Oleh : Syahrullah Asyari*
Ini adalah catatan saya mengawali tahun 1443 hijriah sebagai hasil refleksi terhadap berbagai sikap di masyarakat selama 1442 hijriah. Kata arif biasanya dimaknai sebagai bijaksana. Kata arif sebenarnya adalah kata serapan dari bahasa Arab. Kata arif berasal dari kata ‘arafa – ya’rifu: mengetahui, sehingga kata arif yang merupakan isim fa’il berarti “(orang) yang mengetahui”. Dari sini, ada makna bahwa orang yang arif itu adalah orang yang memutuskan sesuatu berdasarkan (ilmu) pengetahuan. Secara filosofis, ini menunjukkan bahwa etika ternyata tidak terpisahkan dari epistemologi.
Pengetahuan tentang apa? Itulah pengetahuan tentang mafsadat dan maslahat yang mungkin timbul dari keputusan (sikap atau tindakan) yang akan diambil. Sebuah kaidah fikih: “dar-ul mafaasidi muqaddamun ‘alaa jalbil mashaalih”. Artinya, “menolak kerusakan (mafsadat) lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan (maslahat)”. Kaidah ini sangat logis dan secara tidak langsung mengajarkan kepada kita kehati-hatian dalam menyikapi sesuatu atau dalam mengambil keputusan, kapanpun dan di manapun berada, serta dengan posisi apapun di masyarakat.
Kaidah fikih tersebut adalah salah satu kaidah yang menjadi landasan (kearifan atau kebijaksanaan) ulama mengeluarkan fatwa (memutuskan) tentang bagaimana mestinya kaum muslimin beribadah atau bersikap di masa pandemi. Himbauan untuk shalat berjama’ah dengan shaf berjarak, mengenakan masker, dan selainnya dengan protokol kesehatan ketat saat shalat berjama’ah di masjid di masa pandemi adalah salah satu contoh penerapan kaidah fikih tersebut. Artinya, himbauan itu bukan tanpa dasar agama yang logis. Sebaliknya, himbauan itu justru sangat berdasar dan logis.
Shalat berjama’ah adalah salah satu syari’at Allah. Salah satu di antara maksud diturunkannya syari’at oleh Allah (maqashid asy-syari’ah) adalah menjaga jiwa (hifzhu an-nafs), bukan justru menjerumuskan jiwa pada kebinasaan. Itulah sehingga dihimbau untuk sementara waktu, shalat berjama’ah diselenggarakan demikian. Bahkan dalam kondisi tertentu yang sangat mengkhawatirkan, shalat berjama’ah pun dihimbau untuk ditegakkan di rumah saja. Dengan demikian, kita sudah berusaha untuk tidak menjadi sebab orang lain mendapatkan mudharat, juga agar kita tidak terkena mudharat dari orang lain, seperti dalam kaidah fikih lainnya yang juga sangat logis: “laa dharara wa laa dhiraar”. Artinya, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang menimbulkan mudharat (bahaya) bagi diri sendiri dan orang lain”.
Dengan kaidah fikih yang dikemukakan di atas, mestinya sudah jelas. Shalat berjama’ah dengan protokol tertentu tersebut saat ini, sebenarnya bukan bermaksud mengubah-ubah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apalagi membenci dan meniadakannya, atau dengan alasan lainnya. Tetapi, meninggalkan sunnah itu sementara waktu, karena mengambil sunnah yang lain, yaitu mengikuti seruan dari ulama sebagai pewaris nabi, sekaligus ulil amri kaum muslimin yang menjelaskan cara penyelenggaraan ibadah di masa pandemi agar jiwa masyarakat, khususnya kaum muslimin, tetap terjaga.
Penerapan kaidah fikih di atas tidak terbatas pada konteks ibadah. Kaidah tersebut bisa dan mestinya dibawa ke dalam berbagai konteks dalam kehidupan kita sehari-hari saat akan mengambil keputusan. Mengapa? Karena setiap kita sejatinya adalah pengambil keputusan atau pemimpin. Minimal kita menjadi pengambil keputusan bagi diri sendiri. Apalagi menjadi pengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat, baik menyangkut urusan dunia, maupun urusan akhirat. Semua keputusan yang diambil itu akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Ta’ala.
Arsyadaniya Allahu wa iyyaakum
*) Penulis adalah Dosen Sejarah dan Filsafat Matematika FMIPA UNM, Alumni Ma’had Al-Birr Makassar