KHITTAH.CO, PAREPARE – Membanggakan, Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Parepare memprakarsai program Gaji 13 bagi sejumlah guru honorer di AUM Pendidikan dan beberapa sekolah swasta, Sabtu, 13 Juli 2024 di Islamic Center. Tujuannya adalah untuk mencukupkan gaji tenaga honorer yang bayaran bulanannya dibawah Rp 500.000.
Ketua PD Muhammadiyah Parepare Mahsyar Idris menjalankan program itu setelah melakukan survei di AUM Pendidikan. Setidaknya, tenaga honorer yang menerima gaji dibawah Rp 500.000 per bulan tak kurang dari 40 orang.
“Setelah survei amal usaha, khususnya di SD 1 dan 5, SMP, SMA dan SMK Muhammadiyah ditemukan sejumlah 45 orang guru dengan gaji Rp 500.000 ke bawah,” ujar Mahsyar.
Temuan itu membuatnya merasa berdosa dan tak bisa berkata banyak. Selama ini, kata Mahsyar, perhatian besar PD Muhammadiyah Parepare hanya tertuju kepada Perguruan Tinggi Persyarikatan di daerah itu.
“Selaku ketua PD Muhammadiyah merasa berdosa karena selama ini, sudah 11 bulan hanya berfokus pada Universitas Muhammadiyah Parepare (Umpar), ternyata amal usaha yang lain mengharapkan perhatian dan belas kasihan,” ujar dia.
Ia lalu menghitung sejumlah Guru Besar dan Doktor yang berstatus kader di Parepare. Setelah itu, Mahsyar lalu membuka komunikasi dan ditindaklanjuti dengan pembuatan grup WhatsApp.
“Saya melihat ada aset dan potensi yang kita punya, Guru Besar di AUM, calon Guru Besar. Jika jumlah ini digabung dengan pengurus PD Muhammadiyah Parepare, jumlahnya mencapai 20 orang,” terang dia.
Untuk mengobati keresahannya itu, ia lalu mengajak para Guru Besar dan pengurus PD Muhammadiyah Parepare untuk merumuskan langkah konkrit. Mahsyar lalu menamai kelompok barunya itu dengan sebutan Toaccana Muhammadiyah.
“Saya membuat grup WA sebagai wadah diskusi khusus dalam rangka mengambil langkah kepedulian sosial terhadap guru kita yang gajinya Rp 200-300 ribu rupiah per bulan. Kegiatan ini nantinya kami sebut sebagai Peduli Toaccana Muhammadiyah,” papar dia.
Ia tak menampik jika grup WhatsApp yang ia buat itu belum mengakomodir semua tokoh Muhammadiyah Parepare. Namun ia berharap, para kader itu menawarkan diri untuk terlibat dalam kegiatan amal sosial itu.
Sebelumnya, Mahsyar mengaku telah menempuh langkah berupa undangan silaturahmi terhadap tenaga pendidik di lingkup Umpar. Hanya saja, kata dia, silaturahmi berupa pengajian yang mendatangkan PP Muhammadiyah hanya dihadiri oleh sebagian tenaga pendidik kampus itu.
Silaturahmi itu, kata dia, awalnya ditujukan untuk mengumpulkan tenaga pendidikan yang akan dimasukkan sebagai kategori dermawan untuk para guru honorer. Hingga, Mahsyar menganggap undangan silaturahmi-nya itu kurang efektif.
“Tenaga pendidik di Umpar belum pernah mencapai 50 persen saat diundang oleh PD Muhammadiyah Parepare. Saya memulai strategi baru untuk mengambil langkah dan membangun silaturahmi,” ungkap dia.
Usaha Mahsyar berbuah manis, para Guru Besar yang telah bergabung di grup WhatsApp merespons antusias tawaran program Gaji 13. Hingga grup yang dinamai Toaccana Muhammadiyah itu melakukan pertemuan virtual perdana pada Ahad, 30 Juni 2024.
“Salah seorang anggota grup mendukung program yang saya usulkan, mereka meminta untuk melakukan pertemuan agar rencana program Gaji 13 terwujud. Namun pertemuan kami harus dilakukan virtual sebab salah seorang anggota grup sedang berada di Kota Madinah,” ujar Mahsyar.
Mahsyar lalu bercerita soal rentetan pembahasan mereka selama rapat. Mereka bersepakat untuk menyasar sebanyak 45 guru honorer yang masuk kategori layak menerima program Gaji 13.
“Awalnya, kami diskusikan soal tujuan dibentuknya grup WA, jumlah target dana yang harus dicapai, jumlah dana yang dibutuhkan, dan dari mana sumber dana itu. Hingga dana yang dihimpun dikategorikan sebagai wakaf dengan uang, bukan infak,” tutur Mahsyar.
Memasuki bulan Juli, Mahsyar membentuk panitia pada tanggal tiga, sembari menunggu jumlah guru honorer yang akan menerima program Gaji 13. Akhirnya, target penerima program itu mencapai 80 orang.
“Survei dikembangkan ke sekolah swasta yang ada di Parepare, baik yang dibina DDI dan NU maupun yang dikelola Yayasan. Ternyata ditemukan data guru swasta yang non sertifikasi mengalami hal yang sama. Berdasarkan data tersebut, kami memutuskan bahwa kepedulian tidak cukup hanya di lingkup Muhammadiyah, tetapi sekolah swasta lain juga harus disapa,” jelas dia.