Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Pendidikan

Menulis & Berpikir Kreatif cara Spiritualisme Kritis

×

Menulis & Berpikir Kreatif cara Spiritualisme Kritis

Share this article
Sampul Buku Kursus Menulis Ayu Utami
Sampul Buku Kursus Menulis Ayu Utami

Oleh: Hadisaputra *)

Identitas Buku:

Nama Penulis: Ayu Utami

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Kota & Tahun Terbit: Jakarta, 2015

ISBN: 978-979-91-0874-6

Saya ingin bercerita sedikit tentang kenapa saya tertarik membeli buku ini. Buku ini saya beli kurang lebih 3 bulan yang lalu. Sebelumnya, saya dilanda keinginan yang kuat untuk meningkatkan kapasitas diri dalam menulis. Hal pertama yang membuat saya tertarik adalah judul, “Menulis dan Berpikir Kreatif cara Spiritualisme Kritis”. Kedua, ada “jaminan mutu” pada nama penulisnya, Ayu Utami. Ketiga, selain judul dan nama penulisnya, saya juga cukup mengagumi format bukunya. Tak ubahnya sebuah buku binder anak kuliahan. Mungkin karena buku ini didesain sebagai “buku belajar” tentang menulis.

Buku Ayu Utami yang pertama kubaca adalah Bilangan Fu. Belakangan, saya juga membaca “maya” dan “bukan parasit lajang”. Oh iya, nampaknya saya juga pernah membaca “saman”, tapi sudah lama sekali. Kesan saya adalah, Ayu Utami memiliiki imajinasi yang tak biasa. Membaca novelnya kita membaca sesuatu yang unpredictable. Membaca karyanya kita dibawa untuk menelusuri sebuah pergulatan hidup yang mengugat “kehidupan biasa”. Ia selalu menawarkan perspektif baru memandang kehidupan.

Ayu Utami adalah seorang penulis posmodernis. Ia memberikan misteri, dan menawarkan kenikmatan. Ia menawarkan keliaran imajinasi. Ayu mengajak saya menelusuri sisi terdalam dalam diriku yang selama ini jarang kujamah. Ia bukan hanya mengajak kita hidup berdampingan dengan agama dan etnis yang berbeda. Bahkan ia menawarkan hidup berdampingan dengan makhluk lain; makhluk yang jelek, makhluk halus. Ia, mengajak kita memasuki dunia lain, yang sering kali digusur oleh modernitas.

Mungkin Ayu Utami sengaja menerangi bagian-bagian tergelap yang ada dalam diri kita. Ia bicara tentang perselingkuhan, tentang perkhidmatan pada kaum marjinal, tentang pergulatan iman. Spiritualitas, yang selalu diasosiasikan pada narasi agung tentang Tuhan kaum monotheis, ia gunakan pula untuk berziarah pada berbagai kearifan spiritual ‘agama lokal’ yang sering dihakimi sebagai pelaku kesesatan. Saya sempat berpikir, mungkin saja MUI tidak pernah membaca buku-bukunya, makanya nyaris ia tak pernah tersentil fatwa lembaga otoritatif sebagai benteng umat itu. Padahal karya-karyanya, dalam perspektif MUI; bisa merusak akidah umat.

Ya, Ayu Utami mengakui ia memang bicara tentang spiritualitas. Baginya, kreativitas sama halnya dengan spiritualitas, membutuhkan sikap terbuka, dan kesediaan pada yang tak terduga. Jalan spiritual, kata Ayu, mengajak kita agar tidak mencari bentuk-bentuk luar untuk ditiru. Melainkan mencari ke kedalaman diri sendiri. Untuk menemukan suara asli kita sendiri diperlukan kejujuran dan keberanian.

“Spiritualisme kritis dan proses kreatif adalah suatu perjalanan untuk menemukan diri kita sendiri, sehingga kita tidak perlu bergaya ini-itu untuk menjadi unik dan berkarakter. Jika kita menemukan diri kita sendiri, dengan sendirinya kita unik dan berkarakter secara otentik,” tulis Ayu Utami.

Pentingnya Kreativitas

Memang tulisan ini belum mencakup keseluruhan isi buku. Saya lebih fokus untuk menguraikan tiga bab awal dari buku tersebut. Tiga bab tersebut bicara tentang kreativitas. Bagi Ayu Utami, kreativitas adalah sesuatu yang muncul dari dalam diri, seperti cinta dan kasih yang berbuah dari dalam. Ayu Utami mengklaim bahwa bukunya menghantar orang untuk mengolah potensi kreativitasnya dari dalam. Selama di sekolah/ kampus, kreativitas diajarkan lebih berorientasi hasil, seperti macam-macam gaya bahasa, plot, dan lain-lain. Menurutnya, pengetahuan itu justru menjadi penjara bagi para pembelajar untuk meniru daripada mencipta.

Di awal buku ini, Ayu Utami, menawarkan “AMBAK” (Apa Manfaatnya Bagiku) bagi pembacanya. Pertama, ia menjanjikan, buku ini akan mengantar pembacanya untuk mengenali potensi dan cara kerja kreatif yang ada dalam diri. Kreativitas itu penting, karena ia akan membantu kita mengatasi kebekuan dan kebuntuan. “Berpikir kreatif membantu kita melihat masalah dengan perspektif baru dan mengantar kita menemukan penyelesaian yang inovatif,” sabda Ayu Utami.

Janji kedua buku ini, ia dirancang agar para pembacanya “mengalami” dan “menyadari” proses berpikir kreatif melalui penulisan cerita pendek (cerpen). Menurut Ayu, cerpen adalah bentuk dasar untuk membangun kemampuan naratif yang lebih kompleks. Cerpen membuat kita semakin mengenali karakter manusia, kemampuan tersebut dibutuhkan untuk segala pekerjaan. Cerpen, sambung Ayu, akan melatih kita cara memecahkan persoalan secara kreatif, serta menjernihkan pikiran.

Untuk sementara, saya lebih tertarik pada janji Ayu yang pertama. Untuk janji yang kedua, saya masih harus belajar lebih giat. Saya adalah seorang penikmat sastra, setidaknya saya termasuk pembaca cerpen dan novel (Tapi, bukankah tak semua cerpen dan novel adalah karya sastra? Kita bahas topik ini lain kali ya). Namun hingga saat ini, saya belum tertarik (mungkin lebih tepatnya belum mampu) menulis cerpen, apalagi novel. Setidaknya, buku ini bisa membuat saya “menyadari” proses pembuatan sebuah karya sastra. Saya menjadi lebih peka ketika membaca buku-buku sastra.

Tentang kreativitas, Ayu Utami mengeluarkan fatwa: “Hukum dalam dunia kreatif bukanlah bersifat perintah dan larangan”, dengan kata lain; “kita bukan robot. Kita tidak menjadi hidup dengan manual. Kita manusia. Kita bekerja dengan informasi dan mengambil keputusan dengan kehendak bebas dan pertimbangan akal budi.” Oleh karena itu, bagi Ayu, segala hal boleh ditulis, yang dipelajari adalah caranya.

Karya kreatif, lanjut Ayu Utami, adalah karya yang hidup. Ia memiliki jiwa dan tubuh (kerangka, daging, dan kulit). Apa itu jiwa tulisan? Yang saya pahami jiwa sebuah tulisan adalah ide, dorongan, dan tujuan yang mendasari lahirnya karya tersebut. Tubuh sebuah tulisan dikelompokkan sebagai berikut, Kerangka terdiri dari 1) Hukum kreativitas dan dasar-dasar deskripsi; 2) Orientasi dan Struktur Dasar Narasi; 3) Bank Ide dan Spiritualisme Kritis (I); 4) Prinsip Kenikmatan. Daging terdiri dari; 1) Fokus; 2) Karakter, Dialog, Sudut Pandang; 3) Deskripsi. Kulit merupakan perpaduan dari; 1) Gaya bahasa; 2) Eja dan Sunting, serta Spiritualisme Kritis (II); 3) Estetika dan etika.

Saya tidak akan menguraikan ulasan poin-poin diatas dalam tulisan ini secara utuh. Saya hanya menguraikan beberapa topik yang menarik bagi saya. Misalnya tentang Jiwa sebuah tulisan. Kata kunci yang ditawarkan Ayu Utami adalah “ide” dan “dorongan”. Ide dapat dipancing dengan pertanyaan “apa?”. Jika kita sudah bisa merumuskan “subjek + predikat”, berarti ide tersebut sudah cukup jelas.

