Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Niat sebagai Tombol Aktivasi Proses Kimiawi dalam Tubuh

×

Niat sebagai Tombol Aktivasi Proses Kimiawi dalam Tubuh

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Dalam relung hati ini, saya memiliki ketertarikan pada tema-tema yang berdimensi teknologi, sains, komputerisasi, agama, psikologi, dan spiritual, meskipun untuk mempelajarinya terkesan sedikit berat. Saya tidak memiliki latar belakang akademik terhadapnya yang cukup memadai, kecuali hasil proses belajar otodidak atau tepatnya membaca buku-buku yang relevan. Saya senang menarik garis relasi di antaranya dan berupaya memahaminya secara filosofis.

Saya pun memiliki keyakinan yang berbasis pada pemahaman dasar, meskipun mungkin saja ada yang menilai bersifat subjektif, bahwa proses teknologis atau mekanisme kerja teknologi banyak mendapatkan “inspirasi” atau “metaforma” pada diri manusia. Dan saya mendapatkan penguatan pemahaman dari beberapa pakar psikologi di antaranya Dedy Susanto, bahwa dimensi psikologis secara hierarkis lebih kuat pengaruhnya daripada dimensi fisik.

Dari ketertarikan, pemahaman, dan keyakinan di atas, secara algoritmik memercik inspirasi dalam diri ini, untuk merumuskan dan berniat menyelesaikan tulisan sebagaimana judul di atas. Apalagi, salah satunya dari Andri Hakim, seorang hipnoterapis dan pakar pikiran bawah sadar, mengungkapkan dan bisa diparafrasekan seperti ini, “sesuatu yang tersimpan di alam bawah sadar, maka seringkali memercik secara spontan”. Hal ini yang saya alami termasuk dalam pemilihan judul pada hari kedua bulan Ramadhan 1443 H ini.

Niat dan relasinya dengan reaksi tubuh tanpa kecuali apa yang, saya sebutkan sebagai sebuah proses kimiawi itu adalah sesuatu yang bisa dirasakan, dilihat secara real, dan bisa dibenarkan. Menyimpulkan ini, minimal secara tidak langsung dipengaruhi atas tesis Dedy di atas, dan tanpa kecuali berdasarkan pengalaman empirik yang saya alami sendiri, dan saya yakin pembaca pun pernah mengalami dan merasakannya.

Dalam ajaran Islam, niat memiliki fungsi strategis yang akan menentukan suatu perbuatan bernilai ibadah atau tidak. Selain itu, niat pun akan memengaruhi proses yang akan dialami tanpa kecuali hasil akhirnya. Yusuf Al-Qaradhawi pun menegaskan, “Ikhlas tidak akan terealisasi dalam amal, kecuali dua unsur pokok: pertama, menghadirkan niat dalam beramal tersebut, karena amal itu bergantung pada niat; kedua, memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga menjadi benar-benar ikhlas karena Allah Taala”.

Yusuf Al-Qaradhawi mengutip sejumlah hakikat niat, di antaranya: dari Al-Jauhari, niat adalah kemauan yang teguh; dari Al-Khatththabi, niat adalah kehendak Anda akan sesuatu dengan hati, dan Anda bermaksud akan mencarinya; dan dari Al-Baidhawi, niat adalah terdorongnya hati seseorang ke arah apa yang dipandang cocok dengan keinginan berupa hal-hal yang mendatangkan manfaaat atau menolak bahaya, baik dalam waktu sekarang maupun yang akan datang.

Saya memahami dari Yusuf Al-Qaradhawi niat itu, berupa keinginan yang kuat, dan tempatnya dalam hati. Berdasarkan hasil perenungan dan pembacaan berbagai literatur, saya memahami pula bahwa niat ada yang ditautkan kepada Allah, dan ada pula dengan selain Allah. Dan saya menegaskan niat yang baik adalah ditautkan kepada Allah, tepatnya ridha Allah.

Ada sejumlah ayat yang menegaskan urgensi niat menurut Al-Qur’an.  Di antaranya: QS. Ali-Imran [3]: 152; QS. Ali-Imran [3]: 145; QS. Hud [11]: 15-16; dan QS. Al-Isra [17]: 18-19. Menginterpretasikan ulang dan memparafrasekan pemahaman Yusuf Al-Qaradhawi dari ayat-ayat tersebut, saya bisa memahami bahwa “secara psikologis dari niat seseorang, kita akan mampu memahami balasan dan hasil akhir yang akan didapatkannya.

Adalah Mujiburrahman pernah mengurai secara akademis tentang Fenomenologi Niat Antara al-Ghazali dan al-Sayuthi. Dari Mujibburrahman, saya memahami bahwa persoalan niat selain banyak dibahas dalam tradisi fiqh salah satunya diwakili oleh pandangan al-Sayuthi, termasuk pula dibahasa dalam tasawuf yang diwakili oleh pandangan al-Ghazali. Manusia religius menurut Eliade selalu berusaha hidup dalam tempat, waktu dan tindakan yang sakral, maka niat adalah fondasi dari semua itu. Meskipun demikian, substansi tulisan saya ini,  tidak dalam konteks fiqh dan tasawuf tetapi berada dalam relasi dimensi psikologis dan fisik.

Sebagaimana telah kita pahami dari uraian di atas, salah satunya, bahwa  niat itu adalah dalam hati maka itu berarti berada dalam dimensi psikologis. Jika merujuk cara pandang Dedy yang menegaskan terkait hierarkis antara dimensi psikologi dan fisik, maka bisa disimpulkan bahwa betul niat bisa memengaruhi tubuh dan termasuk reaksi kimiawi dalam tubuh.

Adalah Priatno H. Martokoesoemo dalam buku karyanya Law of Spiritual Attraction: Prinsip Suksesi Beyond LOA, mengutip hasil riset Robert Jahn dari Princeton University dan koleganya Brenda Dunne, yang dilakukannya selama 25 tahun. Kesimpulan dari hasil riset Jahn dan Dunne ini, membuktikan bahwa niat dari pikiran manusia bisa memengaruhi hasil dari pengambilan data secara acak yang dilakukan oleh komputer atau mesin elektronik.

Saya menyimpulkan berdasarkan hasil riset tersebut dan relasi hierarki dimensi psikologi dan fisik dalam diri manusia, bahwa jika mesin elektronik saja yang berada di luar diri manusia dan relasinya tidak bersifat langsung, bisa dipengaruhi apalagi yang ada dalam “wadah” yang sama dan memiliki relasi hierarkis secara langsung.

Tanpa harus menelesuri dan membuktikan lebih mendalam data-data hasil riset Jahn dan Dunne, termasuk mendalami kajian psikologi yang relevan, kita bisa membuktikan secara empiris dan fenomenologis hal tersebut pada bulan Ramadhan ini atau ketika kita sedang berpuasa, bahwa betul niat bisa memengaruhi tubuh atau reaksi kimiawi dalam tubuh. Dan saya yakin pembaca, bisa merasakannya.

Kita akan merasakan lapar pada saat terlambat makan, sebagaimana jadwal biasanya. Namun dalam keadaan menjalankan ibadah puasa, yang tentunya diawali dan key word (kata kunci)-nya adalah “niat”, kita tidak merasakan lapar yang sama seperti dirasakan pada saat sedang tidak berpuasa. Pembeda utama antara orang yang berpuasa dan yang tidak, jika direnungkan itu adalah “niat”.

Ternyata, dan relevan dengan pandangan Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag., niat mampu meng-off-kan sekresi otak, sehingga otak tidak mendapatkan ransangan untuk makan, minum, atau bersenggama. Karena tidak ada ransangan yang masuk, maka bisa dipastikan tidak mengalami stress.

Selain itu, lapar pada saat berpuasa dan tidak berpuasa, reaksi kimiawi yang ditimbulkan dan dirasakan pada tubuh itu berbeda. Pada saat berpuasa, lapas mengakibat suhu tubuh panas, sedangkan lapar biasa mengakibat tubuh terasa dingin. Dr Asep pun menegaskan lapar puasa mengakibat enak tidur, sedangkan lapar biasa mengakibatkan susah tidur.

Saya pribadi merasakan kinerja, semangat atau kemampuan kerja saya bertambah ketika sedang berpuasa. Ini pun bisa membuktikan bahwa niat benar-benar mampu memengaruhi reaksi kimiawi dalma tubuh.

Untuk memperkuat pemahaman atas pengaruh dan urgensi niat terhadap reaksi kimiawi dalam tubuh, memiliki relevansi dengan pemahaman mekanisme on-off DNA. Dari dua buku yang membahas tentang DNA yang saya miliki: satu karya Kazuo Murakami, Ph.D, dan yang satunya lagi karya Thomas L. Harrison dan Mary H.Frakes. Dari kedua buku ini, salah satu substansi yang saya pahami: Pertama,  apa pun yang tidak tertulis dalam DNA, maka tubuh tidak akan mampu melakukannya.

Kedua, DNA memiliki mekanisme on-off . Sesuatu yang bersifat “informasi” atau “data” dalam diri manusia dan bisa memengaruhi tubuh, bisa diaktifkan dan dinonaktifkan. Dan ternyata mekanisme on-off ini, salah satunya adalah pikiran, dan tentunya termasuk niat. Karena apa yang dimaknai sebagai niat dan pikiran, berada dalam area yang sama.

Dari kajian sederhana ini pun, saya semakin meyakinan dan memantapkan pemahaman bahwa yang dimaksud “niat” itu bukan sesuatu yang dilafazkan secara lisan. Saya menyadari bahwa tulisan ini belum komprehensif mengungkap substansi dan termasuk berdasarkan harapan sendiri, terkait niat yang bisa menjadi tombol aktivasi reaksi kimiawi dalam tubuh. Dan terma “tombol” dalam tulisan ini mengandung makna analogis dan konotatif yang secara fungsional tersedia untuk mengaktivasi dan/atau mengaktifkan sesuatu.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply