Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Menjaga Demokrasi di Tengah Badai: Islam Berkemajuan dan Peran Strategis Generasi Muda

×

Menjaga Demokrasi di Tengah Badai: Islam Berkemajuan dan Peran Strategis Generasi Muda

Share this article

Oleh: Multazam Ahmad (Founder Mata Project Indonesia)

KHITTAH. CO – Indonesia hari ini tidak berada dalam kekosongan demokrasi, tetapi dalam kegaduhan ide dan narasi. Demokrasi kita tumbuh, namun kadang goyah oleh tendensi totalitarianisme yang berselubung institusi, atau oleh populisme instan yang menjual emosi ketimbang solusi. Di tengah situasi inilah, kita butuh lensa baru: membaca bangsa ini bukan hanya dari realitas politik formal, tetapi juga dari bagaimana ilmu, nilai, dan pengalaman pribadi memberi makna terhadap perjuangan kolektif.

Saya ingin memulai dengan pengalaman yang mungkin dialami banyak anak muda hari ini: menjadi bagian dari sistem, lalu disingkirkan olehnya. Dalam sebuah forum musyawarah besar yang mewakili jutaan suara, saya terpilih secara sah sebagai ketua umum. Namun, tak lama kemudian, muncul kelompok kecil yang menggugat, tidak melalui forum yang sah, tetapi melalui jalur tekanan struktural.

Mereka mengklaim pelanggaran prosedural, lalu mencari legitimasi dari institusi di atasnya, hingga akhirnya keputusan forum dibekukan. Saya tidak menyesali peristiwa itu. Justru dari hal itulah saya melihat bahwa demokrasi bisa dibajak oleh mereka yang pandai memainkan simbol, kuasa, dan sentimen, namun melupakan etika.

Apa yang saya alami bisa dibaca melalui teori Hegemonic Democracy dari Antonio Gramsci yang menyebut bahwa dominasi kultural bisa lebih kuat dari dominasi hukum. Kelompok hegemonik tidak butuh mayoritas formal selama mereka menguasai opini publik, simbol, dan jalur legitimasi.

Indonesia tidak hanya hidup dari teori Barat. Kita punya jejak panjang pemikiran kebangsaan. Bung Karno, misalnya, mengingatkan dalam pidato lahirnya Pancasila (1945) bahwa Indonesia adalah rumah bersama yang tidak boleh didikte oleh satu ideologi tunggal. Bung Hatta menambahkan bahwa demokrasi sejati hanya tumbuh dari keadaban publik, bukan sekadar kotak suara. Bahkan, Tan Malaka menegaskan pentingnya “Materialisme Dialektika” sebagai metode berpikir kritis agar rakyat tidak mudah dibohongi elite.

Hari ini, tantangan demokrasi kita bukan cuma soal oposisi vs pemerintah, atau kanan vs kiri. Tapi, tentang relevansi nilai dan institusi. Tentang bagaimana anak muda, kelas menengah, organisasi masyarakat, hingga media digital, mampu menolak kooptasi dan mengembalikan demokrasi ke ruh dasarnya: kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.

Dalam konteks inilah saya ingin mengusulkan satu pendekatan yang selama ini dianggap sunyi namun kuat: Islam Berkemajuan.

Muhammadiyah sejak awal mengusung gagasan ini. Islam yang berpijak pada ilmu, terbuka terhadap modernitas, berpihak pada kaum mustadh’afin, dan menolak kekerasan serta otoritarianisme. Islam Berkemajuan menolak menjadikan agama sebagai alat legitimasi kekuasaan, sekaligus mengingatkan bahwa demokrasi pun harus bermoral.

Di tengah polarisasi politik hari ini, pendekatan Islam Berkemajuan bisa menjadi penawar. Ia tidak berisik, tapi membentuk. Tidak reaksioner, tapi reflektif. Muhammadiyah, melalui pemikiran Prof. Amin Abdullah tentang integrasi ilmu dan iman, serta Buya Syafii Maarif dalam etika kebangsaan, menawarkan cara baru bernegara yang beradab, rasional, dan berpihak.

Generasi muda hari ini, termasuk saya dan Anda, tidak boleh hanya jadi penonton. Kita adalah pelaku sejarah. Kita adalah mereka yang akan menulis bab berikutnya dari demokrasi Indonesia. Tapi kita harus sadar: menjadi muda bukan jaminan jadi benar. Yang dibutuhkan bukan hanya semangat, tetapi keteguhan etika. Bukan hanya narasi, tapi aksi. Bukan hanya viral, tapi relevan.

Dalam situasi seperti ini, saya percaya pentingnya apa yang disebut oleh Nurcholish Madjid sebagai “sekularisasi politik”, bukan menjauh dari agama, tetapi memisahkan agama dari syahwat kekuasaan. Negara harus adil bagi semua, tanpa menghilangkan nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi moral publik.

Dan jika kita bicara masa depan, maka masa depan itu ada di ruang digital. Itulah kenapa saya mendirikan Mata Project Indonesia: sebagai ruang dialog, narasi, dan pendidikan publik untuk anak muda, agar mereka tidak hanya melek politik, tapi juga melek nilai.

Indonesia tidak butuh figur penyelamat tunggal. Tapi Indonesia butuh barisan penjaga nilai. Mereka yang mungkin tidak viral, tapi konsisten. Tidak selalu menang, tapi tidak pernah menyerah. Seperti kata Buya Syafii Maarif, “Yang penting bukan hanya di mana kita berdiri, tapi untuk siapa kita berdiri.”

Saya memilih berdiri untuk demokrasi yang adil, untuk Islam yang memuliakan akal dan hati, dan untuk Indonesia yang lebih berkemajuan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply