Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Terkait sesuatu yang dimaknai energi fusi, saya tidak pernah mengetahuinya, baik melalui membaca dan/atau mendengar, sebelum membaca buku The Power of Appreciative Inquiry karya Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom. Secara analogis dalam buku ini, sangat dahsyat implikasi dari sesuatu yang bisa menghasilkan energi fusi.
Whitney & Trosten-Bloom secara harfiah menggambarkan konsep energi fusi bahwa, “Adalah sumber kekuatan bagi matahari dan bintang, yang dihasilkan ketika dua elemen bermuatan positif digabungkan menjadi satu”. Mereka berdua, bukan hanya memberikan gambaran secara harfiah, tetapi termasuk pula—dan inilah tujuan utamanya—secara filosofis dan konotatif memberikan gambaran implikasi besarnya, yang secara fungsional bisa dikontekstualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari Whitney & Trosten-Bloom bisa dipahami gambaran substansialnya, ketika energi fusi itu dikontekstualisasikan dalam kehidupan, “Energi positif dahsyat akan mampu dilepaskan ketika menggabungkan hal-hal yang menghidupkan sistem-sistem manusia. Kebahagiaan bertemu kebahagiaan, kelebihan bertemu kelebihan, kesehatan bertemu kesehatan, inspirasi bergabung inspirasi”. Ketika ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa kedahsyatan energi yang akan terpancar.
Apalagi, kita telah lazim memahami melalui ilmu fisika tentang hukum kekekalan energi, “Energi tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan, energi hanya bisa diubah dari bentuk yang satu ke bentuk yang lainnya”. Ditegaskan bahwa, tentu saja yang dimaksud tidak bisa menciptakan dan memusnahkan energi adalah manusia, bukan Allah.
Ramadan, jika kita memperhatikan apalagi merenungkannya, di dalamnya bukan hanya terjadi penggabungan dua sumber energi atau kekuatan, tetapi lebih atau melampaui dari itu. Ada banyak energi kebaikan yang menyatu dalam satu ruang dan waktu, tanpa kecuali di luar dari itu. Energi puasa, shalat, sedekah, membaca al-Qur’an, dan pencerahan nilai-nilai agama dan kehidupan, bahkan tidurnya orang-orang berpuasa mengandung energi, semuanya menyatu.
Hal inilah, sehingga bulan Ramadan—dalam pandangan saya—bukan hanya menghasilkan energi fusi, beyond, melampaui dari itu membentuk satu medan energi fusi. Saya sebut saja dengan istilah “Medan Energi Fusi Ramadan”. Sebagai medan energi fusi, bisa dipastikan akan memberikan hal positif, produktif, dan konstruktif bagi kehidupan, baik secara personal maupun kolektif, ketika hal tersebut dipahami, dan disadari untuk dioptimalkan pemanfaatannya.
Membahas fungsi optimal dari semua kebaikan dan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan, seringkali orang-orang, umat Islam—dan pada umumnya seperti ini pandangan dan orientasinya—energi yang ada hanya dikonversi atau dimuarakan pada “surga” dalam pengertian yang sebenarnya, di akhirat kelak. Masih jarang, untuk dipahami dengan penuh kesadaran bahwa, semestinya semua ibadah dan kebaikan yang dilakukan pada bulan Ramadan bisa pula dikonversi menjadi kebaikan untuk dirasakan dalam konteks kehidupan empirik.
Siapa saja yang ingin merasakan energi dahsyat tersebut, tentunya harus mau dan berani mencelupkan diri ke dalam medan energi fusi. Mustahil, kita akan merasakan energi fusi tersebut, ketika tidak ada upaya untuk mendekati, melakukannya, atau minimal memancarkan frekuensi harapan terhadapnya. Ingat law of attraction (hukum tarik menarik), sesuatu mendatangi kita sesuai dengan niat, pikiran, dan perasaan yang dipancarkan. Suatu frekuensi menarik frekuensi yang sama.
Dalam bahasa appreciative inquiry, upaya mencelupkan diri relevan atau sama saja merefleksikan hukum heliotropic, artinya, agar bisa eksis dan terus berkembang, kita seharusnya mengarah, bergerak dan/atau mendekat kepada sesuatu yang memberi kehidupan dan energi. Jadi, kita—khususunya sebagai umat Islam—seharusnya memaksimalkan upaya pencelupan diri dalam energi Ramadan tersebut.
Dalam hukum heliotropic yang berlaku bagi tumbuhan, sumber atau pemberi kehidupan dan energinya adalah matahari. Sedangkan senada dengan ini, secara filosofis dan teologis, bagi manusia, sumber dan pemberi kehidupan dan energinya tiada lain adalah Allah. Dalam—apa yang saya sebut—medan energi fusi Ramadan—cahaya ilahiahnya melampaui dari sekadar cahaya matahari.
Tidak berhenti hanya sampai pada upaya pencelupan diri ke dalam medan energi fusi tersebut. Idealnya beberapa manfaat sebagai hasil dari pancaran dahsyat energi tersebut, kita bisa merasakannya dan memberikan kontribusi positif terhadap sikap dan perilaku yang positif pula, termasuk semakin produktif, dan konstruktif.
Ketika berada dalam samudra kebaikan, ibadah, dan/atau—yang dalam tulisan ini disebut—energi fusi, maka berdasarkan (minimal) tiga “hukum” atau mekanisme kerja “habits”, “proses algoritma”, dan “proses habitus ala Pierre Bourdieu”, maka idealnya, setiap diri pasca pencelupan diri harus menjadi sosok manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, seharusnya memancarkan nilai-nilai kebaikan, yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.
Ibarat sesuatu yang awalnya tidak atau kurang berharga, tetapi setelah dipoles, dikemas dengan baik, maka nilainya semakin mengalami peningkatan. Umat Islam, seharusnya seperti itu, pasca pencelupan dirinya ke dalam medan energi fusi Ramadan, harus tampil menjadi sosok yang semakin memberikan banyak manfaat dalam kehidupan. Mengimplementasikan akhlak, tingkat ketakwaan, atau spiritualitas ihsan dalam kehidupan sosial.
Ramadan yang memiliki medan energi fusi, harus mampu menginternalisasi energi dahsyatnya ke dalam diri umat untuk selanjutnya diimplementasikan dalam kehidupan agar memberikan implikasi besar dan positif. Ramadan, dalam hal ini orang-orang yang telah mencelupkan diri ke dalam medan energi fusinya, mampu menjadi penggerak, penggugah, pencerah, inspirator dalam kehidupan untuk menyebarkan kebaikan-kebaikan, baik dalam kehidupan keluarga, kehidupan sosial, tanpa kecuali dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terlepas dari pemahaman energi fusi, secara algoritmik pun, ketika kita berada dalam lingkaran kebaikan-kebaikan, dan kita senantiasa menyerap informasi positif, maka hal itu akan memenuhi big data dalam diri. Selanjutnya, hal tersebut memengaruhi diri dalam setiap pengambilan kesimpulan yang berimplikasi pada sikap, pikiran, perasaan, dan perilaku. Proses algoritmik—tanpa kecuali dalam diri—sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dan informasi, pengetahuan, dan/atau pemahaman yang selama ini diserap, diselami, dan didalami.
Dalam perspektif habits pun, Ramadan di mana umat Islam secara intens melakukan ibadah, melakukan kebaikan-kebaikan, mengendalikan diri dari perbuatan negatif, sehingga sejatinya, pasca itu akan terbentuk karakter positif, produktif, dan konstruktif. Kebaikan dan ibadah yang rutin dilakukan harus mampu membentuk karakter manusianya. Ini salah satu yang bisa dimaknai sebagai dampak positif atau hasil dari energi fusi yang membentuk medan energi pada bulan Ramadan.
Dalam perspektif habitus Pierre Bourdieu, idealnya Ramadan yang penuh dengan ibadah dan amalan kebaikan, outcome-nya harus mampu melahirkan perilaku atau praktik kehidupan yang senantiasa mengedepan nilai-nilai positif, produktif, konstruktif, dan memberikan kontribusi sebanyak-banyak bagi kemaslahatan kehidupan.
Satu harapan besar bagi kita, pasca pencelupan diri dalam medan energi fusi Ramadan, kita mampu menebarkan kebaikan dan memberikan banyak manfaat bagi orang lain dalam kehidupan. Diri kita pun mampu menjauhkan diri dari bentuk penyimpangan atau pelanggaran, apatah lagi yang bekorelasi pada kehancuran bangsa dan negara, tentunya dengan energi fusi Ramadan yang ada dalam diri, kita tidak akan pernah melakukannya.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023