Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Muhammadiyah Butuh Amal Usaha Bidang IT?

×

Muhammadiyah Butuh Amal Usaha Bidang IT?

Share this article
Haedar Nashir saat berbicara dalam pembukaan Rakernas Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah pada Jumat, 14 Juli 2023 di Kampus IV Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta (sumber foto: Nely pwmu)

KHITTAH.CO, YOGYAKARTA–Publik mengenal Muhammadiyah dengan citra maju dan modern. Karena itu, di era kecanggihan IT, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan pemikirannya terkait pendirian amal usaha di bidang IT.

“Jangan-jangan, kita sekarang memerlukan juga amal usaha bidang IT, misalnya, bisnis IT atau media online, termasuk Tablig online yang didesain ke situ,” kata dia.

Pasalnya, untuk terus bertahan, Persyarikatan harus terus beradaptasi dan berupaya mencapai tujuannya, sebagaimana teori Talcott Parsons yang ia kutip.

Muhammadiyah telah memanfaatkan sejumlah wadah dan cara untuk pencapaian tujuan itu yakni yaitu amal usaha dalam bidang pendidikan, sosial, kesehatan, dan ekonomi. “Tapi, di era baru kan amal usaha memerlukan revitalisasi,” ungkap dia.

Ia menekankan, kemampuan menyediakan media, wadah, atau cara, untuk mencapai tujuan itu akan menentukan kehadiran Muhammadiyah sebagai suatu sistem.

Haedar menyampaikan hal itu ketika berbicara dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, pada Jumat, 14 Juli 2023 di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Sebagai organisasi besar, Muhammadiyah juga harus memiliki kemampuan integrasi antara dua kutub. Seperti, konvensional dan non konvensional juga antara liberal dan ultrakonservatif.

Jika tidak, kata dia, Muhammadiyah benar-benar akan menjadi gajah bengkak, seperti kata Pak AR.

“Gajah itu kalau bengkak karena sakit, itu kan problema. Ilustrasi ini menunjukkan Muhammadiyah yang besar kalau organisasinya banyak penyakit, tidak akan bisa maju. Di sinilah kemampuan integrasi,” kata dia.

Gerakan ini juga harus bisa memilihara pola yang telah dibangun. Sekali saja Muhammadiyah tidak menjalankan pola yang tersistem, maka Persyarikatan ini akan kehilangan sistem itu.

Ia mencontohkan, banyak pihak di Persyarikatan ini yang menganggap kemajuan amal usaha Muhammadiyah yang semakin modern dan canggih membuat jarak dengan komunitas biasa. Namun, dia berpendapat, jarak itu adalah konsekuensi.

Karena itulah, Haedar menekankan MPI harus harus menjadi instrumen integrasi. MPI harus menjadi organ Muhammadiyah yang bisa mendinamisasi dan mengkapitalisasi proses baru organisasi di era kecanggihan IT.

Haedar berharap, MPI menjadi terdepan dalam mengubah pola pikir Persyarikatan untuk dapat beradaptasi dengan sistem hidup kekinian.

Ia mencontohkan, MPI harus membantu Majelis Tablig juga Majelis Tarjih dan Tajdid untuk membuat kedua majelis itu semakin fungsional dalam kehidupan serba IT.

“Sekarang kan masih sendiri-sendiri, masing-masing punya konten tentang Tablig dan Tarjih. Kalau tidak dibikin integrasi sebagai atap besar, nanti jadi eceran semua. Di sinilah MPI memberi bantuan. Konten mereka bisa, tapi instrumennya, MPI yang harus bantu,” kata dia.

Hal itu harus dilakukan. Pasalnya, fakta lapangan menunjukkan Muhammadiyah masih gagap terkait kecanggihan teknologi dan informasi.

Haedar mengungkapkan, bahkan, masih banyak warga dan pimpinan Muhammadiyah yang masih gagap dengan smartphone.

“Itu baru yang teknis, kalau yang bersifat state of mind, lebih besar lagi. Misalkan, kegiatan Tablig yang bersifat langsung yang kalah dengan yang bersifat medsos dan digital. Bagaimana majelis Tablig bisa cepat beradaptasi untuk lebih sigap masuk ke dunia baru, digital. Kita juga masih leg di situ,” kata dia.

Bahkan, kata dia, aktivitas Tablig Muhammadiyah kini, tidak mengalami kemajuan konten. “Bahannya itu saja-itu saja. Modalnya pindah tempat saja. Jangan heran kalau mubalig di Youtube itu lebih populer,” kata dia.

Ia menekankan, masyarakat memang masih membutuhkan mubalig yang hadir langsung di lokasi, tapi Persyarikatan harus cepat melakukan transformasi antara dunia nyata dan digital dalam hal dakwah.

Muhammadiyah harus bisa membangun opini publik. Karena itu, kini, Muhammadiyah menjalin kerjasama dengan sejumlah media arus utama. Meski demikian, Muhammadiyah harus bisa menghadirkan media untuk itu.

“Ada yang berbuat sedikit saja, beritanya sampai dunia akhirat. Muhammadiyah ini bebuat banyak, tapi beritanya sedikit. MPI harus mengkapitalisasi ini dengan kemampuan memilih dan memilah,” kata dia.

MPI juga harus bisa menetralisasi wacana negatif yang beredar di publik. “Memberi narasi alternatif, tidak harus meng-counter, jika memang itu bukan gaya kita, atau kita menghadirkan narasi yang konstruktif. Nah, di sini, kita kurang,” tandas dia.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply