KHITTAH.CO, OPINI– Pemuda Muhammadiyah telah menorehkan catatan sejarahnya selama 89 tahun (2 Mei 1932 s/d 2 Mei 2021). Usia yang sudah cukup matang. Pemuda Muhammadiyah, sejatinya dipandang sebagai laboratorium dan/atau episentrum dialektis dan dialogis kader-kader Muhammadiyah yang telah melewati proses “becoming” bukan sekedar proses “being” melalui ortom-ortom lainnya.
Berada di Pemuda Muhammadiyah, sejatinya telah menjadi kader “jadi”. Meskipun demikian atas kesadaran Pemuda Muhammadiyah bahwa hidup adalah sebuah proses, terutama proses belajar terus-menerus dan lahan dakwah sehingga tidak ekstrem dan kaku dalam “harapan” tersebut. Term “jadi” adalah pilihan diksi yang saya niatkan bahwa ketika diri kita sudah di Pemuda Muhammadiya, maka harus sudah matang dalam banyak hal terutama “ideologi” Muhammadiyah.
Pemuda Muhammadiyah, tidak berlebihan jika dipandang sebagai salah satu penarik gerbong perubahan signifikan dan strategis dalam kehidupan bangsa dan negara. Tak terhitung anak panah (baca: kader) yang telah melesat, berdiaspora menduduki posisi-posisi strategis yang mempengaruhi kebijakan dan kekuatan.
Saya menyebut “mempengaruhi kebijakan dan kekuatan” karena sesungguhnya kader-kader Pemuda Muhammadiyah telah tersebar menjadi bagian dalam tiga pilar utama bangsa: Negara, Pasar, dan Komunitas (Masyarakat Sipil). Tidak sedikit kader Pemuda Muhammadiyah mengambil bagian dalam Negara atau Pemerintahan. Dunia bisnis (pasar/swasta) banyak kader yang mengambil peran, meskipun masih harus memperkuat ikhtiar.
Dalam pilar ketiga, masyarakat sipil, saya yakin tidak ada yang tidak mengakui peran-peran strategis dan nyata dari Pemuda Muhammadiyah. Memberikan advokasi secara kultural dan struktural ketika ada ketimpangan yang seungguhnya dipandang tidak sesuai harapan masyarakat dan/atau konstitusi negara. Pemuda Muhammadiyah bukan hanya berpolitik praktis, tetapi “memainkan” high politics.
Meneguhkan Pemuda Negawaran adalah sebuah sikap yang luar biasa, berani dan beyond the limits untuk sebuah harapan mulia, menatap masa depan yang berkemajuan. Ini sangat visioner, memenuhi “rukun” to see Rhenald Kasali dalam hal melahirkan sebuah perubahan.
Membaca tulisan Sunanto (2021)—Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, yang akrab disapa Cak Nanto, atau saya memanggilnya Kak Nanto—dalam buku, “Mencari Negarawan: 85 Tahun Buya Ahmad Syafii Maarif” ada harapan besar yang terpatri dalam jiwanya yang diharapkan segera melesat.
Sunanto mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Haedar, “generasi muda perlu mempunya perspektif yang luas dan membuka horizon kebangsaan bagi kemajuan bangsa di masa depan”. Dan dipertegas lagi, “Kenegarawanan Buya Syafii tak seharusnya hanya dijadikan sebagai khazanah keilmuan belaka, kita semua memiliki kewajiban menjadikan kenegerawanan orientasi dalam pikiran dan tindakan seluuh anak bangsa”.
Dari sana diharapkan, lahirnya sosok-sosok yang senantiasa meletakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongannya. Penegasan Prof. Haedar (dalam Sunanto).
Dari penjelasan dan penegasan Prof. Haedar (dalam Sunanto), berdasarkan konsepsi change Rhenald Kasali, saya menemukan hal menarik. Apa yang menjadi harapan Haedar, oleh Pemuda Muhammadiyah langsung ditindak lanjuti dengan langkah strategis, cerdas dan berkemajuan dalam momentum miladnya yang ke-89.
Ini berarti bahwa Pemuda Muhammadiyah sangat menyadari bahwa konsepsi change tidak cukup dengan to see saja. Tetapi ada kesadaran bahwa to move dan to finish menjadi penting dan merupakan “rukun” Change. Perubahan gagal dilakukan karena tiga hal: “failure to see”, “failure to move”, “failure to finish”
Menjadikan sebagai tema Milad, itu merupakan starting point, langkah (to move) awal. Apalagi jika kita belajar dari filosofi kelahiran manusia. Bahwa setiap kelahiran manusia, telah membawa “spirit kemenangan”. Spirit ini pula yang menjadi harapan dalam peringatan Milad Pemuda Muhammadiyah.
Selain daripada itu, apa yang menjadi harapan Prof. Haedar, oleh Pemuda Muhammadiyah—jika meminjam perspektif Pierre Bourdieu—telah melakukan langkah awal proses habitus, internalisasi eksterior. Menyerap nilai-nilai kenegarawanan Buya Syafii; kondisi bangsa dan negara; serta ideologi dan harapan besar Muhamadiyah dan Pemuda Muhammadiyah yang terpatri dalam paradigma Islam Berkemajuan .
Dan tentunya Pemuda Muhammadiyah pun sadar dan inilah yang menjadi ikhtiarnya serta menjadikan momentum Milad ke-89 sebagai titik balik untuk melahirkan etos baru yang pada saatnya nanti bermuara pada “Indonesia Berkemajuan”. Kesadaran apa yang dimaksud dalam hal ini? Bahwa pemuda Muhammadiyah bukan hanya melakukan internalisasi eksterior tetapi melakukan eksternalisasi interior.
Eksternalisasi interior adalah ikhtiar, pengokohan karakter kader-kader Pemuda Muhammadiyah agar tidak hanya menjadi intellectual exercise—meminjam istilah Prof. Zakiyuddin, Rektor IAIN Salatiga—, Saya memaknainya, Pemuda Muhammadiyah tidak hanya berselancar dalam ruang dialektis dan dialogis serta berhenti di atas meja. Hasil dialektis dan dialogisnya, pergumulan dan pergulatanya memberikan dampak nyata dalam kehidupan keluarga, sosial, bangsa dan negara. Menjadi Intelektual organik Gramsci.
Lalu siapa dan seperti apakah negarawan itu? Menurut Kamus Bahasa Indonesia, negarawan itu adalah orang yang ahli pemerintahan. Muhammad Husni menegaskan, “seseorang yang tidak percaya dan hidup dari hipokrisi slogan-slogan. Ia adalah seorang yang mencintai negaranya secara objektif—yang secara sehat mengenal segala cacat dari sesuaut yang dicintainya tersebut, namun tidak memolesnya dengan kebohongan.
Sunanto (2021) menegaskan seorang negarawan—seperti konsep yang sering disampaikan oleh Buya Syafii—“misalnya, bahwa anak bangsa jangan hanya jadi politisi yang bersifat seperti ikan lele (kanibalistik) dan berpolitik ala gincu (citra). Politisi ikan lele maksudnya politisi yang memanfaatkan keterpurukan bangsa, untuk kepentingan pribadinya. Mudah-mudah di tengah pandemi Covid19 ini, tidak ada anak bangsa yang menjadi pejabat negara memainkan politik ikan lele.
Saya pernah membaca satu pesan buya, dalam hal perjuangan Islam, untuk mengedepankan politik garam daripada politik gincu. Yang dalam hal ini dimaksudkan—untuk konteks Indonesia—tidak perlu menjadi Indonesia sebagai negara Islam, cukup bagaimana umat Islam menjalankan ajaran agama Islam dengan baik.
