Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPendidikan

Mencari Status Filsafat Indonesia

×

Mencari Status Filsafat Indonesia

Share this article

Oleh : Mahram Mubarak

 

KHITTAH.co _ Tulisan ini bisa dibilang sudah out to date. Pasalnya tulisan ini sebagian besar mengacu pada paper Simposium International Filsafat Indonesia 2014. Penulis hanya mengambil beberapa segmen saja. Sebagai gelaran simposium mungkin sudah out to date tetapi sebagai gagasan ia tetap akan terus hidup.

Pada 19-20 September 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan STF Driyarkara dan MURI, menyelenggarakan sebuah Simposium untuk mencari sosok filsafat Indonsia. Dalam Sosok Filsafat Indonesia, secara atraktif, Richard Oh mengambil tiga kata kunci, Indonesia-sosok-filsafat. Indonsia diposisikan sebagai subjek, sosok dimaknai sebagai model, dan filsafat merupakan objek. Mungkinkah formasi filsafat Indonesia itu?.

Franz-Magnis Suseno justru melangkahkannya secara problematis. FMS menilai bahwa tak cukup dakuan di dalam diskursif, harus ada dukungan konstitutif dari pemrintah, dalam hal ini Kemendikbud. Kenapa begitu? Karena, ia harus terspasialisasi dan sedapat mungkin diakui secara internasional. Menurutnya, filsafat di Indonesia masih tergolong umum, tokoh-tokohnya pun masih berstatus penggiat dan bukan ahli. Dari 541 Universitas dan 2.424 Sekolah Tinggi (data forlap-ristekdikti), hanya ada dua universitas yang punya program studi ilmu filsafat, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada, disamping Universitas Islam Negeri dan Sekolah Tinggi Katolik, (Suseno, dalam Mencari Sosok Filsafat Indonsia).

Toeti Heraty Noerhadi, secara spesifik me-list nama-nama yang berkemungkinan besar didapuk sebagai filsuf Indonesia. Dengan berdasar pada Dictionnaire des Philosophes dari Universitaire de France pada 1984, dan atas bantuan dari Rm. Magnis dan H. Chambert-Loir, ensiklopedi itu memuat 15 nama. Secara alfabetis ke 15 nama tersebut adalah Agus Salim, Alisjahbana, Drijarkara, Hamka, Hardjoprakoso, Ki Hajar Dewantara, Manggunegara IV, Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Natsir, Notonagoro, Pakubuwana IV, Ranggawarsita, Seokarno, dan Yasadipura, (Noerhadi, dalam Sosok Manusia Indonesia).

Selain itu, ia juga menambahkan beberapa nama penting dalam mendiskursuskan filsafat. Sebut saja Tan Malaka, yang memiliki latar gagasan revolusi Prancis dan Rusia, dan dengan integritasnya berupaya menggeser logika mistika masyarakat Indonesia waktu itu, dengan Madilognya, akronim dari Materialisme, Dialektika, Logika. Hamzah al-Fansuri yang dikenal sebagai sufi dan sastrawan, mencondongkan diri ke dalam mistik Islam sembari mengkritik cara beragama umat Islam di dalam Istana Sultan Iskandar Muda, Aceh waktu itu. Kartini yang selalu mengecam ketertindasan terhadap perempuan. Terakhir adalah I La Galigo Arung Pancana Toa, yang telah menarasikan genealogi kebudayaan Bugis ke dalam kitab setebal 6000 halaman.

Mencari model filsafat Indonesia memang hal yang mungkin, untuk tak menyebutnya sulit. Merumuskan filsafat Indonesia berarti merumuskan kekhasan cara berpikir orang-orang Indonesia. Tak hanya secara individu pun juga sscara kolektif. Perlu ada pembacaan sistematis dan kritis terhadap persilangan budaya antara Indonesia dengan pemikiran yang dipengaruhi oleh Islam, Hindu, Budha, Konghuchu dsb, ungkap Aan Rukmana dalam Merumuskan Filsafat Indonesia: Rekonstruksi Berpikir Manusia Indonesia.

Abad ke 21 merupakan abad yang menantang filsafat tak lagi sebagai sekumpulan ide-ide spekulatif, sebagaimana di zaman Yunani kuno. Filsafat sudah menjadi disiplin ilmu tersndiri dengan daya reflektif-dekonstruktif yang sangat tajam. Ketajaman itu dibuktikan dengan lahirnya revolusi-revolusi besar dunia melalui gagasan kritis Sosialisme dan Marxisme, rigorusitas dari fenomenologi Husserl, suara kebebasan dari Sartre dan Camus, eksistensialisme dari Heidegger, postmodernisme ala Lyotard, Derrida, dan Rorty, serta filsafat dengan identitas agama tertentu: Filsafat Islam dan neotomisme Katolik.

Filsafat tumbuh dalam debat bukan dalam musyawarah, singkap Rm. Magnis. Dengan tepat hal itu bisa ditunjuk pada pergulatan Aristoteles dan Plato, bagai bumi dan langit, terpisah namun terhubung dalam dialektika. Tesis selalu menghadirkan sintesis lewat anti-tesis, begitu seterusnya. Gagasan akan tetap hidup bila terus dinegasi.

Indonesia tumbuh justru dengan suasana kebudayaan yang berbeda. Mencari sosok filsafat Indonesia nampaknya sukar, penuh belukar. Belasan tokoh di atas tak cukup mengikat filsafat Indonesia. Manusia Indonesia bata untuk diucapkan, tetapi latah bila dikaitkan dengan kebudayaan yang lain, begitupun filsafat Indonesia.

Dukungan pemerintah untuk menjamurkan filsafat secara akademis mungkin belum terjadi. Tetapi kultur di dalamnya sedang tumbuh dalam komunitas. Intelektualitas di Indonesia mungkin sedang sunyi. Tetapi sunyi itu merupakan bunyi yang sembunyi, ucap Rocky Gerung. Manusia tak menghasilkan filsafat, manusia itu berfilsafat. It is not philosophy, but philosophize, tegas Heidegger.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply