rasakan, Kasman meyakini, menulis adalah solusi untuk katarsis.
Menurut Kasman, dirinya merasa dihukum bukan karena ditahan, melainkan kondisi menganggurnya. Maklum, Ia tidak terbiasa dengan kondisi tidak ada aktivitas produktif,
Lebih baik menulis
Atas kondisi menganggurnya, Kasman teringat Q.S. Al-Qashash ayat 55. Ia sadar, hidup bukanlah untuk merenung kosong. Bukan pula untuk berbicara atau mengobrol yang sia-sia.
“Meskipun sedang menjadi tahanan, lebih baik aku menulis. Oleh sebab itu, aku minta kepada Sdr. Amin sekedar kertas atau buku tulis untuk merenung secara tertulis,” kata Kasman.
Kasman memang seorang paket lengkap, intelektual-ulama. Dalam penahanannya, Kasman meminta diizinkan untuk membawa kitab tafsir dan bacaan-bacaan yang ada di rumahnya. Namun sayang, harapan itu kandas.
Karena itulah, kata Kasman, ia hanya menuliskan “getaran-getaran jiwa” yang dirasakan. “Aku hanya berhadapan dengan Allah dan jiwaku sendiri, tidak berhadapan dengan buku-buku atau koran, apalagi dengan bibliotek atau kumpulan buku ilmiah,” kata dia.
Meski demikian, Kasman mengaku siap mempertanggungjawabkan tulisannya itu. Ia bahkan menyilakan para pembaca untuk mengkritisi tulisan atau buah pemikirannya.
“Janganlah membiarkan aku pada kesalahan-kesalahanku, atas dasar amar ma’ruf nahi mungkar yang menjadi motto dari tulisanku ini,” begitu kata Kasman.
Dari buku yang ditulis negarawan yang juga intelektual-ulama ini, kita bisa belajar terkait hangatnya politik di masa akhir Orde Lama dan mulianya sikap Kasman Singodimedjo menghadapi gejolak yang menimpa dirinya.
Selanjutnya, kita akan mengulas bagian lain buku Renungan dari Tahanan, karya Kasman Singodimedjo, tokoh besar Persyarikatan.
Selalu ada hikmah yang bisa dipetik dari buah pemikiran dan pengalaman seorang negarawa, intelektual-ulama sekelas Allahuyarham Kasman Singodimedjo.