Apa yang disampaikan oleh Muhammad Husni di atas, saya ingat betul kasus Ahok terkait “penistaan agama” dan pada saat itu ada komentar Buya Syafii yang dinilai—bahkan oleh oknum sebagian kecil kader Muhammadiyah—mendukung “penista agama”, ahok. Lalu saya membuat tulisan (sejenis status) facebook. Dan saya ikut dikecam.
Saya bermaksud membela, prihatin dan tidak tahan melihat buya dicaci di media sosial. Maka saya menyampaikan kurang lebih seperti ini (sudah lupa tulisan tepatnya) “Buya Syafii itu, tidak sedang bermaksud membela Ahok lalu dipandang ikut menistakan agama. Jika kita pahami magnum opus pemikiran Buya Syafii, karakter kenegarawan Buya, dan struktur pemikiran/arah pemikiran manusia dalam ilmu filsafat, maka akan kita akan menyimpul tentang sikap buya secara positif dan optimis”
Sikap yang saya maksud, bahwa Buya sesungguhnya sedang menjaga keutuhan bangsa. Coba bayangkan jika Buya ikut mengecam, maka bagaimana nyala emosi dan sentiment umat Islam terhadap Ahok. Buya sangat paham peta sosiologis bangsa Indonesia yang penuh kemajemukan. Dan dari struktur pikiran Buya, bukan lagi dalam struktur yang didominasi oleh “gelora jiwa”, tetapi Buya sudah sampai pada level “kebijaksanaan”. Selalu mengedepankan kebijaksanaan demi keutuhan bangsa.
Terkait ini, “mengukuhkan pemuda negarawan”, maka satu hal yang harus dilampaui oleh kader-kader Pemuda Muhammadiyah harus berupaya melewati “mitos”, “gelora jiwa”, “pemahaman”, menuju “pertimbangan” atau lebih mudah dipahami mengedepankan kebijaksanaan. Untuk lebih jelasnya bisa di dalamnya dalam buku “Pohon Filsafat” karya Dr. Stephen Palmquis.
Untuk memperkuat proses internalisasi eksterior yang selanjutnya akan mempengaruhi eksternalisasi interior, Pemuda Muhammadiyah tentunya harus paham betul peta sosiologis bangsa. Pemuda Muhammadiyah harus mengokoh nalar kebangsaannya. Pemuda Muhammadiyah harus mampu memahami dan mengaplikasikan Pancasila secara ideologis.
Pemuda Muhammadiyah—sebagaimana karakter Buya Syafii—tidak mengedepankan moralisme partikular, tetapi mengedepankan moralitas inklusif. Sangat aneh, jika ada kader Pemuda Muhammadiyah—yang dalam pikiran atau niatnya saja—ikut mengharapkan atau meng-amin-kan menolak Pancasila dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Ini adalah antitesa dari harapan “Meneguhkan Pemuda Negarawan”
Niat untuk meneguhkan dan lahirnya negarawan-negarawan muda dari Pemuda Muhammadiyah, harus pula mampu menginternalisasi ideologi dan paradigma Islam Berkemjua Muhammadiyah, karena dengan memahaminya menjadi modal utama untuk secara terbuka, dengan kelapangan hati akan mau dan mampu memiliki serta menjalankan apa yang menjadi prasyarat untuk menjadi negarawan.
Sepercik perspektif ini, tentunya tidak mampu mewakili kedalaman dan kebesaran harapan untuk mewujudkan lahirnya para negarawan muda dari Pemuda Muhammadiyah. Tetapi minimal, ini bisa menjadi pemantik, apalagi ini hanya sebuah “kado” sederhana dari saya yang pernah menduduki posisi Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bantaeng.
Saya berdiri di sini, pada saat ini adalah akumulasi dari hasil pergumulan dan pergulatan hidup dalam mencelupkan diri pada samudera teologis, ideologis dan etos “Islam Berkamuan”: dari Rahim ideologis Ikatan Remaja Muhammadiyah saya lahirnya, dan dewasa dalam asuhan Pemuda Muhammadiyah.
Agusliadi Massere
Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.