Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Menyucikan Hati dari Belenggu Kepentingan Pribadi

×

Menyucikan Hati dari Belenggu Kepentingan Pribadi

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Manusia baik secara personal maupun kolektif, dalam mengarungi hidupnya senantiasa didorong oleh kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan. Namun, tidak sedikit institusi keluarga, sosial, bahkan level negara mengalami kehancuran karena dominasi kepentingan pribadi.

Hati mereka yang dipercayai dan diyakini menjadi penuntun ke jalan benar, baik, dan beradab, tidak lagi berfungsi karena tertutupi oleh kepentingan pribadi. Dominasi kepentingan pribadi di atas kepentingan sosial, sesungguhnya bisa dipandang keluar dari koridor dan hukum alam yang telah digariskan, bahwa manusia adalah selain makhluk individual, pada saat yang bersamaan, juga sebagai makhluk sosial.

Bagi yang pernah membaca tulisan-tulisan saya, yang di dalamnya diuraikan sedikit gagasan Arvan Pradiansyah, maka akan memahami bahwa secara hierarkis posisi kehidupan manusia dari masa-masa ke masa-masa, idealnya memang tidak bisa mandiri sepenuhnya. Sejak kelahirannya manusia berada dalam posisi dependen (tergantung penuh kepada orang lain, minimal kepada kedua orang tuanya).

Selanjutnya independen (mandiri), meskipun terkesan tidak membutuhkan bantuan orang lain, namun sebenarnya ini hanya pemantik dan/atau minimal sebagai bridge (jembatan/penghubung) atau transisi dari posisi dependen (tergantung) ke posisi berikutnya yaitu interdependen (kesalingtergantungan). Saling tergantung antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, membangun relasi dengan yang lainnya, akan mampu saling menutupi kekurangan yang dimilikinya.


Dalam kehidupan ini, banyak hal kita saksikan yang menunjukkan bukti bahwa betapa orientasi kepentingan masih sangat tinggi. Dan ini menjadi penyebab hancurnya berbagai institusi. Korupsi adalah contoh yang paling nyata dan paling merusak, bahkan paling jahat yang menandai sikap dan perilaku yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama atau sosial, bangsa, dan negara.

Kemudian dalam perspektif demokrasi, ada hal yang ikut merusak yaitu politik uang. Politik uang sesungguhnya memberikan dampak buruk atau negatif, baik bagi yang bersangkutan (pelaku politik uang), partai politik (karena proses kaderisasi tidak bisa lagi maksimal), pemilih, masyarakat secara umum, bagi penyelenggara pemilu, dan institusi demokrasi kita. Mengapa hal ini masih terus mewarnai proses demokrasi karena dominasi kepentingan pribadi masih di atas dari segala-galanya.

Bahkan dalam diskurus demokrasi dan kontestasi pemilu dan pemilihan, masih banyak aktor-aktor tertentu yang memainkan apa yang disebut dengan “politik oligarki”. Hal yang sangat merusak, namun dorongan kepentingan pribadi, sehingga hal ini masih terasa dalam setiap perhelatan pesta demokrasi, maupun dalam dinamika demokrasi yang lainnya.

Ada kisah nyata yang menarik dalam buku ESQ karya Ary Ginanjar Agustian, yang menandai pengutamaan kepentingan pribadi di atas segalanya, dan seketika membuktikan dampak buruknya. Kisah menarik ini adalah terkait kapal selam nuklir Rusia Kursk.

Pada tanggal 12 Agustus 2000 musibah menimpa kapal selam tersebut. Kapal selam itu kandar di dasar laut Barent pada kedalaman 119 meter. Kapal perang yang sepanjang 154 meter, dengan bobot permukaan 13.900 ton, dan mengangkut 118 orang awak dan persenjataan nuklir, terpaksa tergolek tak berdaya di dasar laut Rusia.

Singkat cerita, karena perjalanan kapal ini membawa misi “rahasia strategis” para petinggi Rusia termasuk oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin, tidak segera meminta bantuan. Empat hari setelah musibah tersebut, barulah Presiden Rusia Putin angkat bicara dan meminta bantuan internasional. Jarak yang harus ditempuh oleh para tim yang ingin memberikan bantuan minimal dua hari ke lokasi kejadian. Keterlambatan ini, menyebabkan semua awak meninggal dalam musibah itu. Alasan misi “rahasia strategis” sebagai bentuk orientasi kepentingan pribadi para petinggi Rusia, sehingga mengabaikan ratusan nyawa.

Dominasi dan orientasi kepentingan pribadi memang sangat menggiurkan. Apalagi era ini, di tengah kehidupan kapitalisme global, hasrat melalui mesin hasrat terus dimainkan untuk semakin memiliki oreintasi yang besar terhadap sifat individualistik. Bahkan dibalik perilaku-perilaku yang menampkan kesan kepedulian sosial pun, tidak sedikit yang dibaliknya justru memiliki orientasi yang sangat besar terhadap kepentingan pribadinya. Atau sejenis memenuhi rasa haus egoismenya.

Kapitalisme dan cara pandang Darwinisme mengokohkan kecenderungan terhadap kepentingan pribadi di atas segalanya. Untung saja khususnya dalam ajaran agama Islam yang saya anut mengajarkan nilai untuk membentengi atau minimal mengurangi orientasi yang sangat berlebihan dari upaya mengutamakan kepentingan pribadi di atas segala-galanya.

Beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang bisa menjadi basis nilai yang mendorong antitesa dari semangant mengutamakan kepentingan pribadi. Sekaligus bisa dipandang sebagai upaya untuk menyucikan hati dari belenggu kepentingan pribadi. QS. At-Tahrim [66]: 6 menegaskan “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”

Jadi ayat di atas menegaskan untuk, jangan hanya memelihara atau menjaga diri tetapi termasuk keluarga. Jika kita mengedepankan pandangan hierarkis keluarga berarti bagian terkecil dari sebuah negara. Jadi jika setiap keluarga sudah baik maka bisa dipastikan negara itu juga sudah baik. Ayat di atas pun masih ada sejumlah oknum yang memelintir maknanya demi memenuhi “syahwat” kepentingan pribadi, sebagai dalil yang membenarkan “nepotisme”.

Firman Allah yang lain yang didalamnya mengandung pemahaman dan pemantik kesadaran sebagai antitesa dari upaya mengutamakan kepentingan pribadi adalah QS. Al-Asr [103]: 1-3 “Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”.

Dalam firman Allah di atas, kita mendapatkan penegasan agar kita tidak berada dalam kerugian, maka selain harus beriman kita pun harus senantiasa saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Jadi ini sama sekali tidak ada yang menunjukkan sifat egoisme, individualistik, atau hanya mengutamakan kepentingan pribadi. Tetapi mendorong spirit kolaborasi dalam kebenaran dan kesabaran.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun, telah ada basis nilai yang harus menjadi kiblat agar setiap warga negara tidak saling mengutamakan kepentingan pribadi yang berujung atau bermuara pada kehancuran. Pancasila idealnya membingkai secara ideologis setiap diri anak bangsa, sehingga setiap diri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, melainkan mengutamakan persatuan, musyawarah, dan mengutamakan secara bersama keadilan sosial dalam berbagai dimensi kehidupan.

Selain itu, ada Bhineka Tunggal Ika, yang bisa meretas kepentingan pribadi yang berujung pada intoleransi perang antar warga negara atau terjadi polemik berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Hanya saja dalam pandangan Prof. Haedar Nashir, kebinekaan memang sudah massif didorong tetapi, masih lupa atau cenderung terlupa (kurang massif) “Tunggal Ika”-nya.

Saya pun menemukan, ada segelintir yang terkadang menyuarakan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan yang lainnya. Dalam pandangan sebagaimana substansi tulisan ini, itu pun bisa disimpulkan bahwa hatinya sedang terbelenggu oleh penyakit yang bernama “kepentingan pribadi” meskipun tetap dalam bingkat golongan tertentu. Kepentingan pribadi ini membutakan mata hati mereka untuk melihat peta sosiologis Indonesia, yang salah satunya bahwa kemajemukan adalah realitas, sebuah keniscayaan, dan bahkan sebagai takdir ilahi. Melawan atau bergerak keluar dari peta sosiologis ini, bisa pula dinilai sebagai bentuk perlawanan terhadap takdir ilahi.

Pada masa perjuangan kemerdekaan, umat Islam telah memberikan contoh terbaik untuk menanggalkan, melepaskan, dan merelakan diri untuk tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau umat Islam semata. Bahkan perwakilan umat Islam, pada saat itu rela mencoret tujuh kata yang dikenal dan identik sebagai “Piagam Jakarta”, demi keutuhan dan persatuan bangsa dan negara Indonesia yang identitas sejatinya adalah “kemajemukan”.

Selain petunjuk ayat-ayat di atas sebagai dasar teologis dalam hal memaksimalkan upaya menyucikan hati dari belenggu kepentingan pribadi, Ary Ginanjar memberikan petunjuk atau langkah praktis untuk mengurangi kepentingan pribadi.

Langkah praktis dari Ary Ginanjar disebut dengan “Berpikir Melingkar”. Dari skema yang dibuat oleh Ary Ginanjar, kemudian saya tafsirkan sesuai kemampuan pemahaman bahwa, “Berpikir Melingkar” adalah sesuatu yang sangat penting dilakukan sebelum menentukan apa yang menjadi prioritas dalam hidup. Tidak sedikit yang menjadi prioritas dalam diri seseorang itu bermakna dan berorientasi kepentingan pribadi, karena tidak melewati proses yang disebut “Berpikir Melingkar”. Dan oleh Ary Ginanjar “Berpikir Melingkar” ini diyakini mengikuti suara hati ilahi.

Lalu seperti apa model berpikir melingkar itu? Proses berpikir melingkar adalah proses berpikir yang mengelaborasikan, mengintegrasikan, dan menyinergikan antara kepentingan, suara hati, dan prinsip-prinsip yang ada. Jadi kepentingan tetap dimasukkan karena tidak bisa dimungkiri ini adalah hal manusiawi.

Terkait suara hati yang menjadi bagian dari proses berpikir melingkar itu basisnya adalah Asmaul Husna (99 nama-nama baik yang dimiliki Allah). sedangkan prinsip prinsip, tetap basisnya pada rukun iman, dan tentunya dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara mencakup minimal dua hal yang telah saya sebutkan di atas: “Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika”, dan “Peta Sosiologis Indonesia”.

Meskipun kita sangat mencintai Islam, dan satu-satunya sumber ajaran yang diyakini dan dipercaya, tetapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, berdasarkan proses “Berpikir Melingkar” yang dimaksud di atas, tetap kurang tepat jika kita berjuang menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Jadi Islam tetap “Yes”, tetapi negara Islam “No”. Negara Pancasila sudah hasil konsensus bersama termasuk oleh umat Islam. Salah satu ciri keberimanan yang kokoh adalah tetap teguh dalam komitmen dan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama. Apalagi Pancasila, dalam pandangan beberapa pemikir muslim, merupakan perasan dari nilai-nilai ajaran Islam. Artinya Pancasila tidak kontraproduktif dengan Islam.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply