Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Merawat Kemuliaan Manusia Merawat Masa Depan Kehidupan

×

Merawat Kemuliaan Manusia Merawat Masa Depan Kehidupan

Share this article
Kemuliaan manusia
Sumber gambar: muslim.okezone.com. Gambar ini merefleksikan ketakwaan sebagai bagian dari kemuliaan manusia

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Saya masih mengingat dengan baik dua istilah—nekrofili dan biofili—dari Erich Fromm, seorang ahli psikoanalisis kontemporer, meskipun 23 tahun telah berlalu saya membacanya dari buku Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis karya Mansour Fakih, Roem Topatimasang, dan Toto Rahardjo. Untuk memastikan, saya pun menarik buku itu—meskipun dalam bentuk fotocopy-an—dari  ribuan tumpukan buku yang ada, di posisi terbawah lagi.

Keduanya ini adalah istilah yang dipinjam oleh Paulo Freire (dalam Fakih, Topatimasang, dan Rahardjo, 2001) dari Fromm untuk menggambarkan, menyoroti, mengkritik, dan menggugat kondisi pendidikan. Nekrofili adalah rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan. Tentunya di sini bisa pula dimaknai yang tidak memiliki “nilai” dan “makna”. Biofili adalah sebaliknya, kecintaan pada segala yang memiliki jiwa kehidupan.

Sampai hari ini, kita masih banyak menemukan orang-orang yang nekrofili bukan hanya dalam dunia pendidikan sebagaimana yang pernah disorot dan dikritik oleh Freire pada saat itu, dalam kehidupan lain dan dunia birokrasi pun tidak sedikit yang kita bisa temukan. Dunia perkontenan yang dilakoni oleh para content creator (kreator konten) saja, tidak sedikit yang menggambarkan nekrofili tersebut.

Sebenarnya, orang-orang yang seperti ini, kita bisa mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak merawat kemuliaan dirinya. Jika, kita membaca QS. At-Tin [95]: 4-5, awalnya kita selaku manusia sangat mulia, kemudian diturunkan ke tempat yang serendah-rendahnya.

Mengamati kehidupan, baik dalam lingkup bermasyarakat, berbangsa, dan terutama bernegara, masih banyak hal problematik yang mungkin telah menyeret kita ke lembah jenuh dan menyerah. Seperti apa solusi dan pendekatan yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan semuanya, rasanya sudah berbagai jurus, teori, dan metodologi yang telah digunakan. Namun, belum membuahkan hasil yang sesuai harapan.

Hari demi hari, terutama kondisi bangsa dan negara terus menampakkan atmosfir kehidupan, bukan hanya mendung, tetapi sudah gelap, bahkan di banyak titik sudah terjadi badai. Yang jadi soal bukan bencana alam atau disebabkan oleh kondisi alam, di mana manusia dipastikan memiliki langkah cerdas untuk menyelesaikannya. Namun, problem terbesarnya ada pada diri manusianya.

Salah satu penegasan Freire pun, manusia itu adalah pusat masalah. Namun, ini bukan berarti bahwa fitrah manusia bukan makhluk mulia. Saya menangkap penegasan Freire, bahwa ketika ada masalah dalam dunia dan kehidupan ini, pemicu utamanya ada pada diri manusia, tentu pada dimensi psikologis, spiritual, dan religiusitasnya yang telah bertransformasi ke dalam bentuk sikap ke tindakan. Salah satu contoh yang diungkap  oleh Freire, penindasan apa pun nama dan alasannya tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).

Lebih lanjut ditegaskan oleh Freire, dehumanisasi bersifat mendua. Artinya dehumanisasi itu terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan sekaligus atas diri minoritas kaum penindas. Minimal ini saja, penegasan “dehumanisasi yang terjadi pada kaum penindas” itu relevan dan sekaligus memperkuat kesimpulan sesuai judul di atas, meskipun menggunakan logika terbalik. Bisa digambarkan, bahwa penindas itu adalah mereka yang tidak merawat kemuliaan dirinya selaku manusia.

Jika hari ini, kita masih menyaksikan banyak koruptor dengan tingkat korupsi dan kerakusan “tergila”, politik uang masih mewarnai demokrasi dan perpolitikan, segelintir oknum elit negara mengobok-obok aturan untuk kepentingannya, penyelewengan jabatan, penghancuran supremasi hukum, berbagai bentuk kepalsuan mulai dari uang palsu sampai pada BBM dan emas palsu, begitu pun ijazah dan disertasi palsu, sebenarnya mereka ini sebagai pelaku sedang tidak memuliakan dirinya selaku manusia.

