KHITTAH.CO – RUU Cipta Kerja disebut sebagai regulasi sapu jagat atas berbagai aturan hukum. Draf UU ini menuai pro-kontra dari berbagai lapisan masyarakat, karena dianggap lebih berpihak pada pemodal, daripada masyarakat kecil. Tulisan ini akan menilik RUU tersebut dari tinjauan hukum.
RUU Cipta Kerja ini berasal dari 79 Undang-Undang, memuat 15 bab dan 174 pasal dengan menyasar 11 klaster, yaitu menyangkut penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi.
Namun terdapat beberapa hal yang perlu dipersoalkan secara hukum dalam proses pembentukan undang-undang tersebut.
Pertama dalam draft rancangan tersebut, terdapat penyelundupan hukum dengan cara menghidupkan kembali ketentuan yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh mahkamah konstitusi (MK). Hal ini terdapat pada pasal 166 yang menyebutkan bahwa peraturan daerah dapat dibatalkan dengan peraturan presiden. Hal tersebut bertentangan dengan putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa pengujian atau pembatalan peraturandaerah mutlak menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Bila mengacu pada beberapa pandangan ahli, sejatinya hanya ada dua pandangan soal kapan putusan MK dapat dinyatakan tidak berlaku lagi atau ketentuan yang telah dinyatakan inkonstitusional dapat dihidupkan kembali.
Pandangan pertama suatu putusan MK akan berakhir apabila ada putusan MK terbaru yang membatalkan putusan sebelumya atau melalui perubahan konstitusi. Sedangkan pendapat kedua, jika terdapat beberapa putusan berbeda dalam perkara yang sama, yang harus dipatuhi adalah putusan pertama, kecuali bila terjadi perubahan konstitusi yang menetapkan ketentuan baru terkait dengan obyek putusan MK tersebut.
Kedua mengatur mekanisme perubahan undang-undang di luar ketentuan UUD 1945. Hal ini terdapat pada pasal 170 Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengatur bahwa peraturan pemerintah dapat digunakan untuk mengubah undang-undang. Pasal ini akan menghilangkan fungsi dan kewenangan legislasi di DPR sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.
Selain itu, mekanisme pembentukan peraturan pemerintah tersebut tidak perlu melibatkan DPR. Pemerintah hanya perlu berkonsultasi dengan DPR yang sifatnyatidak wajib. Kemudian secara hirarki, peraturan pemerintah memiliki kedudukan lebih rebdah disbanding undang-undang. Sesuai dengan asas lex superior derogate legi inferior.
Ketiga mengamanatkan pembentukan peraturan delegasi terlalu banyak. RUU Cipta Kerja mengamanatkan pembentukan 516 peraturan delegasi yang terdiri atas 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah. Jumlah tersebut tentu kontraproduktif dengan pembentukan omnibus law yang bertujuan menyederhanakan jumlah regulasi. Justru hal tersebut menambah beban birokrasi dalam membentuk aturan baru.
Keempat dalam rancangan tersebut rumusan sistematis pada aspek struktur rumusan undang-undang tidak dapat digunakan karena menggunakan konsep omnibus law, yang mengubah banyak undang-undang. Hal tersebut menyebabkan bagian atau bab “ketentuan umum” yang seharusnya ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal awal tidak bisa diterapkan karena ditempatkan menyebar di seluruh bagian undang-undang yang akan diubah atau dihapus. Hal yang sama kemudian juga berdampak pada bagian-bagian lain yang semuanya menyebar dan tidak terstruktrur secara sistematis.
Kelima rancangan tidak diperuntukkan secara sosiologis bagi masyarakat awam. Ia sulit dipahami dantidak semua orang bisa membacanya. Selain terdiri atas seribu halaman lebih, rancangan itu memuat banyak pasal yang sama, bahkan ada pasal yang berulang hingga puluhan kali. Hal ini menimbulkan kekhawatiran jangan sampai pembentukan undang-undang cipta kerja malah memperumit persoalan karena menabrak banyak norma dan berpotensi tidak dapat dijalankan.
Penulis: Zulfadhly Sanusi, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia & Aktivis Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)