Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpini

Natal, Tuhan dan Harapan (Bagian 1)

×

Natal, Tuhan dan Harapan (Bagian 1)

Share this article

screen-shot-2013-12-19-at-11-34-18-pm

Oleh : Muh. Asratillah Senge

Khittah.co- Krisis keuangan, bencana alam yang dahsyat, kasus korupsi, konflik horizontal, merupakan serangkaian kategori peristiwa destruktif yang pernah dan terus mengancam Indonesia. Peristiwa destruktif tersebut bisa saja “menelan” kita, dan membuat kita putus asa dan trauma. Kita tidak bisa melenyapkan segala peristiwa destruktif, tetapi kita bisa berdiri tegar menghadapi dan mengatasinya, maka itulah kita butuh harapan. Jika kita menggunakan kesadaran intens dalam menjalani hidup, maka banyak peristiwa sederhana yang bisa memercikkan harapan, semisal peristiwa pagi hari, tangis bayi yang baru lahir dan ritual-ritual serta perayaan keagamaan yang seringkali kita jalani dengan khidmat.

Setiap tanggal 25 Desember menjelang, umat kristiani kembali memperingati kelahiran manusia yang agung, manusia yang dianggap sebagai emanasi sempurna Tuhan di muka bumi, manusia yang dianggap ekspresi ketuhanan dalam darah dan daging.

Tapi untuk saat ini, segala bentuk perayaan keagamaan termasuk Natal sebaiknya waspada terhadap dua jenis tendensi buruk yang bisa saja datang menghampirinya. Pertama, tendensi yang menjadikan momen-momen keagamaan sebagai pasar untuk menjual barang-barang konsumsi, mulai dari minuman bersoda sampai dengan pakaian religi, dan tendensi yang kedua yaitu, yang menjadikan hari besar keagamaan sebagai sarana untuk memupuk militansi keagamaan yang tertutup, momen keagamaan dijadikan sebagai media penyemangat untuk melenyapkan  Yang Lain (The Other). Lalu bagaimana seharusnya kita membaca hari-hari besar keagamaan khususnya hari Natal?.

Natal adalah momen menyambut kelahiran yang agung. Siapakah yang tidak terharu menyambut kelahiran?, walaupun sebuah anak yang dilahirkan adalah hasil hubungan gelap, kegembiraan dan keriangan sedikit banyak menyertainya keluar dari rahim, dan menempel pada sukma-sukma orang-orang yang melihat, mendengar dan mengetahui kabarnya. Bukan hanya kegembiraan dan keriangan tetapi kasih sayang dan perasaan cinta turut pula mengikutinya.

Kristus sebagai pribadi yang agung, bukan hanya lahir membawa seonggok daging dan beberapa liter darah dalam tubuhnya, tetapi juga membawa harapan akan pembebasan dan keadaan yang lebih baik dimuka bumi, kelahirannya menimbulkan imaji surga yang terpatri didunia.Hal ini sepadan misalnya saat kaum muslimin memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, mereka tidak hanya berusaha merepetisi kelahiran sesosok tubuh kecil yang kemudian diberi nama Ahmad, tetapi pada dasarnya mereka merepetisi kembali, memperbaharui kembali, menyegarkan kembali harapan-harapan mereka.

Begitu pula dengan Musa sang nabi yang tubuhnya begitu kuat, kelahirannya tidak hanya membawa tangis tetapi kelahirannya ternyata menyimpan takdir akan tamatnya riwayat sang diktator Fir’aun di kemudian hari. Serta membawa secerca harapan buat bangsa Israel yang telah menjadi bulan-bulanan penindasan dan penghinaan.

Ternyata agama-agama di dunia jika kita berusaha memahaminya dengan memaksimalkan kebijaksanaan diri , terutama dalam melihat moment kelahiran pembawa risalahnya masing-masing, ingin membawa harapan di tengah-tengah keputusasaan dan ratapan manusia-manusia yang lemah dan dilemahkan. Ternyata masing-masing diri  yang beragama saat memperingati hari lahir Nabi-nabinya, dalam alam bawah sadar mereka berhasrat akan harapan.

Harapan, barangkali adalah satu-satunya yang membuat manusia bisa bertahan di dunia yang ganas ini. Sartre sang filosof eksistensialis mengatakan bahwa manusia itu tidak sekali jadi tetapi dia selalu ”menjadi”, dan ”menjadi” itu diawali dengan perbuatan, perbuatan yang ditarik dan didorong oleh harapan. Harapan adalah jantung hidup manusia.

Lalu kenapa sebagian pemuka dan pengikut agama berusaha untuk memonopoli harapan, dan mengklaim bahwa harapan untuk menjadi selamat hanya berada dan diperuntukkan bagi kelompok agama atau untuk diri mereka sendiri. Jika perlu untuk memonopoli harapan itu, mereka menutup pintu pengharapan bagi agama, kelompok atau diri yang lain, memupuk heterophobia- yaitu sikap yang merasa “yang-lain” sebagai sesuatu yang menakutkan. Sebagian besar dari kita telah mengubah ”hasrat akan harapan” menjadi ”hasrat akan kekuasaan”.

Hari besar ke-agama-an (religion celebration), bukanlah sekedar peringatan, atau mengaktifkan bundel-bundel ingatan sosial suatu kelompok keagamaan tertentu. Tetapi terlebih dari itu, hari besar keagamaan merupakan inisiasi yang sifatnya berkala pada diri orang-orang beriman, agar terlibat dan ”mencelupkan diri” dalam semesta nilai beserta harapan yang menyertai hari besar keagamaan tersebut. Menurut penulis hari besar keagamaan memliki dua sisi yang sangat penting, yang pertama sifatnya yang ”simbolik” dan yang kedua sifatnya yang ”sakral”.

Apa yang dimaksud sifat simbolik ?. Artinya hari besar keagamaan menunjuk sesuatu di luar dirinya, menunjuk kepada apa yang diistilahkan Mohammaed Arkoun dengan istilah ”petanda transendental”. Selain menunjuk kepada apa yang sifatnya transenden, hari besar keagamaan juga menunjuk apa yang imanen pada diri kita. Misalnya Natal tidak hanya menunjuk kepada harapan akan kehidupan manusia yang lebih manusiawi, tetapi juga menunjuk kedalam diri para penganut kristiani, agar mereka melampaui prisma ego mereka masing-masing dan mewujudkan harapan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Hari raya Idul Adha dalam Islam, tidak hanya sekedar menunjuk kepada sikap Ikhlas Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi juga menunjuk ke dalam diri kita, agar kita rela untuk ”mengurbankan” hasrat-hasrat rendah kebinatangan kita, demi teraktualisasinya kehidupan yang lebih luhur.

Merupakan sebuah ”syirik kecil” jika kita gagal melampaui bentuk luar, letupan emosional sesaat dan kegembiraan sejenak saat kita turut serta dalam hari raya keagamaan tertentu. Setiap sarana simbolik dalam agama, hanya bisa dicapai tujuannya jika kita melampaui sarana-sarana simbolik tersebut, atau dalam kahazanah Post-Modernisme, setiap simbol agama, menyediakan peluang untuk mendekonstruksi dirinya sendiri.

Menghadapi perayaan ke-agama-an sebagai sesuatu yang simbolik juga berarti bahwa kita jangan menjadikan agama, perayaan ke-agamaan, kitab suci hanya sebagai sarana bagi kita untuk memperoleh informasi kebenaran tertentu, termasuk informasi mengenai Tuhan. Sebab ajaran agama, sebagaimana yang ditekankan oleh para rabi Yahudi, merupakan miqra’. Miqra’ atinya panggilan untuk bertindak dan terlibat, begitu pula dalam Islam yang menyebut agama sebagai din, yang berarti jalan atau cara hidup. Walaupun agama memberikan kita harapan, tetapi agama menuntut kita untuk melampaui harapan. Agama menuntut kita untuk melampaui harapan akan hidup menuju hidup yang sebenarnya. Agama menuntut kita melampaui harapan akan keadilan menuju keadilan yang membumi, agama menuntut kita melampui harapan akan cinta menuju mencintai sesama manusia dengan sepenuh hati, berbaik hati dengan tetangga dan menyantuni orang-orang lemah. Harapan ada dan dibutuhkan untuk segera dilampaui.

Agama yang simbolik pada dasarnya merupakan program untuk bertindak. Kita harus terlibat secara intens dan imajinatif dengan sebuah simbol, terlibat secara ritual dan etis dengannya, dan membiarkannya menimbulkan perubahan atau transformasi dalam diri kita. Jika kita jauh atau selalu mengambil jarak dengan simbol agama, maka simbol tersebut akan terus gelap dan berkabut. Iman dalam agama bukanlah sekedar ”persetujuan intelektual” terhadap proposisi-proposisi keagamaan tertentu, atau persetujuan akan serangkaian doktrin spekulatif murni. Iman adalah komitmen kita dan keberanian kita untuk hidup damai dan bijak dalam kehidupan yang misterius. Iman adalah keterlibatan intens dan bermakna dalam kehidupan yang kadang tidak bersahabat.

Bersambung ke bagian 2……………………

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD