Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiMuhammadiyahOpini

Menggelorakan Dakwah Virtual Muhammadiyah

×

Menggelorakan Dakwah Virtual Muhammadiyah

Share this article
Ilustrasi Pusat Digital Syiar Muhammadiyah, di Yogyakarta

Oleh: Furqan  Jurdi (Ketua Lembaga Dakwah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

KHITTAH.CO — Abad 21 mendekap manusia dengan capaian baru dibidang tekhnologi informasi, sebagai alat komunikasi massa yang paling efektif untuk menyebarkan dan menyalurkan pesan (message) dari komunikator ke komunikan, sekaligus memberikan efek pada keduanya.

Media massa dan media sosial dalam abad informasi memiliki peran yang sangat strategis,  menjadi sentral perhatian dan pemikiran serta kegiatan manusia. Beralihnya aktivitas manusia dari dunia nyata ke dalam dunia maya tentu membawa dampak bagi proses keberlangsungan konvensional, proses berpikir dan bahkan proses kehidupan.

Francis Lyotard memprediksi kemungkinan pada suatu hari Negara-negara bangsa akan berjuang memperebutkan informasi, persis seperti mereka dahulu berjuang untuk menguasai wilayah dan menguasai akses-akses untuk mengeksploitasi bahan-bahan mentah. Bidang media dan informasi adalah medan baru yang menjadi perebutan untuk melancarkan strategi industrial dan komersial di satu sisi, serta strategi politik dan kemiliteran di sisi lain.

Dalam ranah ideologi dan penyebaran paham, media menjadi alat yang sangat efektif untuk memberikan sebuah pesan yang mampu mengubah cara pandang dan pikiran orang lain. Efektifitas ini tidak terlepas dari penyajian yang rapi dan menarik sehingga banyak komunikan menjadi tertarik akan pesan dan pemahaman yang disampaikan.

Mengingat posisi media begitu sangat penting, Muhammadiyah memasuki abad ke-2 mulai mengarahkan aktivitas dakwanya pada media massa maupun media social. Pengerahan media sebagai “senjata” untuk menyebarkan gagasan Muhammadiyah dalam kehidupan Agama, social, politik dan kemasyarakatan perlu menjadi perhatian yang serius bagi Muhammadiyah. Karena efektivitas dakwah pencerahan Muhammadiyah bisa mengalami kemuduran, apabila tidak memperhatikan fungsi dan peran strategis media di abad informasi ini.

Perkembangan informasi, lalu lintas percakapan publik yang setiap detik dan menit muncul dan menyebar dengan sangat cepat terkadang menjadi masalah tersendiri dalam ruang publik. Kecepatan lalu lintas media tersebut mampu merubah wajah kebohongan menjadi kebenaran, bahkan informasi sesat dan menyesatkan mampu mempengaruhi opini publik dan memompa emosi publik.

Keadaan tersebut membuat kebenaran menjadi milik mayoritas pengguna media, khususnya media massa dan media sosial. Sehingga dengan Pengaruh opini publik, tanpa ada informasi yang menjadi alternatif dan menyajikan kebenaran otentik, maka kebohongan dan informasi yang menyesatkan akan mendapatkan tempat di dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, dalam menghadapi pertarungan gagasan, perang pemikiran dan ideologi, bahkan membawa pada primordialisme dan sentimen, Muhammadiyah perlu memantapkan posisinya sebagai panggung “verifikasi kebenaran”. Dalam memainkan peran tesebut, media Muhammadiyah perlu memiliki kemampuan yang bisa menjangkau khalayak dan bisa menjadi corong bagi publik untuk mencari informasi.

Syaratnya, media Muhammadiyah harus membuka diri pada semua aktor-aktor dan gagasan-gagasan yang mencerahkan, tanpa memandang etnis dan golongan. Artinya Prinsip wasatiyah Muhammadiyah menjadi kunci dalam menyalur berita, gagasan dan pemikiran yang moderat.

Jalan tengah Muhammadiyah sebagai objektifitas informasi menjadi sangat penting, ditengah ketimpangan dan kesimpangsiuran kebenaran. Informasi selain sebagai alat untuk mencerahkan dan menyadarkan masyarakat, juga sangat potensial memicu perpecahan dan permusuhan.

Posisi wasatiyah Muhammadiyah dalam menyikapi banyak hal, mampu menetralisir maraknya propaganda politik dan ideologi yang terus merasuki pikiran “massa” (Pengguna media social).

Tanpa ada yang memberikan informasi yang terklarifikasi (informasi tengahan) maka dominasi informasi yang bernilai propaganda dan adu domba politik berpeluang cukup besar untuk membawa bangsa dan masyarakat pada emosi dan kepentingan “sang propagandis”. Karena sebuah berita, opini dan informasi yang memiliki jangkauan yang lebih besar kepada masyarakat, bisa menyebar menjadi sebuah ideologi dan pemahaman yang akan mempengaruhi pikiran umum. Maka terjadilah monopoli nilai peristiwa.

Mencegah terjadinya monopoli nilai peristiwa, netralitas wajib menjadi prinsip pemberitaan media pencerahan. Muhammadiyah sebenarnya mampu menjadi sumber alternatif untuk menghalau “tsunami” informasi, sekaligus menjadi benteng yang akan mewaspadai terjadi perang opini dan pemberitaan yang menyimpang.

Bahaya dari monopoli adalah dominasi terhadap nilai peristiwa yang terjadi karena adanya pengendalian atau dominasi terhadap opini dan istilah. Dalam bahasa John Loft Hess, “Menyembunyikan informasi adalah bagai memainkan peran Tuhan”.

Sesuatu peristiwa kebenaran akan halau dengan peristiwa-peristiwa yang direkayasa untuk menyembuhkan kebenaran itu sendiri. Bahkan kebenaran akan ditentukan oleh buzzer-Buzzer yang menjadi kaki tangan pemilik modal dan kekuasaan, karena mereka mampu mendominasi media.

Maka muncullah perang istilah yang akan mengkotak-kotakkan masyarakat. Garin Nugroho menyebut abad ini sebagai abad perang istilah, yang menandakan terjadinya benturan antara komunikasi massa yang berbeda, baik secara organisasi maupun individu. Perang Istilah akan menjadi alat untuk mempertahankan definisi menurut kelompok dominan yang menguasai media.

Apabila semua itu terjadi peran media dalam melakukan agenda setting untuk membangun opini begitu diperhitungkan. Sebab tugas media tidak hanya menjadi penyalur informasi, tetapi membangun opini masyarakat. Media dan propagandis akan membuat opini yang tidak penting menjadi penting bagi public yang dikemas dalam hysteria maupun setting peristiwa.

Keadaan ini akan berefek lebih jauh, yaitu melakukan kontrol terhadap pikiran masyarakat. Disini Moris Wolfe ada benarnya menyatakan bahwa merubah pikiran orang itu lebih mudah dan murah dari pada merubah realitas sendiri. Sehingga persoaalanpersoalan yang dilansir media massa membentuk peta pemikiran (politik) dalam masyarakat atau yang disebut Austine Ranney sebagai “cognitive maps”.

Maka muncullah yang disebut dengan era post-truth. Sebuah era dimana semua emosi dan perasaan pribadi mempengaruhi kata-kata manusia dalam pembicaraan publik dan mempengaruhi sikap dalam menanggapi persoalan yang muncul dalam percakapan publik di media. Pengguna media (sosial) akan membawa emosi dan perasaan pribadinya sebagai pendorong untuk membenarkan informasi yang beredar, tanpa harus ada klarifikasi yang jelas.

Post-truth seperti yang di bayangkan oleh George Orwell adalah sebuah era dimana suatu bangsa akan mengganti sejarahnya setiap hari supaya cocok dengan tujuan propaganda. Bahkan bisa merembet pada agama dan keyakinan setiap orang.

Sebab emosi dan perasaan pribadi mendominasi dan penilaian menjadi subjektif, maka tidak heran nilai agama mengalami kemerosotan, peluruhan nilai kebangsaan, nilai moral dan sebagainya. Apabila kemerosotan itu semua terjadi, bukan tidak mungkin lagi akan terjadi kehancuran ditengah masyarakat.

Akhir-akhir ini kita dapat menyaksikan sendiri adanya agenda mengkontrol pikiran – “cuci otak” – terjadi dalam panggung media. Komunikator atau propagandis yang mampu mengendalikan informasi dan memberikan konten yang menyentuh emosi massa sekaligus yang memiliki dominasi media memainkan perannya menambal emosi itu untuk agenda dan tujuan mereka.

Modal Muhammadiyah

Untuk mengukuhkan eksistensi Muhammadiyah dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, juga untuk menyebarkan dakwah tajdid, dakwah di media harus terus ditingkatkan. Kemampuan media, khususnya media sosial untuk menyampaikan pesan anonim memungkinkan siapapun bisa menjadi penyebar konten dan informasi.

Untuk berdakwah di media sosial seseorang tidak perlu untuk memahami agama secara detail dan tentu ini menjadi bahaya. Pesan agama yang instan bisa menjadi malapetaka. Interpetasi yang tidak holistik terhadap dalil dan nash menjadikan membawa pemahaman agama yang dangkal.

Sementara dalam kehidupan sosial masyarakat, pesan komunikator ke komunikan yang sarat dengan propaganda terus merasuki pikiran masyarakat, bahkan mampu menyulutkan emosi, kemarahan, histeria dan berbagai hal yang negatif lainnya.

Untuk mencerahkan segala pesan yang instan dan dangkal yang tersebar mengisi rung publik, Muhammadiyah harus mengemas materi dakwah secara unik seperti mengunggah konten yang menarik milenial dan masyarakat pada umumnya.

Setidaknya ada tiga modal Muhammadiyah dalam berdakwah baik dakwah konvensional maupun dakwah virtual. Ketiga modal tersebut adalah aktor, Media dan massa. Muhammadiyah memiliki ketiga modal tersebut dan bahkan sudah sangat mapan untuk menjelajah media dan menguasai opini publik.

Pertama, dakwah harus memiliki aktor yang mampu menjadi sumber gagasan dan pikiran yang memberikan pencerahan kepada warga Muhammadiyah. Tokoh-tokoh Muhammadiyah adalah merupakan aktor yang menjadi sumber referensi dalam kenegaraan dan keagamaan di Indonesia.

Tentu pengaruhnya dalam mengisi dan mencerahkan umat dan warga Negara sangat tinggi. Meskipun aktor telah muncul, namun akan tenggelam dengan arus informasi yang terus bergeliat tiap detik dan menitnya, kalau saja tidak ada media yang massif menjadi corong bagi penyampaian gagasan dan menyebarkan gagasan tersebut.

Perlu kita mengakui, elit-elit Muhammadiyah belum mampu memanfaatkan semaksimal mungkin dakwah media ini, lebih khusus Media Sosial. Popularitas tokoh-tokoh Muhammadiyah masih jauh tertinggal ketimbang tokoh-tokoh politik dan tokoh agama lainnya.

Misalnya perbandingan followers dan bahkan yang menshare atau me-retweet postingan di akun media sosial yang dimiliki oleh tokoh Muhammadiyah, masih sangat kecil dengan jangkauan yang kecil pula. Sementara aktor atau tokoh lainnya sangat tinggi peminatnya. Menurut saya ini adalah berkaitan konten informasi yang dibuat. Sebab, konten mampu mempengaruhi minat pengguna media sosial.

Dakwah Media sosial ini penting untuk dikemas secara serius, karena ia berhadapan langsung dengan massa dan pengguna media sosial lainnya. Percepatan informasi dalam media sosial membawa para pengguna untuk mencari informasi yang sederhana dan cepat tersaji tanpa harus melalui proses editing.

Karena itu, komunitas media sosial menjadi penting bagi Muhammadiyah untuk dijadikan sebagai sasaran dakwah yang paling ampuh, baik dalam mengembangkan visi, misi dan tujuan Muhammadiyah maupun untuk menjadi bagian dari sumber informasi yang dapat dipercaya oleh publik.

Kedua, Muhammadiyah memiliki media-media baik online, cetak maupun televisi. Ini adalah modal yang paling ampuh untuk menampilkan sikap, pandangan dan penyajian berita yang berimbang, bertanggungjawab dan berita yang benar.

Kehadiran media Muhammadiyah ini, meskipun masih memiliki kekurangan dalam beberapa hal, termasuk konten yang disajikan, namun secara modal Muhammadiyah telah memiliki alat alat dakwah yang sudah lengkap.

Namun, Muhamadiyah tidak boleh puas hanya dengan memiliki media, tetapi kita harus mampu menjadikan media sebagai “senjata” untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang bathil itu bathil. Karena itulah perlu peningkatan progresifitas dalam konteks ini.

Ketiga, Muhammadiyah memiliki “massa” besar yang jumlahnya sekita 30 juta jiwa dan memiliki organisasi secara struktural yang kuat. Kalau saja jumlah warga yang besar ini dimanfaatkan untuk menjadi salah satu bagi kekuatan Muhammadiyah dalam menyebarkan konten yang positif dan mencerahkan bagi masyarakat di media sosial, maka Muhammadiyah akan mampu mendominasi bahkan bisa menghentikan segala propaganda politik yang memecahkan bangsa dan Negara.

Dengan ketiga modal tersebut, Muhammadiyah bisa menyebarkan agenda kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan dan kenegaraan dengan tingkat tanggapan publik yang tinggi. Ekspos kegiatan dan berbagai macam capaian Muhammadiyah akan sangat mengudara di media kalau ketiga modal itu di integrasikan dalam satu gerakan yang massif.

Memang perlu ada pemahaman yang sama tentang masalah penyebaran konten dan materi dakwah Muhammadiyah, lebih khusus lagi dalam bidang politik dan kenegaraan. Tetapi paling tidak Warga dan organisasi Muhammadiyah menyadari potensi besar bagi progresifitas dakwah di Media sosial. Karena proses penyajiannya yang sederhana, murah dan mudah, serta penyebaran konten dakwah yang mampu menembus batas ruang dan waktu.

Oleh karena itu disamping konten dakwah yang mencerahkan untuk semua kalangan, tugas kita semua adalah menyebarkan konten itu supaya menembus ruang semua golongan tesebut. Karena itu Kehadiran Muhammadiyah dan media sebagai pencerahan bagi kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia memberikan manfaat bagi semua.

Wallahualam bis shawab.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply