Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Nasionalisme Autentik: Refleksi Hari Kebangkitan Nasional

×

Nasionalisme Autentik: Refleksi Hari Kebangkitan Nasional

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

KHITTAH. CO – Setiap tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang didasarkan pada tanggal lahir Budi Utomo, tanggal 20 Mei 1908. Hadirnya Budi Utomo dilatari oleh kesadaran pentingnya pendidikan sebagai sarana mengejar ketertinggalan dan sarana membebaskan diri dari keterbelakangan.

Dr. Sutomo, Suruji, dan dr. Wahidin Sudiro Husodo berembuk dan bersepakat perlunya suatu wadah untuk mewujudkan cita-cita tersebut dan wadah itu berupa organisasi yang kemudian diberi nama Budi Utomo. Kelahiran Budi Utomo menandai terjadinya perubahan bentuk perjuangan yang selama ini bersifat kedaerahan dan bersifat fisik, menjadi perjuangan berskala nasional dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran.

Sebelum era kebangkitan nasional ini, perjuangan panjang bangsa Indonesia melalui perjuangan fisik telah menelan tidak sedikit korban, rakyat semakin menderita, keterbelakangan, penindasan, pembodohan, dan adu domba juga tidak kalah dahsyatnya, cengkraman kolonialisme seakan tak berakhir. Oleh karena itu, atas kesadaran para pemuda terpelajar yang mulai melakukan pola gerakan yang bersifat modern melalui organisasi yang diharapkan dapat memberi warna baru dalam perjuangan dengan memberi penyadaran dan pencerahan kepada masyarakat melalui pendidikan dan pemberdayaan.

Setelah Indonesia merdeka, idealnya apa yang menjadi harapan para penggerak kebangkitan nasional itu harusnya dapat terwujud, apatah lagi kini Indonesia sudah memasuki usia yang hampir seabad kemerdekaannya. Soekarno mengatakan bahwa kemerdekaan merupakan jembatan emas.

Jembatan emas ke mana? Tentu yang dimaksud adalah jembatan emas menuju kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran anak-anak negeri. Namun demikian, negeri yang kaya raya ini yang telah terbebas dari penjajahan hingga kini masih kita menyaksikan sebagian besar anak-anak negeri pemilik sah tanah air ini hidup dalam kemiskinan, tidak sedikit pencari keadilan harus merana, kedaulatan bangsa masih tetap menjadi impian.

Nasionalisme menjadi jargon tanpa realitas, teriakan persatuan dan kesatuan dalam keragaman belum menjadi realita. Kita masih dapat menyaksikan adanya fanatisme suku, kelompok, fanatisme partai, dan fanatisme lainnya yang cenderung mengoyak-ngoyak persatuan. Padahal ,mereka memahami slogan negeri ini bhineka tunggal ika.

Memudarnya nasionalisme bisa jadi karena masih bertenggernya kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok di pundak sebagian pemimpin yang sedang bertahta di singgasananya. Politisi yang sedang mendapat mandat dari rakyat belum hadir sebagai negarawan, mereka masih memikirkan kepentingan partainya dibanding kepentingan negara bangsa. Tidak sedikit kita menyaksikan mereka masih berjuang untuk diri dan partainya walaupun saat kampanye menyuarakan dengan lantang demi kepentingan rakyat, itu hanya teriakan saat rakyat dibutuhkan.

Semangat nasionalisme harusnya hadir dan dicontohkan oleh mereka yang sedang mendapat mandat oleh rakyat baik sebagai eksekutif maupun sebagai legistlator. Mereka harus sudah selesai dengan dirinya. Hal ini telah dicontohkan oleh para peletak dasar negeri ini.

Soekarno misalnya, walaupun hidupnya serba kekurangan tetapi nasionalisme menjadi utama dalam hidupnya, seperti yang diungkapkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, “Aku tidak begitu memikirkan benda-benda duniawi seperti uang. Hanya orang-orang yang tak pernah menghirup apinya nasionalisme dapat larut dalam hal-hal sepele seperti itu. Kemerdekaan adalah makanan yang membuat aku hidup, ideologi, idealisme makanan dari jiwa, semua ini makananku. Aku sendiri hidup dalam kekurangan”. Demikian juga Bung Hatta yang rela terus membujang mengabaikan kebutuhan berkeluarga demi kemerdekaan.

Jiwa nasionalisme Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah tidak kalah hebatnya, hal ini tercermin dalam sebuah pidatonya di hadapan sidang BPUPKI menyatakan bahwa, ”Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka”. Dan, beliau buktikan ucapan itu ketika merelakan dihapusnya tujuh kata ”…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” yang kemudian menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama pancasila.

Tentu, Ki Bagus Hadikusumo rela melakukan itu demi persatuan dan demi kemerdekaan bangsa yang dia cintai ini. Kerelaan Ki Bagus bersama para tokoh Islam lain yang dimediasi oleh Kasman Singodimejo merupakan pengorbanan umat Islam yang luar biasa demi kemerdekaan dan menghindari terjadinya keretakan di tubuh bangsa ini. Alamsyah Ratu Perwiranegara (mantan mentri Agama) mengatakan bahwa dihapusnya tujuh kata tersebut merupakan hadiah tersebar umat Islam.

Nasionalisme para pendahulu dan para peletak dasar negeri ini dilakukan dengan semangat persatuan dan kesatuan, demi tegaknya keadilan di negeri ini. Mereka rela berkorban demi suatu negara merdeka yang menghadirkan negara untuk semua, negeri ini bukan negara untuk sekelompok kecil orang tertentu.

Mereka hadir untuk kesejahteraan anak-anak negeri. Prof. Haedar Nashir dalam bukunya Indonesia Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa, mengutip penggalan pidato Soekarno di sidang BPUPKI yang mengatakan. ”Kita hendak mendirikan suatu negara, semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua untuk semua”. Sedang Bung Hatta pernah mengatakan ”Membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat”.

Negeri ini kaya raya, Gus Mus dalam penggalan puisinya berjudul Negeriku, menggambarkan sebagai negeri yang amat kaya,

Mana ada negeri sesubur negeriku?

Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung

Tapi juga tempat rekreasi dan gedung-gedung perabot-perabot orang kaya di dunia

Dan burung-burung indah piaraan mereka berasal dari hutanku

Ikan-ikan pilihan yang mereka santap bermula dari lautku

Emas dan perak perhiasan mereka digali dari tambangku

…………

Kekayaan negeri ini bukanlah milik segelintir orang, bukan milik bangsa lain, ini milik anak-anak negeri yang penjagaan, pengawasan pengelolaannya dalam tanggung jawab pemimpin negeri, sehingga menjadi kewajiban para elit yang sedang mendapat amanah untuk terus menjaga,merawat, dan mengelola dengan baik untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Namun, bila para elit negeri lalai maka suatu saat kekayaan negeri ini habis terkuras oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab, habis terbeli oleh bangsa lain, dan saatnya bangsa ini manjadi budak di negerinya sendiri. Oleh karena itu, semangat nasionalisme harus hadir di kalangan para elit, semangat dan jiwa nasionalisme sejati bukan nasionalisme semu.

Semangat nasionalisme yang telah ditunjukkan oleh para peletak dasar negeri ini hendaknya menjadi cerminan,  menjadi patron para elit negeri. Mereka telah telah rela berkorban demi kemerdekaan, demi keadilan, dan demi kedaulatan bangsa. Elit negeri yang sedang bertahta di singgasana kekuasaannya, harus hadir dengan semangat nasionalisme.

Hadir di seberang jembatan emas untuk memberi yang terbaik bagi negeri ini. Jiwa negarawan hendaknya terpatri dalam sanubari para elit negeri, kepentingan pribadi, kelompok, dan kepentingan partai harus tunduk pada kepentingan rakyat pemilik sah negeri ini. Para elit negeri yang mendapat kepercayaan dari rakyat baik di pusat maupun di daerah harusnya sudah selesai dengan dirinya, dia hadir untuk mengabdikan dirinya untuk kepentingan bangsa dan negaranya, menghadirkan keadilan dan kemakmuran untuk rakyat yang telah memberi mandat, bukan hadir untuk diri dan keluarga serta kelompoknya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply