Oleh: David Efendi*
Dalam buku matinya universitas dipergunjingkan borok dan kebobrokan dunia akademik di Barat. Matinya universitas pernah diramalkan oleh Noam Chomsky dalam tulisanya bertajuk The Death of The American University. Judul tulisan tersebut memang merujuk pada Amerika, namun permasalahan yang sama sesungguhnya bisa saja terjadi di universitas di berbagai sudut belahan bumi lain. Kematian universitas pasti banyak pemantiknya. Akhlak (moral dan etis) salah satu dari sekian banyak sebab.
Buku Dark Academia: How Universities Die karya provokatif Peter Fleming mengeksplorasi dampak buruk dari birokratisasi kampus dan praktik dan beroperasinya rezim neoliberal di lembaga Pendidikan. Tentu bukan hanya di Barat. Beroperasinya nalar pasar liberal pada akhirnya meracuni kaum akademisi baik karena godaan uang atau hasrat citra pemeringkatan (misal: jumlah citasi). Racun ini bisa menjadi candu atau memang pembunuh secara perlahan-lahan tetapi pasti, slowly but sure. Buku Flaming ini seharusnya punya daya guncang besar jika saja suasana bumi manusia tidak diteror pandemi zoonosis bernama Covid-19.
Setelah matinya kepakaran dan temuan gejala matinya demokrasi, mimpi teramat buruk matinya universitas ternyata bukan isapan jempol belaka. Perlu gerak titik balik peradaban yang positif untuk menghindari petaka akibat tiga serangkai kematian di atas: kepakaran, demokrasi, dan akademia.
Nampaknya, bukan hanya penggalan dunia barat yang sedang dan perlu dikoreksi, akan tetapi di dalam suasana batin saya dan kelompok di mana saya berada juga perlu muhasabah besar-besaran menuju pertobatan intelektual yang level PPKMnya taubatan nashuhah. Bagaimana tidak? kerusakan di negeri ini telah sempurna satu dekade terakhir ini yaitu robohnya pilar kebangsaan yang disimbulkan kerusakan dan korupsi di bidang pencerdasan otak yaitu di Kementerian Pendidikan, di urusan kesehatan jasmani pada Kementerian Kesehatan, dan di Kemernterian Agama yang mengurus perkara surga dan neraka.
Bagi banyak orang, lembaga pendidikan adalah alat perjuangan dan sekaligus medan pertempuran nilai. Bangsa ini dibayangkan melalui proses pendidikan sehingga apa yang dikonsepsikan Ben Anderson akan politically imaginned community itu berdaya tahan di tengah terpaan globalisasi dan glokalisasi. Lembaga pendidikan mengawetkan itu semua dengan segala rupa cara dan strateginya: upacara, nyanyian, janji-janji, soal-soal ujian, film-film, dan cerita-cerita bualan yang berfaedah atau unfaedah.
Dua Keruntuhan, Dua Dunia
Bagi banyak orang tragedi hilangnya martabat dan moralitas kaum terdidik pandai adalah kekalahan paling buruk dalam periode zaman Homo Sapien modernitas. Jika politisi tidak menggunakan hasil riset kampus itu bukanlah persoalan yang mematikan peradaban, tetapi apabila publik luas tidak menjadikan kembaga pendidikan sebagai tolok ukur moral politik, moral ekologi, dan moral ekonomi maka universitas telah kehilangan subtansinya sebagai penerang kegelapan dan pembawa obor peradaban.
Tulisan ini hendak mendedah dua keruntuhan marwah kampus yaitu keruntuhan pada bangunan moral kecendekiawanan dan moral akademik atau moral intelektual. Dua keruntuhan yang patut diomongkan. Pertama, keruntuhan moral kecendekiawanan. Moral intelektual dan moral agama harusnya bisa disatupadukan. Perbedaan kecendekiawanan dan intelektual ada pada keberpihakannya pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Itu titik berangkat dan titik kordinatnya. Watak intelektual lebih didefinisikan sebagai kapasitas kognitif-akdemik dan bukan etis.
Keruntuhan pertama, akhlak bangsa disemai dalam praktik pendidikan dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Ada keberpihakanya yang harus dipikul oleh insan cendekia atau akademia yaitu keberpihakannya pada kepentingan rakyat atau kelompok lemah dan tertindas. Kaum terpelajar akan kehilangan daya guna bernilai tanpa pelibatan dirinya pada realitas sosialiogis, politis, ekologis,dan ekonomis. “Apa guna punya ilmu tinggi, jika mulut bungkam melulu. Kalimat protes Wiji Tukul yang terus menggema bagi yang mau mendengarkan suara jernihnya.
Fenomena kaum akademia menjadi kurban dari struktur kekuasaan memang luas dibincang sehingga muncul terminologi pengkhianatan intelektual (Julian Benda, 2000). Banyak akademisi sibuk menikmati ketidakbebasan dan mendiamkan ketidadilan dipraktikkan karena skema-skema riset yang menggiurkan namun hasil risetnya mengalami lack of public interest. Kuasa administrasi pendidikan membelenggu tugas serta fungsi dosen sebagai akademisi dan intelektual kampus yang mana situasi ini akan menghasilkan jejak peradaban pendidikan tanpa pendidikan (Tinarbuko, 2021). Belenggu scopus juga diam-diam menyiksa banyak kalangan baik disadari atau setengah tak sadar diri. Ini juga mengancam akhlak akademik. Publikasi itu keran dengan memasukkan akhlak scopusiyah sehingga kaumm akademik terhindar dari upaya-upaya menghalalkan banyak cara demi reputasi jumlah publikasi.
Keruntuhan kedua, runtuhnya moral akademik akibat dari teknikalisasi atau pabrikisasi karya akademik sebagai gejala paling ambyar dimana kuantitas menjadi pilihan demi meraup dana penelitian. Bobroknya itu disini salah satunya bahwa faktanya riset dengan trilyunan rupiah minim kontribusi dalam ranah aplikasi pengetahuan yang dapat membantu masyarakat menyelesaikan persoalan mendasar dan aktual.
Kesadaran palsunya justru karena pihak akademisi merasa telah membantu mengembangkan ilmu dan masyarakat sebagai produsen ilmu dan berhasrat menjadi wali dari masyarakat mistis dan tradisional. Teknikalisasi masalah ini akan memaksa akademisi lebih intim berhadapan dengan mesin/software dan lingkar peneliti dan membangun jarak pada realitas empirik.
Sebagai akibatnya, banyak karya ilmiah musnah tidak terbaca lantaran tidak operasionalnya temuan-temuan dari rumusan dan juga akibat rangkaian tesis yang super njlimet dan sulit dipahami manusia biasa. Tugas intelektual dan akademisi itu menyederhakanan pengetahuan yang rumit sehingga masuk diakal bagi orang-orang biasa (ordinary people). Jika itu tidak mampu, maka belajarlah menjadi academia yang lebih baik lagi.
Nilai akademik bukan tidak penting sama pentingnya seperti relasi ilmu dan agama namun di dalam mengejar nilai koin dan point akademik jangan sampai meluluhlantakkan tatanan moral/al akhlaqul al karimah. Jika menabrak akhlak maka ilmu akan lebih bersifat destruktif ketimbang menjadi penyangga visi peradaban zaman. Ilmu tanpa akhlak/agama akan menjadi buta, agama tanpa ilmu menjadi pincang.
Sebagai akademisi harus galau jika seringkali salah pikir dan kelewat percaya diri. Asit K. Biswas & Julian Kirchherr (2021) menulis artikel yang diberinya judul Prof, no one reading you yang bagus akan kegelisahan dan memberi bunyi alarm bahaya bagi dunia ilmuwan-intelektual. Dari isi artikel tersebut sesungguhnya ada banyak hal mencengankan akan betapa erzazt-nya dan gelapnya dunia academia di muka bumi manusia. Terlebih akibat pandemi, pencurian akademik dan pengkhianatan intelektual kian massif baik yang terlihat (visible) atau yang disamarkan (hidden). Butuh lebih banyak agen perubahan seperti watchdog membongkar wajah buruk dunia riset dan publikasi yang kian banyak lubang hitamnya.
Pada 1930-an dan 1940-an, 20 persen artikel di The American Political Science Review yang bergengsi berfokus pada rekomendasi kebijakan. Pada hitungan terakhir, pangsanya turun menjadi 0,3 persen. Bahkan perdebatan di antara para sarjana tampaknya tidak berfungsi dengan baik. Ada sebanyak 1,5 juta artikel peer-review diterbitkan setiap tahun. Namun, banyak yang diabaikan bahkan dalam komunitas ilmiah sekalipun.
Ada 82 persen artikel yang diterbitkan dalam bidang humaniora bahkan satu kalipun tidak dikutip. Tidak ada yang pernah mengacu pada 32 persen dari artikel peer-review di bidang sosial dan 27 persen dalam ilmu alam. Jika pun sebuah makalah dikutip, ini tidak berarti bahwa itu benar-benar telah dibaca. Menurut salah satu perkiraan, hanya 20 persen dari makalah yang dikutip benar-benar telah dibaca. Diperkirakan bahwa rata-rata makalah dalam jurnal peer-review dibaca sepenuhnya oleh tidak lebih dari 10 orang. Oleh karena itu, dampak dari kuantitas publikasi yang besar dari jurnal peer-review sangat kecil bahkan dalam komunitas ilmiah.
Sebagai ungkapan kegelisahan ini, penulis hendak mengajak merefleksikan kondisi tidak ideal dalam dunia pendidikan ini dengan mendorong sikap jujur dan adil sejak dalam pikiran sebagai teologi pendidikan kita menghadapi tsunami pragmatisme dan gelombang otoritarianisme dalam dunia pendidikan yang dipicu oleh praktik neoliberalisasi pendidikan yang terlampau berorientasi masyarakat teknologis tetapi tuna etika (lack of moral integrity) ekologis dan moral etis.
Sebagaimana nilai-nilai peradaban utama, kaum academia harus juga memihak pada etika dan etis baik berbasis agama maupun nilai-nilai keadilan universal dan bukan menjadi true believer akan prestasi (cognitive oriented) sehingga mendahulukan akhlak adalah pilihan sadar sebagai bentuk keberpihakan yang paripurna dalam bangunan kebudayaan manusia. Nilai akademik bisa dicari dan bisa dilatih dengan beragam kecanggihan sofware, namun jika akhlak runtuh akan sulit dicari obat herbalnya atau dokternya. Dalam hasanah islam, Akhlak lebih utama dari apa pun sehingga wajar kedudukan akhlak jauh di atas marwah ilmu pengetahuan.
Ala kulli hal, nabi Muhammad diutus di dunia bukan untuk menyempurnakan ilmu atau apa pun kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak lebih utama dibandingkan dengan apa pun. Disebutkan juga di dalam Kitab Musnadz Tirmidzi pada hadis ke 2002, Nabi Muhammad SAW juga mengatakan yang artinya “Sesungguhnya perkara yang lebih berat di timbangan amal bagi seorang Mu’min adalah akhlak yang baik. Dan Allah tidak menyukai orang yang berbicara keji dan kotor” (HR. At Tirmidzi no. 2002, ia berkata: “hasan shahih”).
* Ketua Serikat Taman Pustaka Muhammadiyah