Oleh: Fadli Andi Natsif*
Setelah pemerintahan orde baru digantikan oleh pemerintahan reformasi 1998, bangsa Indonesia banyak mengalami perubahan dalam tatanan bernegara dan bermasyarakat. Perubahan fundamental, melakukan amandemen konstitusi, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Amandemen UUD 1945, antara lain menempatkan MPR hanya sebagai lembaga tinggi negara, yang kewenangannya tidak lagi memilih presiden dan wakil presiden tetapi hanya sekedar melantik saja. Kedudukan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kewenangan atau kekuasaan MPR yang dulunya tidak tak terbatas (super power) menjadi terbatas. Selain itu juga tidak lagi memiliki kewenangan membuat GBHN.
Wacana memunculkan kembali kewenangan MPR berhubungan penyusunan GBHN, dengan nama lain, seperti Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) menimbulkan kontroversi. Di satu sisi dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan demokratisasi, karena presiden dan wakil presiden tidak dipilih lagi oleh MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Presiden akan menjalankan misi dan visinya pada saat kampanye pemilihan umum saja.
Di sisi lain yang setuju adanya kembali pedoman bernegara (PPHN) yang akan disusun oleh MPR, tidak akan mengubah sistem penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Sehingga tidak akan memunculkan kembali istilah presiden sebagai mandataris MPR.
Terkait hal tersebut, maka ada beberapa poin yang harus dikaji secara intensif, agar ada kesepahaman. Pertama; apakah selama ini dengan tidak adanya lagi pedoman semacam GBHN, penyelenggaraan pemerintahan sudah dianggap berjalan dengan baik. Pedoman penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden cukup diatur dalam ketentuan lain, seperti UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Kemudian ditindaklanjuti lagi melalui UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Perlu dilakukan kajian lebih mendalam tentang SPPN, RPJPN dan RPJMN, oleh karena sebagian kalangan menilai instrumen perencanaan pembangunan hanya sifatnya parsial saja. Sumbernya hanya dari presiden dan para pembantunya di kementerian, sehingga tidak menyentuh dan mengikat lembaga-lembaga pemerintahan lain di luar lembaga kepresidenan. Padahal untuk mewujudkan misi dan visi bernegara sesuai yang tercantum dalam pembukaan alinea keempat UUD 1945, dibutuhkan keterlibatan semua lembaga-lembaga negara, yang juga terdapat dalam konstitusi. Inilah yang menjadi alasan dibutuhkannya satu haluan pedoman bernegara sama seperti GBHN ketika UUD 1945 belum mengalami perubahan.
Kedua; kalau dianggap regulasi tersebut tidak cukup dan esensinya tidak sama dengan substansi GBHN, kebijakan hukum apa yang bisa ditempuh untuk menghidupkan kembali arah pembangunan Indonesia agar lebih baik? Mengenai hal ini memang akan memunculkan perdebatan. Secara strategis jangka panjang dibutuhkan penguatan konstitusi, sehingga mau tidak mau harus dilakukan lagi amandemen konstitusi.
Bagi mereka yang memiliki jalan pikiran seperti ini memberikan jaminan pencantuman kembali konsep GBHN (dengan nama PPHN) dalam UUD 1945, tidak akan mengembalikan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR. Cukup menambah poin kewenangan MPR untuk membuat konsep PPHN dalam ayat tersendiri dalam Pasal 3 UUD 1945.
Kemudian kebijakan hukum lain yang dapat ditempuh tidak harus mengubah konstitusi, yaitu dengan membuat regulasi dalam bentuk UU yang menjabarkan ketentuan Pasal 2 UUD 1945. Di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Penyebutan keberadaan MPR dalam Pasal 2 UUD ini, yang penegasannya perlu diatur lebih lanjut dengan undang-undang, dapat dimaknai bahwa diperlukan juga undang-undang yang mengatur secara tersendiri tentang MPR, baik kedudukan, keanggotaan, termasuk kewenangan yang dapat dimiliki. Selama ini tentang kedudukan MPR disatukan dalam UU tentang MD3 (MPR, DPR/D, dan DPD).
Untuk mewujudkan hal ini tidak terlalu sulit dibanding kalau ingin mengubah konstitusi. Hanya dibutuhkan politik hukum ditingkat legislasi saja. Anggota DPR harus melakukan inisiasi pembentukan UU tentang MPR. Dalam UU inilah dapat diatur kewenangan MPR berupa menetapkan haluan negara semacam PPHN yang dapat menjadi pedoman bagi presiden dan lembaga-lembaga negara lain dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara demi untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Memang wacana memunculkan PPHN agar memiliki legalitas kuat dengan cara melakukan amandemen konsitusi. Kalau hanya itu yang mau diatur dalam kontitusi mungkin tidak ada persoalan. Pihak MPR dan DPR yang memiliki otoritas dapat duduk bersama untuk mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi kekhawatiran para pihak lain terutama masyarakat sipil, jangan sampai ada kepentingan politik lain yang mau diperjuangkan yang dapat mencederai spirit reformasi. Antara lain menyisihkan ketentuan terkait dengan penambahan periode masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode.
Kekhawatiran inilah yang muncul sehingga harus mewaspadai wacana amandemen konsitusi. Ijtihad politik tetap harus dikembangkan demi perbaikan penyelenggaraan kehidupan berbangsa serta bermasyarakat demi terwujudnya tujuan bernegara. Bukan wacana amandemen demi untuk kepentingan sesaat atau pragmatis hanya sekedar nafsu mempertahankan hegemoni kekuasaan kelompok tertentu saja.
* Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar