Oleh: Kasmin Irwan (Pegiat Iiterasi Kota Makassar)
KHITTAH.CO — Selepas kontestasi politik yang dimenangi oleh Jokowi membuat saya menanti gebrakan-gebrakan terbaru yang akan dilakukan diperiode kedua ini. Pada saat pengumuman para calon menteri yang akan menduduki kursi penting itu membuat saya berlama-lama didepan televisi dari sejak pagi sampai sore. Saya menantikan wajah-wajah baru dan siapa-siapa yang akan tetap pada jajaran menteri di periode kedua ini. Tiba saatnya diumumkan pagi-pagi menteri-menteri itu. Pagi-pagi sekitar jam 8 waktu Indonesia tengah setiap menteri dipanggil duduk diteras istana sambil duduk bersila. Disebut satu persatu dengan jabatan yang akan diembangnya. Menteri milenial Mas Nadiem Makarim ditunjuk sebagai menteri pendidikan. Seabrek keraguan dan kayakinan apa pertimbangannya sehingga pak jokowi menunjuk Bos Gojek itu.
Pada saat diwawancarai dan berbicara didepan media bahwa sempat terdengar dia membutuhkan setidaknya tiga bulan untuk mendengar semua masukan (belajar) dari berbagai stake holder. Mulai dari para akdemisi dan praktisi pasti menantikan gebrakan menteri baru ini. Apakah dia mampu sesukses membawa wajah pendidikan yang berkualitas seperti di perusahaannya.
Pasti akan banyak yang mempertanyakan atau ragu atas kemampuan mas menteri ini, demikian panggilan dialamatkan kepadanya oleh Presiden Jokowi.
Pada pertemuan dengan praktisi pendidikan dengan menteri pendidikan menghasilkan sepuluh rekomendasi yang menghebohkan dunia pendidikan khususnya dikalangan praktisi. Hal yang paling tidak bisa berterima adalah penghapusan mata pelajaran bahasa inggris ditingkat SMP dan SMA. Bagaimana tidak, tentu akan banyak yang akan memberikan dampak kepada guru-guru yang mengajar mata pelajaran ini. Tentunya saya juga khawatir, karena latar belakang saya dari pendidikan Bahasa Inggris. Mengapa bisa menjadi polemik, jika mengahapuskan pelajaran ini ditingkat SMP dan SMA bukan hanya persoalan guru akan dikemanakan tetapi apakah benar-benar mampu pelajaran Bahsa Inggris di SD sudah mampu dia tuntaskan. Padahal di tingkat SMP dan SMA bahkan universitas masih belum bisa tercapai pada standar Bahasa Inggris yang memadai terkecuali siswa tersebut mengikuti pelajaran Bahasa Inggris diluar sekolah.
Aku termasuk aktif mengikuti halaman facebook menteri pendidikan. Hampir setiap hari ada postingan-postingan tentang aktifitas Mas Menteri Nadiem Makariem beserta istrinya. Jika saya bandingkan dengan menteri sebelumnya, infomasi terbaru dari media yang dimilikinya sangat jarang ada infromasi terbaru. Kali ini, Mas Menteri berbicara di pelantikan rektor UI. Sontak bebera hari kemudian. Sosial media kembali diramaikan dengan kostum yang dipakai oleh Mas Menteri Nadiem, sebagian netizen menganggap bahwa pakaian yang dipakai tidak sopan, tidak etis, tidak mengkondisikan dengan lingkungan yang ada. Pada saat itu menteri memakai batik, celan chinok, dan sepatu santai tanpa kaos kaki. Berbagai celaan dialamatkan kepadanya sehingga saya mencoba memposting di story whatsup, sehingga berbagai tanggapan masuk. Bahwa “kok menterinya tidak sopan begitu”, ada juga yang mengatakan “coba liat menterimu”. Saya berusaha mengkritisi dan sedikt membela, saya katakan mengapa kita terlalu sibuk memperhatikan tampilan dan tidak memperhatikan apa yang disampaikan? Baiklah pakaian itu persoalan yang memang menghebohkan, karena itu baru pertama kali menteri di jaman pemerintahan ini sejak Indonesia merdeka memakai pakaian santai seperti itu. Saya kira tidak ada yang salah dengan apa yang dipakai mas Menteri.
Pakaian batik itu menunjukkan identitas kita sebagai warisan budaya bangsa, celana chinok dan sepatu santainya representasinya sebagai menteri dari kalangan milenial. Terus orasi yang disampaikan sangat sesuai dengan tampilan yang dipakai saat itu, yakni merdeka belajar. Kan tidak mungkin Mas Menteri berteriak-teriak merdeka belajar, kebebasan belajar padahal masih memakai cara lama, pakaian formal serba parlente(jas) yang sudah menjadi hal biasa dikalangan para elit. Itukan mempertontokan perkataan dan tampilan yang tidak sesuai. Aku justru terkagum-kagum tapi meskipun masih ragu tentang konsep yang ditawarkan. Orasi yang kritis dan visi yang masih butuh penjelasan teknis. Mas menteri terus mengulang-ulang tentang “merdeka belajar” kemudian menujukkan realitas yang ada pada sistem pendidikan kita. “kita memasuki era dimana gelar tidak menjamin kompetensi, kita memasuki era dimana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, kita memasuki era dimana akreditasi tidak menjamin mutu, ini hal-hal yang harus disadari” demikian orasi Mas menteri didepan para elit akademisi Universitas Indonesia itu. Fakta memang seperti itu, sebagian besar tidak jelas keluaran pendidikan kita dengan proses yang diberikan dalam pendidikan di kelas. Banyak teman-teman selepas pendidikan profesi guru sibuk memikirkan pekerjaan, karena selepas dari pendidikan tidak ada wadah yang disediakan.
Sehingga, banyak para alumni memilih pekerjaan selain guru padahal sudah bersertifikat profesi.
Merdeka belajar adalah visi yang selalu didengung-dengunkan oleh menteri baru tersebut. Semua itu dimulai dari guru,maka guru harus dimerdekakan, maka merdeka belajar akan terwujud. Harus ada guru penggerak yang selalu berinisiatif di kelas, melakukan perubahan-perubahan kecil, dan mengajak guru yang lain yang mengalami kesulitan. Mengajak murid berdiskusi bukan hanya mengajar, memberikan kesempatan kepada murid mengajar dikelas, mencetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan semua kelas, dan menemukan bakat pada diri murid yang kurang percaya diri. Mungkin Mas menteri menyadari bagaimana sistem pendidikan kita yang terlalu monoton, terlalu besar anggaran yang diberikan namun perubahan yang tidak signifikan. Maka, perlu ada perubahan mindset dan sistem dimulai dari bawah yakni dari guru. Tentunya perubahan itu menjadikan cara belajar yang humanis. Humanis disini adalah bagaimana menumbuhkan rasa kemanusiaan dalam proses belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, bahwa pendidikan humanis dan membebaskan itu memiliki dua tahapan. Tahapan pertama, kaum tertindas menyingkap dunia penindasan dan melakukn perubahan melalui praksis atau praktek. Tahapan kedua, setelah realitas penindasan telah berubah, pendidikan ini bukan lagi milik kaum tertindas saja, namun akan menjadi pendidikan bagi semua orang dalam proses mencapai kebebasan abadi.
Lawan dari humanisasi adalah dehumanisasi.
Dehumanisasi adalah sebuah penyimpangan fitrah menjadi manusia sejati, yang menandai mereka yang dirampas kemanusiannya dan mereka mencurinya (meski dalam cara yang berbeda). Sebagai guru, mungkin saja kita bagian dari dehumanisasi itu, bisa saja kita sebagai pelaku dehumansasi. Kita mengajar anak didik kita tapi tidak mengetahui pelajaran apa yang dibutuhkan dimasa depan bagi anak. Sehingga pelajaran yang kita berikan saat ini tidak berguna dan waktu yang dia gunakan saat itu terbuang begitu saja. Sebagai guru tidak mengusai karatersitik dan cara mendiagnosis kemampuan peserta didik dari aspek fisk, moral, spritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual. Sehingga kita mengajarkan semua ilmu berdasarkan tuntutan tujuan kurikulum dan terkesan dipaksakan untuk menuntaskan semua materi pada semester itu tapi pada saat ujian semester, nilai mereka tidak mencapai standar sehingga nilai mereka kembali dimanipulasi.
Rangkaian ini terus berulang dari tahun ketahun karena ingin mencapai standar ketuntasan belajar sehingga menjadi lingkaran setan dunia pendidikan Indonesia. Selain itu aktivitas belajar kita seperti menabung, dimana murid berperan sebagai tempat untuk ditabung dan guru berperan sebagai penabung. Alih-alih untuk berkomunikasi, guru malah mengeluarkan pernyataan atau informasi pengetahuan dan membuat murid harus dengan sabar menerima, mengingat dan mengulangnya. Seperti dikatakan oleh Paulo Freire, bahwa inilah konsep pendidikan gaya bank yang cakupannya hanya membuat murid menerima, menata, dan menyimpan apa yang diajarkan oleh guru.
Selain itu, konsep ini mendeskripsikan bahwa pengetahuan adalah hadiah yang diberikan oleh mereka yang merasa dirinya berilmu kepada yang dirasa tidak berilmu, guru mengajar dan murid diajar, guru mengetahui segalanya dan murid tidak mengetahui apa-apa, murid berpikir dan dan murid dipikirkan, guru berbicara dan murid patuh mendengarkan, guru disiplin dan murid disiplinkan, guru memilih dan memaksa pilihannya dan murid menerima, guru berbuat dan murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, guru memilih isi pelajaran dan murid (tanpa diminta pendapatnya) menerima pelajaran itu, guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dengan kewenangan jabatannya yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid, dan guru adalah subjek proses belajar sementara murid hanya sekedar objek. Sangat jelas ada deferensiasi antara murid dan gurunya, sehingga murid merasa inferior dan tidak bebas melakukan dialog dengan gurunya sebagai panutan. Kebebasan murid untuk mencoba, menanyakan, bereksperimen tentang pelajaran dibatasi oleh rasa ketertindasan itu. Maka, guru dan murid harus disejajarkan sebagai “the unique of human” atau manusia yang unik, dimana mereka bebas menentukan pilihannya masing-masing dalam berdialog, bertanya, bereksperimen didalam kelas tapi tetap menempatkan adab dan moral sebagai subjeknya masing-masing.
Terakhir, ada konsep yang ditawarkan oleh Mas Freire yakni berbasis masalah. Guru menghadirkan masalah kehidupan dalam ruang belajar dan memancing siswa untuk berfikir memecahkan masalah itu.
Posisi guru dalam konsep ini, guru tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang mengajar, tapi menjadi orang yang mengajar dirinya sendiri melalui dialog dengan murid, yang pada gilirannya selain diajar juga mengajar. Guru tidak menganggap objek yang dipahami sebagai kepunyaannya sendiri melainkan sebagai refleksi bagi dirinya dan muridnya. Murid tersebut tidak lagi sekedar menjadi pendengar. Mereka sekarang menjadi pencari jawaban kritis dalam dialog dengan sang guru. Sang guru memberikan materi kepada sang murid sebagai bahan pemikiran, dan memikirkan kembali pemikirannya sebelum saat sang murid menyampaikan pendapatnya. Dengan demikian, guru-murid dan murid-guru secara bersama-sama merefleksikan diri mereka sendiri tentang dunia tanpa melakukan dikotomi antara refleksi dengan aksi mereka, dan kemudian mengembangkan sebuah bentuk asli dari pemikiran dan aksi.