Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Menyoal Kredibilitas Komunikasi Pejabat Publik

×

Menyoal Kredibilitas Komunikasi Pejabat Publik

Share this article

Oleh: Andi Muhammad Abdi*

KHITTAH. CO – Komunikasi publik pejabat selalu berada dalam sorotan. Setiap ucapan, sikap, bahkan candaan tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab etis dan kepatutan. Seorang pejabat publik tidak lagi berkomunikasi sebagai pribadi semata, melainkan sebagai representasi lembaga dan simbol legitimasi negara. Karena itu, standar komunikasi mereka tentu berbeda dari warga biasa. Satu kalimat keliru dapat menimbulkan kegaduhan, merusak citra, bahkan menamatkan karier politik.

Kasus anggota DPRD Gorontalo, Wahyudin Moridu, merupakan contoh terbaru. Video candaan tentang “merampok uang negara” yang ia lontarkan beredar luas dan segera ditafsirkan publik bukan sebagai humor, melainkan simbol pengakuan atas praktik koruptif. Partainya pun memecatnya. Kata-kata berubah menjadi petaka.

Sepanjang tahun ini, banyak blunder serupa mencoreng kredibilitas pejabat publik. Hasan Nasbi, kala itu menjabat Kepala Kantor Komunikasi Presiden, menyulut publik lewat komentar “kepala babi dimasak saja”. Gus Miftah, saat menjabat Utusan Khusus Presiden, dinilai melecehkan pedagang es teh dengan ucapan tak pantas.

Di parlemen, sederet legislator juga pernah tergelincir dalam komunikasi nir etik. Seperti Ahmad Dhani yang memelintir nama penyanyi Rayen Pono menjadi “Rayen Porno”. Ahmad Sahroni menyebut “orang demo adalah orang tolol sedunia”. Eko Patrio, Uya Kuya, hingga Nafa Urbach pun menuai kritik karena mengeluarkan pernyataan yang dinilai tidak berempati.

Kepala daerah pun tak luput. Bupati Pati misalnya, justru menantang balik warganya yang protes kebijakan dalam forum publik, menunjukkan gaya komunikasi konfrontatif alih-alih membuka ruang dialog. Sikap tersebut akhirnya memicu perlawanan warga terhadap Bupati yang dinilai lebih memilih mengobral arogansi daripada terbuka mendengarkan aspirasi.

Rangkaian peristiwa tersebut menjadi penanda, bahwa masih banyak pejabat di Indonesia yang sulit membedakan antara komunikasi privat dan komunikasi publik. Mereka kerap menganggap bisa berbicara sembarangan. Padahal di era digital, setiap ucapan terekam, tersebar, dan ditafsirkan oleh jutaan orang. Sekali terucap, kata-kata menjadi arsip yang dapat mengukuhkan atau justru meruntuhkan reputasi.

Teori komunikasi Aristoteles tentang ethos mengingatkan bahwa kredibilitas komunikator ditentukan oleh integritas, kompetensi, dan goodwill terhadap audiens. Jika ucapan pejabat penuh arogansi, candaan tak pantas, atau pelecehan simbolik, maka ethos runtuh. Tanpa ethos, pesan apa pun akan kehilangan daya pengaruh.

Di sinilah letak persoalannya. Komunikasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa. Pesan selalu dipengaruhi audiens, medium, dan situasi sosial. Candaan tentang uang rakyat mungkin terdengar ringan di lingkar pertemanan, tetapi diucapkan oleh pejabat, direkam, lalu viral, pesan tersebut berubah menjadi penghinaan terhadap etika politik dan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Dalam komunikasi politik, setiap pesan pejabat akan selalu dimaknai secara politis. Publik tidak lagi menilai sebuah pernyataan dari niat, melainkan dari posisi pengucap dan dampak yang ditimbulkan. Karena itu, humor yang menggunakan isu sensitif seperti korupsi, kemiskinan, atau penderitaan rakyat bukan hanya tidak lucu, tetapi menimbulkan kemarahan.

Dalam etika komunikasi, mengajarkan tiga prinsip utama yaitu kejelasan, kehat-hatian, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Ketika seorang pejabat mengabaikan prinsip tersebut, ia tidak hanya merusak reputasi pribadi, tetapi juga menodai kehormatan lembaga yang diwakilinya. Itulah sebabnya ketika terjadi potensi krisis akibat ulah  kadernya, partai politik kerap mengambil tindakan tegas seperti penjatuhan sanksi berat atau pemecatan. Langkah tersebut tentu sebagai upaya untuk menyelamatkan citra di mata masyarakat.

Era digital memperkuat kerentanan ini. Media sosial menjadikan semua orang “jurnalis” sekaligus “editor”. Sebuah potongan video bisa beredar dalam hitungan detik, lepas dari konteks aslinya. Dalam situasi seperti itu, pejabat tidak bisa lagi berlindung di balik alasan “sekadar bercanda”. Publik menuntut keseriusan, karena kata-kata yang melukai seringkali lebih berbahaya dibanding kebijakan yang kontroversial.

Krisis komunikasi seperti ini menyingkap dua kelemahan mendasar. Pertama, banyak pejabat masih gagal membedakan komunikasi privat dan komunikasi publik. Apa yang boleh diucapkan di ruang keluarga belum tentu layak diucapkan di ruang terbuka. Kedua, budaya humor politik di Indonesia kerap abai pada sensitivitas publik. Padahal, menjadikan isu serius sebagai bahan candaan hanya mempertebal sinisme masyarakat terhadap pejabat.

Namun di lain sisi, rangkaian peristiwa tersebut memperlihatkan meningkatnya daya kritis publik. Reaksi keras menunjukkan bahwa standar etika komunikasi pejabat kini lebih diperhatikan. Publik menuntut konsistensi, jika dalam ucapan saja sudah berbahaya, bagaimana mungkin tindakan dapat dipercaya? Pada prinsipnya, legitimasi junto kepercayaan publik dapat runtuh bukan hanya karena kebijakan yang buruk, tetapi juga karena komunikasi yang salah urus.

Lantas, apa pelajaran yang bisa dipetik? Yang pertama, pejabat harus menyadari bahwa setiap kata merepresentasikan lembaga, bukan sekadar diri pribadi. Yang kedua, partai politik perlu memperkuat pendidikan komunikasi dalam kaderisasi. Bukan hanya strategi kampanye, tetapi juga etika berbicara di ruang publik. Yang ketiga, pejabat harus berpegang pada prinsip komunikasi pubilk yang jelas, jujur, sensitif terhadap isu sosial, serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas segala bentuk kelakar.

Publik tidak menuntut pejabat sempurna, tetapi menuntut kearifan dan kehati-hatian. Jangan ada ruang untuk gurauan yang menyentuh luka kolektif bangsa. Korupsi, kemiskinan, dan penderitaan rakyat adalah isu serius yang harus dikelola dengan empati, bukan sebagai bahan lawakan.

Pada akhirnya, komunikasi publik bukan sekadar kata yang terucap, melainkan cermin martabat seorang pejabat. Etika menuntun arah, norma menjaga batas, dan komunikasi menjadi jembatan yang menghubungkan pejabat dengan rakyat. Namun bila jembatan itu retak oleh ucapan serampangan, runtuhlah kepercayaan. Dan sekali kepercayaan runtuh menyisakan jarak yang kian sulit dijembatani.

*Dosen UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda dan Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply