Sumber ilustrasi: Pojok Seni
Oleh: Sulistiyani*
“A good teacher can inspire hope, ignite the imagination, and instill a love of learning.” — Brad Henry
Seorang guru yang baik dapat menginspirasi harapan, membangkitkan imajinasi, dan menanamkan kecintaan belajar. Sedangkan kita adalah guru untuk lingkungan kita. Tidak ada keberhasilan yang instan, semua butuh proses panjang yang sarat perjuangan. Berhasil itu bukan soal juara, tetapi bagaimana mengalahkan ego kita. Demikian halnya perjuangan seorang guru untuk tidak sekadar menjadi guru biasa, tetapi bagaimana agar menjadi ‘Guru Bintang’, seorang guru yang mampu menjadi motivasi dan inspirasi bagi peserta didik dan juga teman sejawatnya.
Mengembangkan diri dengan berkarya, khususnya di masa pandemi adalah salah satu bentuk pengembangan profesionalitas diri sebagai pendidik. Pembelajaran Daring (Dalam Jaringan) jangan sampai jadi beban guru dalam pemanfaatan teknologi. Kita tak bisa menghindari arus zaman yang selalu berubah dengan kecanggihan teknologinya. Gaya hidup baru era pandemi tak harus menyurutkan langkah kita untuk berkarya sesuai dengan kemampuan dan minat. Namun harus kita sikapi dengan bijak. Dari belajar mengenal teknologi pendidikan dan bagaimana memanfaatkan secara optimal untuk pembelajaran, hingga melahirkan karya sesuai bidang kita.
Berkarya tidak akan mungkin bisa dilakukan jika dalam diri masih terbersit rasa tidak percaya diri. Dengan menanamkan self confident, maka hambatan-hambatan itu sedikit demi sedikit akan terkikis hingga sebuah kepercayaan diri lahir dan tertancap kuat pada hati bahwa kita mampu berkarya, menjadi motivasi dan inspirasi bagi orang lain. Bagaimana caranya? Dimulai dari niat yang kuat ‘mau’ dulu. Mau belajar, mau bergerak dan melakukan aksi nyata. Jika kesulitan menemukan ide, membaca menjadi solusi untuk menghindari kebuntuan. Membaca adalah proses awal mengetahui cakrawala kehidupan. ‘Iqra‘, bacalah! Sedangkan menulis adalah mencatatkan sejarah kehidupan yang kelak akan menjadi sebuah prasasti sepanjang masa, agar tidak hilang dari peradaban. Membaca dan menulis menjadi kegiatan literasi sebagai terapi bagi rasa ketidakpercayaan (unconfident) seseorang.
Bagaimana bisa membaca dan menulis dapat menghilangkan unconfident? Penulis dapat menyatakan hal itu berdasarkan pengalaman diri sendiri, saat mengalami fase di mana diri merasa tidak punya kemampuan apa-apa untuk bergerak dan menghasilkan karya, hingga waktu yang mengajarkan dengan proses yang tidak sekejab kedipan mata, dan mampu merubah semua hal dalam hidupnya.
Rasa ketidakmampuan yang dimiliki seseorang akan hilang dengan sendirinya seiring waktu yang berjalan. Namun, tidak begitu saja hilang. Harus ada upaya yang dilakukan, dengan ikhtiar dan doa agar dimampukan. Hal yang pertama dilakukan selain kata ‘mau’ adalah merubah pola pikir kita sendiri. Merubah paradigma berfikir yang lebih baik dengan selalu berpikir positif dan menebarkan energi positif di sekeliling kita. Meyakini diri bahwa kita mampu berbuat sama seperti orang lain, belajar dan berkarya seperti halnya mereka. Tidak ada manusia sempurna, karena masing-masing individu diciptakan dengan ragam keunikan dan kemampuan yang berbeda. Tinggal bagaimana kita menemukan potensi diri dan mengembangkannya, hingga menghasilkan karya.
Bagaimana menumbuhkan rasa kepercayaan diri? Dengan cara mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Cara mencintai diri sendiri adalah dengan memahaminya sebaik mungkin. Yang tahu seluk beluk raga adalah diri sendiri, bukan orang lain. Guru itu digugu dan ditiru. Bagaimana mengajak peserta didiknya percaya diri jika guru tidak punya kepercayaan diri mengasah kemampuan? Bagaimana peserta didik mau berkarya jika guru tidak mau berkarya? Sama halnya dengan literasi, bagaimana seorang peserta didik mau membaca dan menulis jika seorang guru tidak mampu memberikan tauladan kepada mereka? Semua bisa jika kita mau berusaha, dan mampu melakukan yang orang lain mampu lakukan. Hanya saja, harus ada kata ‘mau’ terlebih dahulu. Karena sesungguhnya Sang Maha Kuasa selalu bersama dengan prasangka hambanya. Jika kita merasa mampu, akan dimampukan. Begitu pun sebaliknya.
Tentu saja tidak berlebihan dan tidak pula memaksakan diri, karena menulis itu kemampuan yang dimiliki oleh siapa saja. Tinggal bagaimana kita mengasahnya. Ada yg memiliki bakat hingga bisa menghasilkan karya dengan mudah. Ada yang memulainya dari nol, berjuang sekuat tenaga dengan proses panjang, baru manghasilkan sebuah karya. Semua membutuhkan proses masing-masing. Asal dijalani dengan ikhlas, maka semua akan terasa nikmat.
Penulis memilih menulis sebagai cara menumbuhkan rasa percaya diri, menghilangkan kebaperan, mengungkapkan rasa dengan cara yang elegan. Rasa tidak percaya diri pada kemampuan, merasa katrok dengan teknologi akhirnya menjadi pengalaman masa lalu yang menjadi pembelajaran hidup untuk menjadi lebih baik lagi. Merasakan tidak memiliki kemampuan apa-apa menjadikan penulis stagnan pada kondisi tidak mau bergerak maju, dan menyesali kondisi diri sendiri, terlalu bergantung pada orang lain, mudah baper, hingga menutup diri untuk bersosialisasi akibat rasa tidak percaya diri berlebih. Kondisi kejiwaan seperti ini yang memicu munculnya banyak penyakit bagi yang tidak sakit, dan memperparahnya bagi kondisi tubuh yang sudah sakit. Terlebih lagi pada peserta didik yang terkategori masih remaja. Kondisi kejiwaannya masih labil, hingga sangat rentan bully.
Menulis pada awalnya memang terasa sulit. Hampir semua orang yang menggeluti profesi sebagai penulis pasti merasakannya. Setelahnya, baru terasa nikmat. Menulis itu seperti candu, yang menimbulkan hawa rindu. Setelah mencoba sekali, kita akan terus ketagihan ingin menulis kembali. Begitu yang dirasakan oleh penulis. Selain belajar teknologi, mengembangkan diri dengan cara menulis dijalani dengan perjuangan yang tidak mudah. Mengikuti pelatihan menulis, webinar, hingga bersama-sama dengan penulis lainnya menghasilkan karya antologi sebagai awal memulai berkarya mengekspresikan diri melalui tulisan.
Bisa karena terbiasa. Menulis merupakan sebuah keterampilan yang harus diasah. Jika sudah memulainya, maka harus terus dilatih untuk menulis kembali. Jangan pernah merasa tulisan kita buruk, yakin saja bahwa setiap tulisan akan menemukan pembacanya masing-masing. Jika kita terbiasa menulis, akan terasa hampa jika sejenak saja kita tinggalkan kegiatan positif itu. Perlu diingat kembali, bahwa semua butuh proses. Yang terpenting kita mau belajar, bergerak, dan melakukan aksi nyata dengan berkarya. Hingga pada saatnya, kita dapat menghasilkan karya terbaik.
Pandemi menjadi awal perubahan besar pada diri penulis. Dari yang tidak mampu, menjadi mampu. Dari rasa minder dan baper, menjadi inspiratif dengan hasil tulisan yang bagi sebagian pembacanya menjadi sumber motivasi dan inspirasi mereka. Bahkan, sebagian yang mengikuti tulisannya di Story WhatsApp maupun media sosial lain ikut tergerak untuk mengikuti jejak jadi penulis dan kegiatan positif lainnya. Mencoba memberanikan diri selain belajar untuk diri sendiri, penulis juga mencoba memberikan wadah belajar bagi orang lain, khusunya guru-guru di seluruh Nusantara dengan mengadakan pelatihan dan webinar tentang pemanfaatan teknologi pendidikan maupun tentang kepenulisan.
Mengadakan webinar pertama kali, penulis coba lakukan setelah mendapatkan materi belajar dari pelatihan pembelajaran berbasis teknologi yang diikuti. Beberapa pertanyaan dari rekannya terkait bagaimana cara membuat video pembelajaran usai melihat postingan penulis atas hasil video pembelajaran yang dibuat, memotivasinya untuk mengadakan webinar dan pelatihan membuat video pembelajaran untuk seluruh guru di Indonesia. Hingga akhirnya dengan bantuan kerjasama beberapa pihak termasuk sekolah tempat penulis mengajar, webinar perdana yang diadakan berhasil dengan peserta sebanyak 440 guru yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Bermodalkan keberanian itu makin menambah kepercayaan diri penulis untuk terus mengadakan kegiatan-kegiatan serupa yang dapat mengembangkan profesi guru khususnya dalam dunia pendidikan. Webinar Media Pembelajaran Interaktif menjadi awal keberhasilan dan modal mengumpulkan banyak relasi untuk memudahkan interaksi dalam penyampaian informasi kegiatan-kegiatan selanjutnya. Menyusul Pelatihan PTK untuk Guru se-Kaltim, Webinar Saatnya Guru Menulis, dan beberapa pelatihan dan kegiatan nulis bareng baik di lingkungan sekolah hingga nasional yang menghasilkan beberapa karya antologi.
Ternyata, dengan menulis, seorang guru biasa bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja. Menghilangkan rasa baper menjadi mandiri dan berani bergerak di mana saja dan kapan saja demi memberikan manfaat bersama. Tetap belajar, bergerak dan melakukan aksi nyata dengan berkarya. Menulis dan menghasilkan karya berupa buku, baik karya individu, kelompok maupun antologi, menjadi cara mengembangkan diri bagi guru khususnya dan mampu menjadi motivasi dan inspirasi bagi lingkungannya. Terus belajar, mengembangkan potensi diri, berpikir positif-kreatif hingga mampu berbagi kebaikan untuk sekitar. Menjadi guru inspiratif dari karya yang dihasilkan, dengan menumbuhkan self confident lebih dahulu dari menulis.
*Penulis/Guru di SMKN 2 Balikpapan