Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipNasionalOpiniPendidikan

Omong Kosong dan Gerakan Mahasiswa

×

Omong Kosong dan Gerakan Mahasiswa

Share this article
                                 Sumber : www.berdikasrionline.com

Oleh : Bahrum Pena

(Mahasiswa Tingkat Akhir Universitas Muhammadiyah Parepare)

 

Peribahasa atau mungkin lebih tepatnya kata-kata motivasi yang sering kita dengakrkan ialah “buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, kalau ada masalah pada batang atau buahnya coba cari akarnya”. Banyak kesenjangan yang terjadi, kesengsaraan, tirani dan fenomena-fenomena ketidakadilan yang lainnya, seperti korupsi, penyelewengan, perampasan hak warga yang aktor utamanya ialah para pejabat-pejabat birokrasi pemerintahan, dan bagi saya hal tersebut sedikit banyaknya punya kaitan dengan pengalaman-pengalaman pejabat tersebut saat masih menjadi mahasiswa.

Faktanya di lapangan, orang-orang yang sekarang menduduki kursi pemerintahan adalah orang-orang yang dulu merupakan seorang organisatoris, atau dia pernah aktif di lembaga mahasiswa, mengenyam asam garam dunia kampus atau istilah kekinian dan kerennya ialah “aktivis”. Jadi kalau banyak yang korup hari ini mungkin saja mungkin…….., ada yang salah ketika dia bermahasiswa, ada yang tak beres ketika dia berlembaga.

Melihat penyakit sosial yang menjangkiti sebagian besar aktivis mahasiswa maupun para intelektual, telah menjadi duri tersendiri dalam kesucian sebuah perjuangan. Ya mungkin saja penyakit itu hadir ketika seseorang punya hasrat terhadap kekuasaan dan berusaha meraihnya seperti kata Nietzsche, semua orang punya “the will to power” atau hasrat kuasa yang terkadang tidak mempedulikan lagi etos kejuangan kolektif dan tujuan suci organisasi. Dan juga banyak perjuangan yang sampai hari ini berhenti di persimpangan jalan, karena kita sering menemukan anomali-anomali gerakan serta inkonsistensi perkaderan di setiap perjalanan panjang sebuah lembaga mahasiswa

Realitas kemahasiswaan yang saya masih saya persaksikan hingga saat ini, pertama di forum-forum perkaderan dan kajian serta ruang-ruang diskusi, kita sering mendengar dan selalu disampaiakan, bahwa kita punya kemandirian berfikir dan kemampuan analisa tersendiri atau dalam bahasa Kantian “sapare Aunde” dan gunakanlah itu, kita diberi pilihan menentukan sikap kita sendiri di segala lini dan tentunya dengan kecenderungan belajar yang beragam, organisasi apa yang akan ditempati berkarir, maupun pilihan politik kita sendiri.

Namun pada realitanya ternyata tidak demikian, banyak oknum senior yang mendoktrin adik angkatnya untuk mengikuti apa pun instruksi seniornya atas nama pembelajaran dan proses kaderisasi, walaupun itu sudah berbelok haluan dan tidak sesuai dengan visi- misi lembaga, apalagi jika hanya tidak sejalan dengan keinginan sang junior. Tapi apa mau dikata, atas penghargaan terhadap senior dan mengikuti proses belajar dia harus tunduk dan patuh. Bukan kah kita selalu diajarkan kemandirian berpikir mengambil keputusan sendiri tapi kenyataannya, ada bangunan dinasti politik yang mengakar dalam kultur berorganisasi di kampus, bukankah itu sebuah inkonsistensi perkaderan??

Fenomena berikutnya ialah di lembaga mahasiswa ialah, kita diajarkan untuk menegakkan keadilan dan hukum diatas segalanya, membela kepentingan orang bawah, dan memerangi korupsi, tapi realitas membuktikan, banyak mahasiswa yang secara sadar melanggar hukum, bukan saja diluar tapi juga di internalnya, sering terjadi pelanggaran AD/ART yang menjadi konstitusi organisasi. Yah lagi-lagi konstitusi sekedar omong kosong belaka

Di jalan-jalan dengan lantang bersuara menggunakan megaphone sembari memblokir jalan, bakar ban yang terminologi mereka biasa dikenal dengan parlemen jalanan. Mereka menyuarakan perlawanan terhadap korupsi tapi siapa yang tau dan bisa pastikan apa yang terjadi ketika mereka berurusan dengan proposal kegiatan yang bernilai jutaaan bahkan puluhan juta yang mereka sambangi ke birokrasi dan pimpinan kampus.

Kenyataan yang lain dipertontonkan ke kita bahwa, mahasiswa selalu mengatasnamakan rakyat, sepertinya telinga kita sudah geli mendengar slogan-slogan “atas nama rakyat, demi kaum tertindas sampai bahasa yang lebih canggih sedikit “vox vopule vox dae” tapi pada realitasnya setiap aktivisnya jarang yang bersentuhan langsung dengan denyut nadi kaum bawah justru dia menjadi ancaman bagi mereka, contoh sederhana ialah dengan demo dijalan meneriakkan atas nama rakyat tapi disisi lain mematikan sendi perekonomian rakyat.

Di dalam forum perkaderan, berjibaku materi tentang kebenaran dan perlunya memerangi segala bentuk kejahatan sebagai negasi terhadap memperjuankan agenda suci kebenaran, tapi perilakunya dalam keseharian jauh panggang dari api, di sana sini keliling ceramah menyampaikan bahwa sesama manusia tidak boleh saling mendzalimi dan menyakiti, karena pada dasarnya manusia adalah kesatuan tapi kesehariannnya justru sering mendzalimi orang, bahkan teman sendiri.

Dari warkop yang satu ke warkop yang lain khotbah bahwa jangan berlaku curang sesama manusia, tapi justru kecurangan menjadi santapan sehari-harinya, yang telak menjadi korbannya tidak jauh-jauh, juniornya sendiri. Di depan junior-juniornya, seniornya ataupun dosen memasang wibawa intelek dan sok suci. Lidahnya yang begitu lihai memainkan setiap inchi kalimat-kalimat retoris, memaksa psikologi orang yang mendengarnya berdecak kagum apalagi kalau junior yang mendengar itu, tapi aneh bin ajaiab semua itu berubah saat dia kembali ke kosnya, 180 derajat tidak sesuai dengan apa yang dia sampaikan.

Dan masih sangat banyak inkostensi gerakan lainnya yang sangat jauh dari khittanya yang mewabah di kaum “agent of change” ini, ya… semuanya omong kosong yang di lumuri retorika semu nan melangit belaka. Yang saya mau bilang bahwa kita masih jauh dan sangat jauh, jauh sekali dari apa yang kita impikan di forum-forum perkaderan, ruang-ruang kajian dan wadah diskursus selama ini.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply