Oleh : Ahlan Mukhtari Soamole*
‘’Definisi kesepian yang sebenarnya adalah hidup tanpa tanggung jawab sosial’’
Goenawan Mohammad
‘’Sebuah revolusi adalah perjuangan kematian antara masa depan dan masa lalu’’.
Fidel Castro
KHITTAH.co _ Mungkin kita beranggapan bahwa isu ‘’merawat Negara dari ancaman propaganda besar’’ bukanlah suatu isu faktual, namun informasi ini sudah berkembang lama dan menjadi bahan diskursus-diskursus dikalangan intelektual, akademisi, maupun mahasiswa khususnya mahasiswa di Indonesia. Semisal isu-isu propaganda besar Negara kaptalisme seperti Amerika Serikat dan Eropa lainnya. Akibat daripada propaganda-propaganda besar tersebut, menyisakan kepedihan mendalam bagi bangsa atau masyarakat di Negara berkembang seperti Indonesia.
Ketika membaca situasi global saat ini, menurut hemat penulis kita ummat manusia sedang mengalami krisis filsafat atau krisis pendalaman penalaran kemanusiaan bagi keadilan dan kemakmuran. Secara definitif bahasaan seperti ini pula telah diungkapkan oleh Sidi Gazalba (1990) bahwa krisis yang terjadi pada manusia kontemporer terjadi akibat penurunan penghayatan manusia atas hidupnya, dengan kata lain krisis kefilsafatan. Apa hubungannya dengan propaganda-propaganda tersebut ialah tentu dengan sendirinya, hal demikian melangsungkan terjadinya tindakan kesewenang-wenangan yang melahirkan dehumanisasi, atas individu maupun kelompok masyarakat global konkritnya masyarakat keterbelakangan.
Analsis kebangsaan serta keberagaman negara mengalami berbagai pergeseran secara perlahan-lahan. Pretensi-pretensi ini dibuktikan dengan integrasi yang tersintesis antara kebudayaan dan ilmu pengetahuaan yang berimplikasi terhadap state sentralistik ke-Indonesiaan. Kita akan bersepakat apabila kebudayaan ini mengalami kemunduran, ditambah dengan tekanan paradigma keilmuwan kuantitatif positivistik, yang merumuskan kebutuhan masyarakat berdasarkan perhitungan melalui lembaga-lembaga Internasional. Nilai daripada kebudayaan kebangsaan digantikan dengan corak kebutuhan global yang remeh temeh. Ruang-ruang sosial diekspansi oleh laju ekonomi pembangunan—digusurnya wilayah konsensus masyarakat adat yang sakral, lalu diisi dengan program-program pemerintah yang ekstensif yang sejalan dengan selera global—atau economic development.
Para aktivis nasional yang berwatak pemberontak, melakukan banyak konfrontasi, menolak keberpihakan serta intervensi negara berpropaganda besar—Amerika Serikat–atas negara berkembang semisal di Indonesia yaitu PT. freeport, mr Moran, namun menurut hemat penulis para pemberontak tersebut tertekun dalam satu aspek objek penuntutan yang dilakukan tanpa berpacu dari tendensi aspek-aspek lainnya dengan sebaik mungkin. Semisal Indonesia ini dikelilingi oleh orang-orang yang melindungi serta bersahabat dengan lembaga-lembaga Internasional—world bank dan IMF—namun, upaya-upaya untuk mengontrol dan mengawali lembaga tersebut, belumlah dilakukan secara fundamental . Padahal, apabila merjujuk pada mekanisme, sebenarnya propaganda-propaganda besar serta ancaman ekonomi yang melemahkan tersebut, dapat terjadi akibat lembaga-lembaga negara melakukan pembiaran .
Gerakan Sosial dan Pembangunan
Integrasi dialektis antara individu dan kelompok sangatlah dibutuhkan, sebab kedua komponen ini menjadi suatu kekuatan bagi penguatan kemampuan rasionalitas, untuk memecahkan problem melalui tindakan komunikatif yang humanistik. Adapun dinamika pergerakan suatu kelompok tertentu tidaklah proporsional, jikalau, hanyalah berangkat dari kelompok-kelompok tertentu. Bahkan seorang tokoh gerakan di Indonesia Tan Malaka (1925) telah mengatakan gerakan yang perlu dilakukan oleh sekelompok massa adalah gerakan yang ekstensif dan dewasa, bukan gerakan yang bersifat putch. Jika gerakan hanya berdasar pada sekelompok orang-orang tertentu belaka maka gerakan tersebut akan mengalami kemandekan dan ketidakberhasilan bagi aksi massa.
Menelusuri dinamika pada abad ke XXI akan menemukan berbagai penemuan-penemuan besar yang diisi pula dengan propaganda-propaganda yang bersifat hegemonik dan destruktif. Problemtika ini bisa dikatakan sebagai problematika dunia zaman sosial modern. Kesanggupan-kesanggupan kita untuk hidup waras pada abad ini tergantung ikhtiar kita dalam merekonstruksi paradigma holistik dan ketajaman nalar serta intuisi agar menemukan esensi—integrasi yang seimbang namun lebih hakiki jiwa manusia secara primordial—manusia. Sebab, perubahan cara pandang manusia khususnya pada era globalisasi menghardik pemikiran kita untuk berpikir secara universal dan mengikuti prinsip-prinsip pemikiran utuh tersebut.
Pemanfaatan berbagai kemajuan ini telah dilakukan oleh negara-negara besar yang sekaligus menjadi kekhawatiran, sekaligus kegaduhan atas upaya terselubung tersebut dengan melakukan konfrontasi seperti menghakimi masyarakat kelas bawah disuatu negara berkembang. Secara simplisit, despotisisme dapat terjadi melalui pemanfaatan hasil teknologi dan informasi secara surplus tanpa ada filterisasi yang berdampak kepada publik dengan otentik. Menurut Mc Luhan, media telah mentransformasikan masyarakat-masyarakat manusia di dunia menjadi komunitas global tanpa dinding-dinding pembatas lama seperti ideologi, politik, agama, nasionalitas serta batas-batas geografis. Dan menurut Jeand Baudrillard (1988), sekarang ini kita hidup dengan informasi yang berlimpah ruah tapi dengan makna yang semakit kusut, karena kemajuan teknologi dan informasi tersebut tidaklah sebanding dengan kemampuan kita memaknai informasi itu untuk kualitas hidup kita sebagai manusia berpikir.
Bila diterjemahkan ke dalam konteks ini, memang secara definitif, perkembangan hal-hal ikhwal itu disertakan dengan mekanisme yang, telah diatur secara global untuk mencanagkan pemerolehan secara dehumanisasi. Dan distorsi publik melaui propaganda dan tindakan represif bagi ummat manusia.
Memahami arti kata pembangunan menurut beberapa literatur misal dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata pembangunan berarti proses atau cara upaya membangun dari atas, pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah negara berkembang, diturunkan kepada rakyat; dan dapat mewariskan masa depan yang membahagiakan bagi generasi yang akan datang.
Sedangkan, gerakan adalah proses perpindahan suatu benda dari mula ke gerakan yang aktual. Hal demikian mengenai pertentangan antara pemahaman gerak ada yang mengungkapkan bahwa gerak sebenarnya tidak ada. Yang dapat bergerak secara substansial adalah diam itu sendiri. Namun, sebaliknya suatu benda maupun entitas-entitas suatu hal memiliki perubahan gerak tertentu. Pembahasan pandangan menngenai proses gerakan akan dibahas dalam materi-materi selanjutnya.
Apabila kedua kata tersebut disintesakan dengan terma “sosial” maka akan terkonstruk pemaknaan tanggung jawab dan modal sosial untuk memihak kepada yang dirugikan dan dipinggirkan secara sosial. Menurut beberapa tokoh dalam ilmu sosiologi seperti Coleman, Coleman mengatakan modal sosial merupakan upaya membentuk dan menstimulus substansi nilai-nilai bersama yang melampaui individu. Serta sarana untuk menjelaskan bagaimana orang berusaha bekerja sama. Integrasi antara modal sosial dan modal manusia. Secara fundamental sintetis antara sosiologi dengan ekonomi.
*) Penulis adalah mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Karya Dharma Makassar dan pegiat studi Filsafat.