Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Memikirkan Ulang Politik (Bag. 3)

×

Memikirkan Ulang Politik (Bag. 3)

Share this article
sumber : http://therougecollection.net/therouge/building-the-local-revolution-part-1/

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Tentang Pengembaraan Politik

Lalu bagaimana seharusnya manusia-manusia merdeka , menari diantara momen negatif dan momen positif proses politik ? bermanuver di antara kemungkianan akan oikos dan polis ?, dengan merujuk kepada Heidegger yang berpendapat bahwa kebenaran hanya akan aktual “di masa depan”, maka satu-satunya cara adalah “berenang” di dalam proses politik ril untuk mewujudkan Yang-Politis. Apa yang dimaksud dengan “berenang” dalam proses politik ?, maksudnya tidak menjadi ahli dalam mengutuk kondisi yang ada an-sich – ini bisa dianalogikan dengan orang yang hanya mempelajari cara berenang yang ideal tanpa berkeinginan untuk berenang- dan di satu sisi tidak menjadi orang yang terlena, pasrah atau hanya mau cari untung dalam proses politik yang ada – bisa dianalogikan sebagai orang yang tenggelam.

Tapi “berenang” dalam proses politik, akan rentan melahirkan kekecewaan , lalu bagaimana kita harus “berenang” di antara kekecewaan-kekecewaan politis yang lahir ?. Di sini saya akan mencoba mensublimasi filsafat Hegel, dimana Hegel berpendapat bahwa agar kesadaran alamiah (naturliches bewusstsein) – yaitu sebuah istilah tentang kesadaran yang terikat pada konstelasi historis tertentu – adalah sesuatu yang terus melampaui dirinya untuk menuju pada kesempurnaan sebagai Roh (Geist). Begitu pula dengan proses politik, dikarenakan setiap kondisi politik yang historis dan kontekstual mengandung momen negatif dan positif secara bersamaan, secara intrisik terdapat potensi untuk mengaktualisasikan agathon setiap warga atau malah menjadikan warga sebagai bulan-bulanan pertarungan egois antar elit politik, maka kondisi politik historis tersebut harus melampaui dirinya, aktor politik merdeka harus mampu merubah variable-variabel historis yang menghalangi proses politik menuju Yang-Politis.

Jalan yang mestinya ditempuh untuk menuju Yang-Politis tersebut,- kalau meminjam bahasa Hegel, saat menjelaskan perjalanan “kesadaran Ilmiah” menuju pengetahuan absolute” adalah “jalan keputusasaan” (der weg der verzweiflung), bahwa prasyarat utama bagi aktor politik merdeka agar bisa melakukan pengembaraan politik menuju yang utopis adalah keputusasaan , kesadaran bahwa ada problem yang sangat mendasar serta kekecewaan yang melahirkan militansi terhadap kondisi politik riil. Dalam pengembaraan menuju Yang-Politis tersebut politik historis- yang dalam filsafat Hegel setara dengan konsep “kesadaran alamiah”- harus kehilangan kebenarannya. Maka pada titik inilah revolusi politik menjadi niscaya.

Maka pada titik inilah barangkali pernyataan alain Badiou menjadi seuatu yang penting, bahwa politik merupakan “kejadian” (l evenement) yang menjebol situasi pakem yang ada. Kejadian politik merupakan peristiwa yang mengintervensi, menerobos, memperkarakan dan mengguncang situasi yang ada, di mana para aktornya menghayati “kejadian” tersebut sebagai sesuatu yang baru, berarti, mempertegas subjek politik dan mempertebal militansi. Dalam kejadian yang mengintervensi tersebut akan lahir pelaku yang aktif, subjek yang lahir pada saat dia bertindak, subjek yang dilahirkan sekaligus melahirkan revolusi, subjek yang mewartakan “Aku ada, sebab aku berjuang. Aku berjuang maka aku ada”. Subjek politik yang aktif, militan dan merdeka inilah yang akan “meniupkan sangkakala kematian” situasi politik yang pakem, yang membuat konteks politik historis tetentu kehilangan kebenarannya sehingga siap dilampaui.

Tetapi “kejadian politik” dan situasi politik pakem adalah antinomi yang tidak mempunyai batas tegas, terkadang “kejadian politik” – contohnya adalah proklamasi kemerdekaan 17-8-1945 – itu berlangsung cepat dan akhirnya “larut” dalam situasi yang pakem, prosedur-prosedur rutin kenegaraan dan dipelihara oleh aparat koersif serta aparatus ideologi rezim yang berkuasa dan hal inilah yang sering menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan. Tetapi “kejadian politik” / revolusi masih meninggalkan gema/getarannya, dan kekecewaan sangat sensitif akan getaran itu. Getaran inilah yang akan dinterpretasi, di beri nama dan melahirkan panji-panji. Panji-panji inilah yang melahirkan “kesetiaan” pada “kejadian” politik dan dibuktikan pada lahirnya kembali “kejadian”.

Lalu bagimana “kejadian” politik bisa menjebol “situasi” yang ada ? Dalam setiap “situasi” politik yang pakem, akan terdapat semacam “gerowong” (le vide). “gerowong” inilah tempat segala bentuk multiplitas, inkonsistensi-inkonsistensi, kontradiksi, yang tak jelas dan simpang siur, saling berinterseksi dan berkecamuk, intinya segala sesuatu yang tidak diperhitungkan oleh tatanan. Sehingga “Kejadian” politik, tidak selamanya harus berbentuk negasi, tetapi bisa mengambil rupa menyeruaknya yang tidak diperhitungkan sehingga melahirkan subjek politik.

Lalu apa itu Politik ? Politik adalah ruang kemungkinan untuk menjadi manusia merdeka, dan bertindak membongkar tampang status quo, menerobosnya, menghadapi serta membongkar kedok segala bentuk stabilitas dan keutuhan yang pada dasarnya tidak utuh , koherensi yang sebenarnya dibangun di atas inkonsistensi – di mana dalam yang koheren tersebut intrisik hal-hal yang simpang siur dan tak terhitungkan.

Selesai………………

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply