KHITTAH.co, YOGYAKARTA- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengajak warga Muhammadiyah untuk menghidupkan silaturahim. Hal ini ia sampaikan saat berbicara dalam acara Syawalan Bersama Kader Diaspora PCIM Eropa pada Ahad Malam, 16 Mei 2021.
“Meskipun warga Muhammadiyah sangat well organized, yang menjadikan warganya hidup dalam relasi yang impersonal yang memungkinkan relasi sosial tidak hidup, namun jangan lupa, warga Muhammadiyah juga tetap membutuhkan komunalitas yang erat dan kuat,” kata Haedar sebagaimana dilansir di laman Muhammadiyah.or.id.
Ia juga mengingatkan untuk tetap menghidupkan silaturfikr untuk menyamakan persepsi pikiran, baik tentang Muhammadiyah, Islam, dan Kebangsaan. Tidak hanya itu, kata Haedar, silaturahim pemikiran juga harus menjawab soal isu internasional dan global yang terkait dengan ke-Muhammadiyahan, ke-Islaman, dan ke-Indonesiaan.
Terkait perkembangan Muhammadiyah di Eropa, Haedar berharap kader diaspora Muhammadiyah memiliki nilai tawar di kawasan Eropa. Ia berharap kader-kader Muhammadiyah bisa berperan konkret di Benua Biru tersebut.
“Meski prediksi umat Islam akan menjadi yang terbanyak di Eropa, namun juga tetap diperlukan formulasi keislaman yang kompatibel. Berkaca dari prediksi banyak ilmuan, pada tahun 2035 sampai 2050 umat muslim akan menjadi penduduk terbanyak Eropa. Maka sebagai umat muslim, jangan hanya dihibur oleh angka, tetapi juga peran apa yang bisa dilakukan,” tegas Guru Besar Sosiologi UMY ini.
Haedar mengutip pemikiran Tariq Ramadan bahwa menjadi muslim Eropa memang tidak gampang. Hal tersebut, karena di satu sisi, muslim Eropa ingin mempertahankan ke-Islaman, tapi di sisi lain, mereka harus lentur terhadap realitas masyarakat dan negara yang sekuler atheis.
“Proses adaptasi dan negosiasi di sini menjadi niscaya. Kalau tidak, akan selalu terjadi proses mu`aradhah antara Islam dan Eropa-Barat. Selalu akan terjadi oposisi biner, konfrontasi, baik secara kultural, lebih-lebih secara agama,“ kata Haedar.
Tantangan umat Islam di Eropa lainnya, kata Haedar adalah Islamophobia. Tantangan berat ini, lanjut Haedar, membuat mutlak hadirnya format ke-Islaman yang bisa menjawab tantangan tersebut. Terlebih, kata Haedar tantangan yang dihadapi Islam di Eropa tersebut merupakan sunatullah, akan tetapi jawaban dan formulasi itu sebagai ruang ikhtiar menjawab tantangan.
Mengutip pernyataan pemikiran Muhammadiyah abad kedua baik dalam konteks Indonesia dan dunia internasional, Haedar menjelaskan bahwa Muhammadiyah melakukan proses tranformasi strategi dari ad dakwah lil mu`aradah ke dakwah lil muwajahah. Yaitu pergeseran dakwah yang serba reaktif-konfrontatif, menjadi pendekatan yang proaktif-konstruktif.
“Paradigma dan strategi baru ini memerlukan reformulasi dari teman-teman yang berada di kawasan yang memang sangat `antagonis` seperti di Eropa tadi. Maka sebenarnya kita juga memiliki rujukan teologis,“ kata Haedar.
Rujukan teologisnya, kata Haedar terdapat dalam QS Ibrahim ayat 4 yang berbunyi, “Tidak diutus rasul itu kecuali dengan bahasa kaumnya.” Bahasa kaum tersebut, menurut Haedar dapat diartikan sebagai kondisi kebudayaan, tradisi, dan alam pikir setempat, yang oleh Muhammadiyah diformulasikan menjadi dakwah kultural.
sumber: muhammadiyah.or.id