Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
KHITTAH. CO – Selama ini hanya tanggal 20 Mei yang sering muncul dalam ingatan kita yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional berdasarkan pada lahirnya Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908. Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 19 Mei sesungguhnya ada kebangkitan dan semangat nasionalisme yang lahir dari kaum perempuan yaitu tanggal 19 Mei 1917, lahirnya Aisyiyah. Sehingga, tidak berlebihan bila tanggal 19 Mei dijadikan hari kebangkitan perempuan Indonesia, karena peran-peran Aisyiyah dalam membangkitkan semangat nasionalisme tidaklah sedikit, bahkan mungkin bila ditelusuri lebih jauh, tidak akan berbeda dengan peran Budi Utomo dalam membangkitkan semangat nasionalisme, hingga saat ini Aisyiyah terus hadir dengan semangat nasionalisme untuk memberi pencerahan kepada kamu perempuan.
Hadirnya Budi Utomo dilatari oleh kesadaran pentingnya pendidikan sebagai sarana mengejar ketertinggalan dan sarana membebaskan diri dari keterbelakangan. Dr. Sutomo, Suruji dan dr. Wahidin Sudiro Husodo berembuk dan bersepakat perlunya suatu wadah untuk mewujudkan cita-cita tersebut dan wadah itu berupa organisasi yang kemudian diberi nama Budi Utomo. Lahirnya Budi Utomo menandai terjadinya perubahan bentuk perjuangan yang selama ini bersifat kedaerahan, bersifat fisik, menjadi perjuangan berskala nasional dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran.
Sebelum era kebangkitan nasional ini, perjuangan panjang bangsa Indonesia melalui perjuangan fisik telah menelan tidak sedikit korban, rakyat semakin menderita, keterbelakangan, penindasan, pembodohan, dan adu domba juga tidak kalah dahsyatnya, cengkraman kolonialisme seakan tak berakhir. Oleh karena itu, atas kesadaran para pemuda terpelajar yang mulai melakukan pola gerakan yang bersifat modern melalui organisasi yang diharapkan dapat memberi warna baru dalam perjuangan dengan memberi penyadaran dan pencerahan kepada masyarakat melalui pendidikan dan pemberdayaan.
Sejak lahirnya hingga saat ini tidak sedikit kiprah Aisyiyah dalam membangkitkan semangat kaum perempuan melalui berbagai usaha yang dilakukan seperti berdirinya taman kanak-kanak Aisyiyah pada tahun 1919. Bahkan, ini menjadi taman kanak-kanak pertama di Indonesia, merintis berdirinya majalah Suara Aisyiyah pada tahun 1926 sebagai media informasi dan komunikasi sekaligus media pencerahan khususnya bagi kaum perempuan, menjadi media yang strategis dalam memberikan perluasan pengetahuan dan penyadaran kepada warga Aisyiyah khususnya dan peran perempuan dalam domestik dan publik (Suara Aisyiyah). Suara Aisyiyah sendiri merupakan majalah perempuan tertua di Indonesia, berbagai amal usaha lain seperti rumah bersalin, poliklinik dan perguruan tinggi.
Kongres Perempuan pertama 22-26 Desember 1928, yang kemudian tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu, Aisyiyah bersama komponen perempuan lainnya menjadi bagian penting dari kongres tersebut. Menurut catatan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam buku yang berjudul “Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama” yang diterbitkan tahun 1991, tercatat dua orang dari Aisyiyah sebagai panitia kongres yaitu Sitti Munjiah sebagai Wakil Ketua dan Sitti Hajinah sebagai anggota.
Mereka berdua tidak hanya sekadar aktif sebagai panitia dan peserta kongres. Pada kongres tersebut Siti Munjiah mendapat kesempatan menyampaikan pidato, naskah resmi pidato beliau juga menjadi lampiran dari buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan Siti Hajinah menyampaikan prasaran dalam bentuk makalah.
Bahkan, sampai hari ini setelah Budi Utomo tidak eksis lagi, dan kelahirannya tetap menjadi kenangan sejarah yang terus diperingati, Aisyiyah tetap eksis dan terus menghadirkan diri berperan bukan hanya untuk Aisyiyah tetapi juga untuk kemajuan bangsa dan negara ini. Aisyiyah memiliki peran strategis melayani anak-anak negeri tanpa memandang perbedaan, melalui amal usahanya. Hingga kini ‘Aisyiyah memiliki 20.125 PAUD; 4.398 lembaga pendidikan setingkat SD, SMP, dan SMA; 3.904 lembaga keaksaraan fungsional, memiliki 10 Perguruan Tinggi dengan 3 Universitas yakni Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Bandung, dan Surakarta.
Merintis berdirinya majalah Suara Aisyiyah pada tahun 1926 sebagai media informasi dan komunikasi sekaligus media pencerahan khususnya bagi kaum perempuan, menjadi media yang strategis dalam memberikan perluasan pengetahuan dan penyadaran kepada warga Aisyiyah khususnya dan peran perempuan dalam domestik dan publik (Suara Aisyiyah). Suara Aisyiyah sendiri merupakan majalah perempuan tertua di Indonesia.
Selain itu, Aisyiyah juga memiliki berbagai amal usaha di bidang sosial dan kesehatan serta pengembangan ekonomi. Dari situs resmi PPA, tercatat 20 RS Umum dan 50 Klinik, 188 Panti Asuhan, 23 Panti Difabel, 214 Daycare Lansia, 135 Bakesos, 26 Panti Lansia, dan 2 Rumah Sakinah, 475 koperasi, mengembangkan 3.235 BUEKA, menyelenggarakan 39 titik SWA offline dengan 3.194 alumni, 41 titik SWA online dengan 3.060. ini tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Semangat nasionalisme dari para Pimpinan Muhammadiyah dan Aisyiyah, tidak perlu diragukan. Kita bisa menyimak bagaimana jiwa nasionalisme Ki Bagus Hadikusumo yang saat itu menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah tidak kalah hebatnya. Hal ini tercermin dalam sebuah pidatonya di hadapan sidang BPUPKI menyatakan bahwa :”Saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang sayapun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka”.
Dan, beliau buktikan ucapan itu ketika merelakan dihapusnya tujuh kata ”. . dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” yang kemudian menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila. Tentu, Ki Bagus Hadikusumo rela melakukan itu demi persatuan dan demi kemerdekaan bangsa yang dia cintai ini. Kerelaan Ki Bagus bersama para tokoh Islam lain yang dimediasi oleh Kasman Singadimejo merupakan pengorbanan umat Islam yang luar biasa demi kemerdekaan dan menghindari terjadinya keretakan di tubuh bangsa ini. Alamsyah Ratuprawiranega (mantan mentri Agama) mengatakan bahwa dihapusnya tujuh kata tersebut merupakan hadiah tersebsar ummat Islam.
Semangat nasionalisme juga telah ditunjukan oleh tokoh-tokoh Aisyiyah, Sebutlah Sitti Munjiah, tokoh Aisyiyah yang terlibat langsung pada Kongres Perempuan pertama dan menyampaikan pidato berjudul ”Derajat perempuan”. Dalam pidato tersebut beliau menguraikan kondisi perempuan yang tertinggal. Sikap dan budaya yang merendahkan martabat perempuan, pandangan Isalm tentang perempuan, dan pentingnya kongres serta pergerakan perempuan untuk bangun dari tidurnya yang nyenyak (Hadera Nashir). Lebih lanjut Munjiah mengajak kaum perempuan untuk bangkit dari kebodohan dan ketertinggalan, membangkitkan hati dan bergerak menuntut haknya.
Tokoh lainnya yang juga menyampaikan pidato pada kongres tersebut adalah Siti Hayyinah, menyampaikan pidato berjudul ”Persatuan Manusia” yang menguraikan pentingnya persatuan di tengah keragaman manusia Indonesia, yang memerlukan jalan menuju persatuan. Bahwa antara manusia Indonesia harus satu jalan yang mendatangkan persatuan, harus pergaulan, harus persaudaraan, harus berhubungan, dan harus mengadakan gerombolan atau perkumpulan. Perkumpulan itu harus membicarakan hal-hal yang perlu dijalankan secara bersama-sama, tolong-menolong dan saling mengingatkan satu sama lain (dikutip dari buku Haedar Nashir; Gerakan Islam Berkemajuan)
Dari pidato kedua tokoh Aisyiyah tersebut dapat kita katakan bahwa keduanya memiliki semangat nasionalisme yang mendalam, memiliki karakter kuat untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan, semangat untuk menghadirkan persatuan di tengah keragaman bagsa Indonesia, semangat yang kuat melalukan pemberdayaan, pembebasan dari ketertindasan dan keterbelakangan, peningkatan derajat kaum perempuan. Semua itu diharapkan memberi andil bukan hanya untuk kaum perempuan tetapi juga bagi kaum laki-laki dan tentu untuk kepentingan dan kemajuan Isalm dan bangsa Indonesia.
Semangat nasionalisme kedua tokoh tersebut terus menggeliat kepada anggota Aisyiyah hingga saat ini, demikian juga semangat untuk terus membangkitkan dan menyuarakan hak-hak perempuan yang sesuai tuntunan ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya berbagai usaha yang dilakukan Aisyiyah, yang semua berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia, pemberdayaan kaum perempuan, pelayanan kesehatan dan sosial serta usaha sektor ekonomi, demikian juga pembinaan keluarga sakinah yang menjadi salah satu program yang strategis dalam pembinaan keluarga, yang pada akhirnya dapat menjadi warga bangsa yang berkeadaban dan berkemajuan.