Jika kita belum memiliki ide tentang menulis. Kita harus mengawalinya dengan mengenali dorongan apa yang ada dalam diri kita. Seperti ketika membuat tulisan ini, saya tidak memiliki ide. Tapi saya memiliki dorongan untuk menulis secara disiplin. Bagaimanapun caranya, tulisan ini harus selesai. Apakah saya telah menganggap menulis sebaggai sebuah beban? Tidak, saya memandang menulis sebagai tanggungjawab. Saya menulis karena saya ingin mendisiplinkan diri dalam menulis.

Hal lain yang menarik dari buku Ayu adalah penjelasan tentang deskripsi. Bagaimana cara membuat deskripsi? Deskripsi ibarat perkenalan. Ada tiga jurus deskripsi yang ditawarkan oleh Ayu Utami. Pertama, jurus jurnalistik, dengan 5 W + 1 H. Kedua, jurus panca indera (sensoris), mendeskripsikan apa yang dapat dilihat, apa yang didengar, apa yang dapat diraba, apa yang dapat dikecap, dan apa yang dapat dicium. Ketiga, apa yang kita rasakan. Apa yang kita rasakan ketika berjumpa dengan orang lain. Intinya, tiga aspek penting dalam membuat deskripsi adalah kemampuan untuk memuaskan pengetahuan, indera, dan rasa.

Saya menghubungkannya dengan pengetahuan dasar saya tentang jurnalistik. Kalau kita telah menguasai jurus pertama, berarti kita telah mampu membuat straight news. Jika menguasai jurus kedua dan ketiga, kita mampu membuat feature. Ayu Utami mampu menjelaskannya dengan sangat sederhana, berbeda ketika pertama kali saya ikut diklat jurnalistik di pers kampus dulu.

Ayu Utami juga mebuat saya mampu membedakan antara “data” dan “makna”. Data itu bersifat obyektif, dan makna bersifat subyektif. Data dapat dideteksi oleh panca indera. Sedangkan makna itu bersifat personal. Data yang sama, bisa dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Misalnya kita melihat orang yang mengedipkan mata, mungkin ada yang memaknainya sebagai kode tertentu. Seorang gadis yang mendapatkan kode mata dari seorang pemuda, mungkin akan memaknainya sebagai ‘godaan’. Seorang dokter ahli syaraf, mungkin melihatnya sebagai adanya gangguan syaraf mata pada orang tersebut. Makna sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang.

Poin lain dari Ayu Utami, “yang kita katakan tidak sama dengan yang kita pikirkan”. Demikian pula dalam menulis, tak semua pikiran kita tertuang dalam tulisan. Mungkin jika semua yang kita pikirkan tertuang dalam tulisan, kita bisa menyakiti atau mempermalukan banyak orang, atau mungkin diri sendiri. Poin ini saya kaitkan dengan aktivitas free writing. Dalam free writing, kita tumpahkan semua yang ada dalam benak kita. Namun, sebelum tulisan itu kita lempar ke publik, kita akan membuang bagian-bagian yang mungkin hanya dianggap pantas sebagai konsumsi pikiran kita saja. Mungkin inilah yang membuat banyak orang tidak mau menulis diary. Mereka kuatir, suatu saat buku itu akan dibaca oleh orang lain.

Dalam pengalaman saya, melakukan free writing, kadang pula terjadi sebaliknya. Sesuatu yang belum pernah saya pikirkan, seolah olah muncrat begitu saja. Mungkin saja, semua itu sudah ada di alam bawah sadar, namun lama tertimbun stimulus-stimulus baru. Ya, free writing, telah mencairkan kebekuan dan kebuntuanku dalam menulis.

Sebenarnya ada dua poin lagi yang menarik, yaitu  “kompas batin” dan “lemari ide”. Namun tulisan ini saya cukupkan disini lagi. Semoga dua istilah tersebut dapat saya ulas pada tulisan berikutnya. Atau silakan cari saja bukunya di Gramedia terdekat.

*) Hadisaputra adalah Pegiat Komunitas Taman Pustaka

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply