Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Saya yakin tidak ada yang membantah pandangan Massimo Pigliucci sebagaimana yang diungkap dalam buku karyanya Stoik Apa dan Bagaimana: Kebijaksanaan yang Telah Teruji untuk Kehidupan Masa Kini (2022). Pigliucci memandang “…pertanyaan tentang cara menjalani hidup adalah sesuatu yang penting”.
Pertanyaan yang diajukan oleh Pigliucci di antaranya, “Bagaimana kita harus mengatasi tantangan-tantangan dan perubahan-perubahan situasi dalam hidup? Bagaimana kita harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain?”
Dalam kehidupan ini yang mampu menawarkan dan/atau memberikan jawaban-jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang ada adalah agama, filsafat, dan termasuk sains. Jawaban yang diberikan oleh ketiganya, dipastikan akan berbeda-beda. Termasuk implementasi dan implikasinya dalam kehidupan akan berbeda pula.
Tidak semua orang akan mencari—termasuk menemukan—jawaban atas pertanyaan yang dihadapi dalam hidup dan kehidupannya melalui agama. Apa lagi, menurut Henry Manampiring banyak orang yang menjadikan agama hanya sebagai “tiket masuk surga”. Termasuk pula, sebagaimana penegasan lanjutan Manampiring “Ritual keagamaan menjadi sekadar daftar yang harus dicentang untuk memenuhi syarat masuk surga, para penganutnya tidak memahami dan menerapkan substansinya sebagai pedoman kedamaian dalam kehidupan sehari-hari”.
Ada yang melalui sains dan tidak sedikit melalui filsafat. Hanya saja, masih banyak yang memandang filsafat itu “berat”, selain ada yang masih menilainya sebagai sesuatu yang “buruk”—untuk tidak menyebutnya “haram”. Saya pernah mengalami, hanya karena “dia” melihat saya membawa buku yang membahas filsafat pendidikan, lalu seketika memperingati saya untuk tidak membacanya, karena menurutnya “saya berpotensi akan menjadi kafir”—jika belajar filsafat.
Penilaian di atas tentang filsafat yang “berat” tentu ada benarnya—meskipun jika membaca filsafat Stoa, tidak sepenuhnya benar. Dan, terkesan filsafat itu berada dalam wilayah “otak kiri”. Terkait hal ini, saya pernah memutar video di salah satu channel Youtube. Salah satu substansi pembahasannya menawarkan kepada mahasiswa agar, selain membaca buku filsafat maka perlu diseimbangkan dengan membaca buku bergenre sastra.
Dari pembahasan di video tersebut, saya menangkap pemahaman mengapa youtuber-nya menawarkan dua hal ini, karena filsafat beroperasi dalam wilayah otak kiri, sedangkan sastra di wilayah otak kanan. Jadi dengan membaca dua jenis genre bacaan tersebut, itu akan menciptakan stabilitas kerja otak kiri dan kanan sehingga mahasiwa tidak mengalami stres.
Membaca buku Filosofi Teras (2022) karya Henry Manampiring, termasuk buku Pigliucci yang pada intinya membahas tentang filsafat Stoa, kita akan memahami, bahwa ternyata filsafat itu tidak hanya berada dalam wilayah operasional “otak kiri” yang terkesan “berat”. Filsafat Stoa bisa pula dinilai mekanisme kerjanya juga berada dalam wilayah “otak kanan”.
Artinya belajar filsafat itu “asyik” atau menyenangkan. Apa lagi jika kita belajar filsafat Stoa yang salah satunya dikupas tuntas dalam buku Manampiring dan buku Pigliucci tersebut, ternyata filsafat itu tidak hanya menelusuri sumber kebenaran dan hakikat sesuatu serta mengkaji realitas sampai ke akar-akarnya, secara sistematis, dan mengikuti kaidah ilmiah. Namun, filsafat mengajarkan bagaimana menjalani hidup dan kehidupan ini dengan penuh kebahagiaan.
Konteks kehidupan hari ini banyak yang mengalami kebosanan, tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dan kemajuan. Termasuk dalam buku Manampiring mengawalinya dengan hasil Survei Khawatir Nasional, ternyata hasilnya cukup tinggi yang merasa khawatir dalam hidupnya meskipun dalam konteks dan berdasarkan kondisi sosial dan psikologis tertentu. Agar tetap bahagia di balik “beban” hidup tersebut, di sinilah filsafat Stoa hadir.
Seperti yang dialami Zeno, Marcus Aurelius, dan James Stockdale dalam hidup dan kehidupannya, sesungguhnya—andaikan tidak “diselamatkan” oleh filsafat Stoa—dirinya bukan hanya menghadapi guncangan dan tekanan fisik. Berpotensi besar pula mengalami guncangan batin yang amat berat. Manampiring pun sedikit menyinggung terkait pengalaman dan perjalanan hidup Viktor E. Frankl, yang pada substansinya mengalami guncangan dan tekanan fisik, tetapi batinnya tetap damai dan merdeka. Ternyata spirit hidup yang dimiliki Frankl mendapatkan pula percikan dari Filsafat Stoa atau filosofi teras.
Yang pasti filsafat Stoa telah digunakan oleh banyak orang di dunia ini sebagai modal, way of life, dan “benteng pertahanan psikologis” dalam mengarungi kehidupan—yang sebagian besar orang menilainya—“rumit” dan “berat”. Filsafat Stoa memang sesuatu yang mengandung ajaran dahsyat yang berguna bagi hidup dan kehidupan.
Kedahsyatan Filsafat Stoa atau pun Filosofi Teras, saya pun menelusurinya melalui buku karya Manampiring dan buku karya Pigliucci. Termasuk langsung dari buku catatan-catatan Marcus Aurelius. Ternyata kedahsyatan itu memang kita bisa menemukan di dalamnya, terutama jika diimplementasikan dalam kehidupan dipastikan akan memberikan implikasi yang dahsyat pula, tentunya bermuara pada kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Terutama dalam buku Manampiring ada sejumlah prinsip-prinsip yang bisa dipahami dan akan memantik kesadaran, dan sesungguhnya itulah ajaran dahsyat dari filsafat Stoa. Di dalamnya diajarkaan bagaimana agar kita bisa “Hidup selaras dengan alam”. Memahami apa yang dimaknai dengan “Dikotomi kendali”. Selain itu, apa dan bagaimana “Mengendalikan interpretasi dan persepsi”. Dan, termasuk “Memperkuat mental”. Masih banyak poin-poin penting lainnya. Namun, untuk konteks tulisan ini, saya hanya mengulas beberapa saja.
Menjalani hidup dan kehidupan harus memang “selaras dengan alam”. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Manampiring yang dimaksud “alam” bukan hanya dalam makna sempit seperti lingkungan hidup di sekitar kita. Namun, makna alam dalam filsafat Stoa tersebut adalah dalam makna yang lebih luas terutama selaras dengan nalar, akal sehat, dan rasio. Dalam stoisisme memang ditegaskan bahwa yang membedakan manusia dan binatang adalah nalar, rasio atau akal sehat.
Manampiring menegaskan bahwa hidup yang selaras dengan alam adalah manusia yang hidup sesuai dengan desainnya, yaitu makhluk bernalar. Bahkan, ditegaskan olehnya (baca: Manampiring) “Dikaitkan dengan konsep arête, maka manusia yang hidup dengan arête/virtue/keutamaan adalah ia yang sebaik-baiknya menggunakan nalar dan rasionya-karena itulah esensi, nature mendasar dari menjadi manusia”.
Memahami “Dikotomi kendali” pun memang sangat penting. Artinya bahwa dalam kehidupan ini, ada yang bisa dikendalikan langsung oleh diri sendiri, ada pula yang tidak bisa dikendalikan langsung oleh diri sendiri. Yang tidak bisa dikendalikan atau tidak di bawah kendali kita adalah tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi/popularitas kita, kesehatan kita, kekayaan kita, jenis kelamin, dan cuaca, serta gemba bumi, wabah penyakit, dan peristiwa alam.
Yang bisa dikendalikan atau berada di bawah kendali kita adalah pertimbangan, opini dan persepsi kita sendiri. Selain itu, termasuk keinginan kita, tujuan kita, dan segala sesuatu yang merupakan pikiran dan tindakan kita sendiri. Pada poin ini substansi ajarannya adalah, bahwa jangan terlalu terobsesi pada sesuatu yang berada di luar kendali kita. Kita harus fokus pada sesuau yang berada dalam kendali kita sendiri untuk memantik kebahagiaan.
Ketika Epictetus (dalam Manampiring, 2022: 79) menegaskan “Sumber sebenar-benarnya dari segala keresahan dan kekhawatiran kita ada di dalam pikiran kita”, maka benarlah apa yang ditegaskan oleh Manampiring terkait [pentingnya] apa dan bagaimana “Mengendalikan interpretasi dan persepsi”. Dari sekian banyak buku-buku yang telah pernah saya baca, saya pun tetap setuju dengan penegasan ini untuk direvitalisasi dan dikristalisasi dalam hidup dan kehidupan.
Betul, tidak sedikit orang yang menyiksa dirinya dengan pikiran-pikirannya sendiri. Bahkan, ada sosok manusia mengalami “kematian” sebelum kematian yang sebenarnya terjadi pada dirinya, itu karena pikiran sendiri. Maka poin yang ditegaskan oleh Manampiring terkait “Memperkuat mental” adalah sesuatu yang sangat penting pula.
Setelah membaca ketiga buku yang pada substansinya menjelaskan dan menegaskan kedahsyatan filsafat Stoa sebagai way of life, saya yang pernah pula membaca—bahkan, memahami dengan baik, dan mengkristalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari—buku-buku karya Ary Ginanjar Agustian khususnya pada poin yang saya menyebutnya “Prinsip berbasis rukun iman”, penting untuk dielaborasi. Ketika keduanya ini, yang pada dasarnya menegaskan tentang prinsip yang bisa menjadi way of life dalam kehidupan diintegrasikan maka akan menghasilkan energi dahsyat yang berlipat ganda, seperti mengikuti hukum energi fusi.
Saya pun memandang bahwa filsafat Stoa bisa diperkuat/dikukuhkan dengan prinsip yang berbasis rukun iman. Termasuk pula, upaya memperkukuh tersebut adalah bagian dari cara saya menutupi—berdasarkan pandangan saya—(mungkin sedikit saja) dari kekurangan prinsip-prinsip yang diajakan dalam filsafat Stoa atau filosofi teras.
Sebelum menegaskan terkait prinsip yang berbasis rukun iman, saya ingin menyampaikan terlebih dahulu, bahwa saya dalam menjalani hidup dan kehidupan ini tetap memandang dengan keyakinan kuat bahwa agama khususunya ajaran agama Islam itu sangat penting. Meskipun, oleh sebagian orang masih banyak yang menjadikan agama sebagai pseudo religious dan religion tainment. Terbukti ada yang pernah tertangkap dalam kasus korupsi ketika dirinya sedang makan sahur untuk maksud ingin berpuasa. Ada pula pelaku korupsi, yang pergi umroh dan sebagainya.
Pada prinsip yang diajarkan dalam filsafat Stoa yang dalam pandangan saya, masih perlu diperkuat dengan prinsip berbasis rukun iman. Seperti prinsip pentingnya hidup selaras dengan alam, belum kuat ketika hanya dimaknai pada hidup yang sesuai nalar, akal sehat atau rasio manusia.
Sebagai refleksi dan kristalisasi dari prinsip yang berbasis pada rukun iman pertama “Iman kepada Allah” semestinya prinsip yang menegaskan hidup selaras dengan alam, harus pula dimaknai bahwa dalam hidup dan kehidupan dan/atau di alam semesta ini, Allah pun menciptakan sunnatullah (hukum-hukum alam). Di mana manusia harus bergerak mengikuti sunnatullah tersebut.
Selain sunnatullah yang diciptakan oleh Allah sendiri, Allah pun memberikan fleksibilitas terhadap sunnatullah-Nya sendiri bahwa sewaktu-waktu yang faktornya, mungkin karena Kasih Sayang Allah terhadap seseorang dan mungkin karena kebaikan seseorang, Allah menjalankan hak prerogatifNya untuk “mengintervensi positif” sunnatullah-Nya tersebut. Pemahaman ini, dipastikan menciptakan kebahagiaan dahsyat dalam diri manusia. Termasuk pula, terhadap kesadaran bahwa segala sesuatunya berasal dan akan kembali kepada Allah. Termasuk segalanya bisa dalam kendali Allah Swt.
Jadi dikotomi kendali yang ditegaskan oleh filsafat Stoa bisa memiliki basis teologis yang kuat dari prinsip berbasis rukun iman. Bahwa, kita sepakat ada dikotomi kendali, tetapi termasuk pula dalam kendali yang berada dalam sunnatullah dan hak prerogatif Allah. Kita pun harus menyadari bahwa termasuk yang berada dalam kendali kita sendiri itu bersifat sementara karena itu hanya bagian dari prinsip “kebebasan yang Allah berikan kepada manusia” dan sewaktu-waktu hak prerogatif Allah pun bisa mengintervensi-Nya. Pemahaman dan kesadaran ini pun akan menciptakan kebahagiaan dahsyat dalam kehidupan.
Saya pun tidak sepakat dengan salah satu yang ditegaskan dalam filsafat Stoa, yaitu kita diminta termasuk untuk fokus memikirkan hal-hal buruk atau negatif—meskipun tujuannya positif karena bermaksud agar kita memiliki langkah antisipasi. Bahkan, Manampiring menegaskan dalam bukunya yang terkesan menolak positive thinking.
Padahal melalui Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan firman Allah “Aku sesuai persangkaan hambaku”. Pemahaman saya tentang positive thinking, bukan hanya diperkuat oleh basis teologis ini. Saya pun membaca dan memahami dengan baik pandangan-pandangan spektakuler dan berbasis ilmiah dari Dr. Ibrahim Elfiky (Seorang Maestro Motivator Muslim Dunia). Saya pun membaca dan memahami dengan baik pandangan Dr. Joe Dispenza, yang pada substansinya pikiran dan perasaan yang selaras bisa melahirkan gelombang elektromagnetik yang dahsyat untuk bisa memengaruhi realitas tanpa kecuali memberikan pengaruh pada diri sendiri.
Namun, yang pasti filsafat Stoa adalah merupakan way of life yang sangat penting dan dahsyat yang kekurangannya bisa ditutupi dengan memperkuatnya dari ajaran-ajaran agama terutama ajaran Islam yang saya anut.
Sumber gambar: iqra.id
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital dan Kebangsaan.