KHITTAH.co, Muhammadiyah masih saja disebut-sebut sebagai penganut Wahabisme. Namun, salah satu ciri Muhammadiyah yang tegas membedakan Persyarikatan ini dengan gerakan revivalis itu adalah organisasi ‘Aisyiyah.
‘Aisyiyah tidak sekadar kelompok perempuan-perempuan pembelajar agama. Lebih dari itu, ‘Aisyiyah adalah gerakan progresif perempuan, juga gerakan perempuan progresif.
Gerakan perempuan berkemajuan ini berdiri di zaman ketika perempuan terstigma amat parah sebagai ‘tahanan rumah’ belaka.
Bayangkan, pada 1917, ketika penjajahan dan patriarki sedang subur-suburnya, sekelompok perempuan berani mengabdikan diri untuk memerdekakan kaumnya.
Cita-cita luhur yang progresif itu lantas didukung oleh Kiai Ahmad Dahlan. Bahkan, jauh sebelumnya, kelompok Sapa Tresna, cikal-bakal ‘Aisyiyah, sudah digadang-gadang oleh Kiai Dahlan, sejak 1914.
Lantas, bagaimana sejarah ‘Aisyiyah di Sulawesi Selatan? Berikut ini Khittah mengulas kisahnya dinukil dari artikel “Dinamika Gerakan Perempuan Berkemajuan di Tingkat Lokal (Sejarah ‘Aisyiyah Sulawesi Selatan Tahun 1927-1965)” yang ditulis oleh Hadisaputra, Eka Damayanti, Hidayah Quraisy, dan Lukman (2022).
‘Aisyiyah berdiri di Sulawesi Selatan bermula ketika Muhammadiyah juga dirintis. Perintis berdirinya gerakan perempuan ini adalah St. Maemunah dan Hj. Fatimah Abdullah.
Kedua perempuan perintis itu merupakan istri dari Yusuf Dg. Mattiro dan istri dari K.H. Abdullah, para pendiri Muhammadiyah Cabang Makassar pada 1926, embrio Muhammadiyah Sulsel.
‘Aisyiyah Cabang Makassar, akhirnya, berdiri juga pada 1927. Saat itu, berlandaskan putusan Rapat
Tahunan Muhammadiyah ke-11 tahun 1922, ‘Aisyiyah adalah bagian dari Muhammadiyah.
‘Bagian’ maksudnya ‘Aisyiyah belum menjadi organisasi otonom (ortom) seperti kini. Nomenklatur ‘bagian’ sekarang menjadi ‘majelis’ dalam Persyarikatan.
Sebenarnya, tidak ada waktu pasti terkait berdirinya ‘Aisyiyah di Sulawesi Selatan. Penulis artikel ini berargumen, jika ‘Aisyiyah merupakan bagian Muhammadiyah, maka patut diduga kelahiran ‘Aisyiyah bersamaan dengan peresmian Muhammadiyah Groep Makassar, yaitu pada 21 Zulhijjah 1344 Hijiriyah, bertepatan dengan 2 Juli 1926.
Pada 1928, ‘Aisyiyah langsung menunjukkan kiprahnya dengan menggiatkan aktivitas pemberantasan buta aksara. Dengan mendirikan ‘Menyesal School’, perempuan-perempuan progresif ‘Aisyiyah memberikan kursus pemberantasan buta aksara bagi masyarakat.
‘Aisyiyah Cabang Makassar juga sudah terlibat dalam usaha menyukseskan Kongres Muhammadiyah (kini Muktamar) pada 1932.
Perkembangan ‘Aisyiyah semakin gencar pada 1937 ketika statusnya meningkat menjadi ‘daerah’. Saat itu, Muhammadiyah sudah enam tahun menjadi Konsoelat Muhammadiyah Celebes Selatan, yakni sejak 1931.
Pergantian tampuk pimpinan ‘Aisyiyah baru terjadi pada 1941. Saat itu, Ketua ‘Aisyiyah Hj. Fatimah Abdullah yang memimpin organisasi ini sejak pertama berdiri, digantikan oleh St. Dawiah S.S. Djam’an.
Kepemimpinan St. Dawiah S.S. Djam’an tidak pernah menggelar konferensi (kini musyawarah wilayah). Mungkin karena penjajahan Jepang yang memang dikenal amat bengis.
Tampuk kepemimpinan selanjutnya, dari St. Dawiah S.S. Djam’an diserahkan kepada Siti Ramlah Azis, yang akhirnya menjadi Ketua ‘Aisyiyah Sulsel terlama.
Perempuan kelahiran Gantarang, 22 Desember tahun 1922 ini memimpin Aisyiyah Sulsel sejak terpilih pada konferensi di Bantaeng 1950. Ia mengakhiri kepemimpinannya pada Musyawarah Wilayah XXXIII di Palopo 1986.
Era kepemimpinan Siti Ramlah Azis ditandai dengan keseriusan ‘Aisyiyah dengan panti asuhannya. Salah satu panti asuhan tersebut adalah panti asuhan di Rappang yang masih berdiri hingga kini.
Selain itu ‘Aisyiyah Cabang Rappang juga rutin menggelar kursus mubaligah dan kursus bahasa Inggris untuk masyarakat.
Masih dari Sidrap, geliat ‘Aisyiah yang paling fenomenal juga adalah gerakan di Ranting Lautansalo yang masih bagian dari Cabang Rappang. Ranting ini dikenal dengan pengajian rutinnya serta kursus pemberantasan buta huruf.
Suara ‘Aisyiyah era 50-an sempat memotret gerakan ‘Aisyiyah Cabang Makassar, Cabang Parepare, Ranting Lariang Bangngi Kota Makassar, Cabang Bulukumba, dan Ranting Pinrang.
Dilaporkan bahwa kursus pemberantasan buta aksara serta pengajian rutin keagamaan dan keperempuanan digelar oleh cabang dan ranting tersebut.
Periode kepemimpinan Siti Ramlah Azis harus diakui berhasil mengembangkan ‘Aisyiyah di Sulawesi Selatan. Dalam artikel yang ditulis Hadisaputra berjudul “Pardadigma Gender dan Model Gerakan ‘Aisyiyah Sulawesi Selatan pada Masa Orde Baru (2021)” memaparkan kondisi ‘Aisyiyah 1971–1974.
‘Aisyiah Sulsel termasuk Tenggara, telah membentuk 25 pimpinan daerah di tingkat Kabupaten/Kota. Tidak hanya itu, 150 pimpinan cabang juga berhasil terbentuk yang yang tersebar di seluruh Provinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Dikabarkan bahwa program-program ‘Aisyiyah masa itu beriringan dengan program Orde Baru, meski dananya berasal dari organisasi, bukan bantuan pemerintah.
Amal Usaha ‘Aisyiyah bergelut dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan. Untuk bidang pendidikan, ‘Aisyiyah telah mendirikan 75 taman kanak-kanak, 16 madrasah ibtidaiyah, 6 madrasah aliyah, dan 2 madrasah muallimat.
Kiprah ‘Aisyiyah Sulsel hingga 1973 dalam bidang pertolongan (kesehatan), gerakan perempuan ini telah memiliki 10 buah rumah bersalin dan 5 panti asuhan.
Sebagaimana ciri khas gerakan perempuan, ‘Aisyiyah tidak hanya melayani tanpa memberi bekal. Pelatihan atau kursus keterampilan bagi ibu-ibu dan perempuan muda juga diberikan dengan aktivasi kursus menjahit, memasak, dan manajemen keluarga sakinah.
Jalan ‘Aisyiyah yang beriringan dengan program-program Orde Baru dapat dilihat pada program Pembinaan Wanita Desa (PWD), produk Muktamar Aisyiyah 1978. Untuk menguatkan program ini, ‘Aisyiah bahkan menggalakkan Qaryah Thayyibah.
Program yang berperan membantu pihak desa agar mampu mengembangkan kualitas hidup, dalam
berbagai aspek seperti pendidikan, kesehatan, dan maupun peningkatan ekonomi keluarga ini bahkan masih berjalan hingga periode 1990–1995.
(Fikar)