KHITTAH.co – Kita bagaikan mati dalam tabu dan rutinitas sehari-hari. Tabu dan rutinitas yang penuh dengan ritual kaku dan mati itu menjadi dogma yang menindas kita. Kita tercekik olehnya. Tawa, lelucon, badut, dan lawaklah yang bisa membebaskan kita dari penindasan dogmatis itu. Maka ketika Mukidi datang dan menyapa kita dengan lelucon, dan lawakannya kita pun tertawa lepas, lega dan merasa merdeka. (Sindhunata)
Masih ingat dengan Mukidi kan? Cerita lucu yang banyak beredar di media sosial tahun 2016 lalu, sebelum akhirnya kalah tenar oleh ungkapan “Om Telolet Om”. Karakter Mukidi sebenarnya diciptakan oleh Soetantyo Moechlas atau yang akrab dipanggil Yoyo pada tahun 1990an. “Iseng aja pakai nama itu,” kata Yoyo kepada BBC Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurut Yoyo, cerita-cerita pendek Mukidi populer belakangan ini setelah temannya “melihat sebuah cerita Mukidi dibagikan di WhatsApp. Dia bilang itu cerita saya ke yang punya WhatsApp, dan kemudian mulai banyak yang nyari ke google dan akhirnya nemu blog saya (yang banyak cerita Mukidi).”
Bagi Sindhunata, Mukidi bukan sekadar cermin, Mukidi adalah ‘muka kita sendiri’. Mukidi adalah tawa, badut, dan pelawak. “Sesungguhnya rupa badut dan pelawak itu tersimpan dalam diri kita. Setiap orang memiliki intuisi dan hasrat untuk bermain, karena hidup ini sendiri adalah permainan,” ungkap Sindhunata.
“Kita akan lebih lepas lagi, jika kita mau menerima, bahwa kita adalah Mukidi, artinya kita mau mengakui, bahwa dalam diri kita pun ada tawa, kelucuan dan kekonyolan yang selama ini tersembunyi,” tambahnya.
Sastrawan kondang, Erich Kastner berujar, adalah mudah bagi kita untuk menerima hidup ini sulit dan berat, sebaliknya adalah sukar untuk menerima bahwa hidup ini ringan dan menyenangkan.
Untuk sejenak, Mukidi membuat kita sadar, mengapa kita mesti mempersukar diri untuk menerima bahwa hidup ini sebenarnya adalah ringan dan menyenangkan. Pendeknya, Mukidi telah membuat kita tertawa, dan mengantar kita untuk menemukan kembali tawa, lawak, dan badut yang tersembunyi dalam diri kita.
Manusia pada zaman modern ini hanya rindu pada keberhasilan. Padahal, aspek lain dari kehidupan yang tak boleh ditanggalkan adalah kegagalan. Badut mewakili aspek kegagalan, malah ia sering menunjukkan nalurinya yang rela akan kegagalan.
Naluri kegagalan ini kita perlukan, karena manusia bisa tumbuh secara kreatif justru karena ia pernah berada dalam krisis dan kegagalan, dan menanganinya dengan bijaksana. Kegagalan adalah kekuatan yang mendongkrak kita untuk bangkit.
Jika kita hanya mengandalkan kehebatan dan keberhasilan, kita akan menindas atau menyingkiri kegagalan, kekhawatiran, ketakutan dan kemelesetan. Itu semua akan memiskinkan kegairahan hidup, melemahkan kemampuan mengatasi konflik, dan memusnahkan kemampuan kita untuk menciptakan awal baru yang kreatif.
Badut yang ada dalam diri kita melihat, dalam setiap krisis selalu tersembunyi peluang. Kegagalan bukan akhir dari permainan, tapi awal dari sebuah permainan baru. Ia membuka kedok kegilaan hidup sehari-hari, mendorong untuk berani, membuat tertawa, dan menghibur sekaligus.
Mukidi boleh lenyap oleh arus informasi media sosial yang begitu deras, namun kisah serupa kan terus bermunculan. Kini “Om Telolet OM”, besok entah apa lagi.
Rujukan:
Artikel Sindhunata, “Berziarah dalam Tawa”, dalam Majalah BASIS, No. 9-10 tahun 2016, hal 5-15) dan bbc.com