Memang, dalam diri manusia itu ada potensi dan dimensi kebinatangan. Apakah ketika mereka melakukan semua yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan Pancasila itu, yang sedang mendominasi dirinya adalah dimensi kebinatangannya.

Sebagaimana telah saya tegaskan di atas, bahwa berbagai solusi telah dilakukan tetapi terkesan tidak efektif menyelesaikan problem kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan, berbagai solusi dan modal yang dimiliki terkesan—jika saya meminjam istilah yang pernah digunakan oleh Hajriyanto Y. Thohari—mengalami cultural lag dan cultural shortage. Ibarat tali kurang panjang untuk digunakan melilit dan mengikat dan ibarat aki, strumnya tidak kuat lagi.

Pembuatan dan pengaturan dalam bentuk hukum dan berbagai regulasi lainnya pun sebagai langkah preventif, sering kali tidak menjadi solusi yang tepat. Apa lagi dalam prosesnya terkadang diwarnai dengan politik kebijakan yang diaktori oleh segelintir orang-orang yang tidak ingin merawat kemuliaan dirinya. Atau minimal tidak menyadari bahwa dia sendiri sedang merusak kemuliaan dirinya.

Dalam kondisi seperti ini, dari berbagai problem yang ada itu, sebenarnya ada satu pendekatan atau solusi yang sesungguhnya murah, mudah, tidak sarat dengan politik kotor, jauh dari pertarungan kepentingan, dan pendekatannya sangat diridai Allah. Solusi atau pendekatan yang dimaksud adalah “Merawat kemuliaan manusia”. Jangan lagi ada yang mengatakan—karena saya memiliki jawaban—bahwa problem teknis dan prosedural tidak kompatibel dengan pendekatan kemuliaan manusia.

Memang tidak kompatibel jika kita tidak memahami substansinya. Minimal, bahwa problem teknis dan prosedural jika ditelusuri akar terdalamnya, penyebab utamanya ada pada faktor manusianya. Problem yang terjadi dari humanware-nya aspek manusianya, sebenarnya jika kita mendalami kembali dan mengakui secara jujur kita sedang tidak mengaktivasi segala potensi kemuliaan yang telah built-in dalam diri kita selaku manusia.

Sama halnya, ketika dalam perbincangan nonformal, kemudian seseorang bertanya kepada saya, “Apakah kamu setuju dengan pelaksanaan pemilu dan pilkada dengan menggunakan sistem e-voting.” Sampai hari ini, saya akan selalu memberikan jawaban yang sama kepada siapa pun yang mengajukan pertanyaan tersebut, bahwa “Saya belum setuju karena e-voting bukan hanya membutuhkan hardware dan software, infrastruktur yang bisa saja dengan anggaran yang besar dan tim IT yang hebat bisa disiapkan untuk memenuhi harapan tersebut. Namun, ada satu perangkat yang dibutuhkan dan ini sering menjadi sumber masalah utama yaitu humanware (aspek manusianya) yang masih sering diwarnai ketidakjujuran dan/atau integritas yang rapuh”.

Sekarang, bagaimana maksud merawat kemuliaan manusia? Sebelum menjawab ini, tentu yang pertama, kita harus bertanya dan menjawab seperti apa bentuk kemuliaan manusia? Karena dipastikan dengan merawat kemuliaan manusia, maka kita pun bisa merawat masa depan kehidupan yang tentunya akan lebih baik dan cemerlang.

Lanjutan ayat dari QS. At-Tin yang disebutkan di atas, itu sudah sangat jelas juga menegaskan agar kemuliaan itu bisa terawat, melampaui dari sekadar menjaga. Yaitu dengan beriman dan mengerjakan kebajikan. Selain ini sebagai perintah dan petunjuk Allah, dalam diri manusia hardware-software-nya sudah tersedia agar kita bisa beriman dan mengerjakan amal kebajikan.

Pertama, awal perjalanan kehidupan kita, kita telah mengikat diri dalam bentuk komitmen suci dan mulia kepada Allah. Allah mengatakan “Alastu birabbikum” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?) kita menegaskan sebagai sebuah komitmen “Bala syahidna” (Aku bersaksi, Engkaulah Tuha kami). Ini chip ilahiah yang telah ditanamkan dalam diri kita. Sejatinya ini menjadi operating system (OS) dalam istilah komputerisasi yang memengaruhi semua aspek diri kita mulai dimensi psikis, spiritualitas, sampai pada fisik-biologis. Jadi sejak awal, kita telah memiliki basis keimanan yang kokoh.

Dalam diri kita pun, bahkan menurut pakar yang telah menelitinya, organ penting pertama yang diciptakan oleh Allah dalam diri kita adalah jantung—yang dalam bahasa agama disebut sebagai hati—dan di dalamnya terdapat chip ilahiah itu pula. Setiap kali, kita melakukan perbuatan yang tidak diridai oleh Allah, yang tidak senapas, seirama, tidak kompatibel dengan OS atau chip ilahiah itu maka jantung selalu memberikan isyarat dengan cara berdebar yang frekuensi kencang atau tidak, sangat tergantung tingkat risiko perbuatan tersebut.

Hati ini pun—yang dalam hal ini jantung yang terletak di rongga dada—itu mekanisme kerja idealnya bukan hanya mampu menunjukkan perbedaan baik-buruk. Namun, sesungguhnya bisa menuntun manusia untuk tetap pada jalan kebaikan atau sesuatu yang baik. Apa lagi manusia, dibekali pula dengan otak yang tidak sama dengan kapasitas yang dimiliki binatang, dan di dalamnya pun disertai akal/pikiran yang bisa memandu manusia untuk membedakan benar-salah.

Agama pun, terutama dalam hal ini Islam, telah memberikan penegasan kepada manusia tentang tiga misi mulia penciptaan manusia di muka bumi ini. Sebagai hamba untuk ditugaskan hanya untuk beribadah, khalifah, dan berdakwah. Beribadah bukan hanya menjalankan ibadah mahdhah, termasuk pula agar segala aktivitasnya dibingkai atau secara sederhana diawali dengan pertanyaan “Apakah ini diridai Allah atau tidak?”

Maka yakin saja korupsi, penyelewengan jabatan, amoral, asusila, pengkhiantan terhadap sumpah dan janji jabatan, bahkan saya sering mengatakan nyontek pada saat ulangan di sekolah, itu semua dipastikan tidak diridai Allah. Buktinya, jika kita tetap ngotot untuk melakukannya, jantung akan berdebar atau hatinya tidak tenang.

Sebagai khalifah pun akan mewakili Allah di muka bumi ini untuk memakmurkan bumi atau menjadi rahmat bagi alam semesta. Sejatinya sikap dan perbuatan yang ditampilkan sebagai khalifah itu merefleksikan atau memancarkan sifat-sifat yang dimiliki Allah, terutama akan senantiasa mengedepankan the power of love (kekuatan cinta). Bukan sebaliknya, the lover of power (cinta kekuasaan).

Melalui Al-Qur’an pun tepatnya QS Al-‘Ash [103]: 1-3, Allah telah menegaskan bahwa “demi waktu” atau dalam menjalani episode kehidupan ini, kita selaku manusia akan berada dalam kerugian kecuali bagi orang beriman dan mengerjakan kebajikan yaitu saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Kemudian apalah artinya kita hidup dan menjalani episode kehidupan ini, jika kita mengalami kerugian. Apa lagi tujuan utama kita bukan hanya di dunia, tetapi termasuk di akhirat.

Yang perlu diketahui pula, dan ini bagian dari merawat kemuliaan, bahwa hidup manusia itu tidak seperti tumbuhan yang hanya butuh nutrisi, reproduksi, dan tumbuh (dalam hal ini tubuh semakin gemuk); manusia juga tidak seperti binatang yang hanya berdasarkan insting, sensasi, dan mobile, manusia harus merujuk pada akal dan kalbunya, termasuk pada perintah dan larangan Allah, tidak seperti binatang hanya berdasarkan insting; Manusia itu identik dengan nilai dan makna yang mewarnai kehidupannya.

Makanya, dalam Al-Qur’an manusia tidak hanya disebut sebagai Bani Adam dan Al-Basyar semata. Manusia juga disebut al-insan (memiliki dimensi psikologis, spiritualitas, dan religious). Manusia juga disebut an-nas yang sarat dengan makna sebagai makhluk sosial. Karena makhluk sosial, sejatinya manusia memancarkan the power of love dan jauh dari kerakusan atau minimal tindakan yang merugikan manusia lainnya.

Yang paling sederhana dalam konteks duniawi dan hukum sosial semata, mengaktivasi rasa malu dalam kehidupan, itu bagian dari merawat kemuliaan manusia. Penjelasan yang sedikit dan sederhana ini saja, yang menggambarkan kurang lebih kemuliaan manusia dan tentunya harus dirawat, jika hati kita masih bening, masih jauh dari belenggu hati, pikiran kita masih rasional, maka kita akan membenarkan bahwa betul itu akan mampu merawat masa depan kehidupan yang lebih baik dan cemerlang.

Jagalah kemuliaan diri kita, jangan biarkan diturunkan dalam posisi yang serendah-rendahnya—penjara dan rasa dalam konteks duniawi dan neraka di akhirat kelak.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply