Oleh: Agusliadi*
KHITTAH.OPINI– Menjadi bangsa dan negara yang tangguh, Indonesia sangat potensial. Ditinjau dari aspek geografis, demografis dan potensi lainnya, baik sumber daya alam, termasuk yang dalam pandangan John Gardner, disebutnya sesuatu yang memiliki dimensi moral. Dan yang oleh Soekarno, menyebutnya sebagai “konsepsi” dan “idealitas”, Indonesia memiliki semua itu. Menjadi tangguh bukan sesuatu yang imposible. Potensi yang ada, sesungguhnya bisa menjadikan yang impossible menjadi possible.
Yang paling urgen dan memiliki implikasi serta signifikansi paling tinggi dan kuat, adalah yang disebut sebagai “moralitas” bagi John Gardner dan “konsepsi dan idealitas” bagi Soekarno. John Gardner (dalam Yudi Latif: 2012) menegaskan, “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”.
Soekarno (dalam Yudi Latif: 2020) menegaskan, “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan konsepsi dan cita (ideal). Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita ideal itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu dalam bahaya”.
Saya memahami, dan yakin pembaca pun demikian, bahwa sesuatu yang mengandung moralitas dan dipandang sebagai konsepsi serta idealitas dalam atmosfir kehidupan Indonesia sebagai nation-state adalah Pancasila. Pancasila adalah sebuah konsepsi dan mengandung moralitas. Pancasila adalah jawaban dari apa yang menjadi pandangan John Gardner dan Soekarno.
Memandang perspektif practical knowledge (pengetahuan kehidupan) M. Husni Muadz. Agama, moral, politik, ekonomi dan lain-lain menjadi bagian di dalamnya. Dari perspektif M. Husni ini, telah tepat jika saya pun menilai bahwa Pancasila adalah bagian daripadai practical knowledge.
Pancasila sebagai practical knowledge (pengetahuan kehidupan) memiliki dua dimensi: teoritis dan praksis. Fase “perumusan”, “pembuahan” dan “pengesahan” Pancasila tentunya sarat dengan dimensi teoritis tersebut. Pasca fase “pengesahan” sampai hari ini, dimensi teoritis Pancasila tetap ada dan wajib selalu (tetap) ada mengiringi perjalanan bangsa menuju atau dalam rangka mencapai ketangguhannya.
Pancasila sebagai meja statis dan sekaligus leitstar dinamis yang diperas dari pemahaman philosofische grondslag dan Weltanschauung. Pancasila sebagai ideologi, falsafah bangsa dan dasar negara. Dimensi fungsional dan positioning Pancasila ini, sesungguhnya mengandung dimensi teoritis dan sekaligus praksis.
Jika meminjam perspektif M Husni (2017) bisa dipandang bahwa penetapan tema hari jadi Pancasila tahun 2021, “Pancasila dalam Tindakan: Bersatu untuk Indonesia Tangguh”, dan frasa “Pancasila dalam Tindakan” seakan membenarkan perspektifnya. M. Husni, mengeritik bahwa dimensi praktek, praksis atau tindakan kurang mendapatkan porsi perhatian yang besar atau belum terancang secara sungguh-sungguh dan bahkan diserahkan menjadi tanggung jawab individu masing-masing.
Dalam ilustrasi sederhana, bisa jadi Pancasila sebagai konsepsi, teori, pengetahuan sudah cukup matang, tetapi sebagai sebuah yang berdimensi praksis atau tindakan masih sangat rendah. Dan dipandang perlu penegasan bahwa sangat urgen sebuah cara pandang “Pancasila dalam Tindakan” dan harus dilakukan secara “bersatu”. Fokus pada “tindakan” dan “bersatu” sangat relevan dengan perspektif M. Husni.
Oleh M. Husni dan common sense, pandangan masyarakat pada umumnya, memandang dan membangun sebuah hal dikotomis dan bahkan seringkali terbentuk sebuah garis oposisi biner antara dimensi teoritis dan praksis. Pancasila sebagai bagian daripada—yang dipandang—practical knowledge sepertinya dalam teropong saya mengalami hal yang sama, terbentuk garis oposisi biner antara dimensi teoritis dan praksisnya. Dan masing-masing berada pada pendulum ekstrem.
Oposisi biner dari dua dimensi ini, tentunya memberikan dampak yang kurang pas untuk menjadi modal bagi bangsa dan negara Indonesia untuk merubah sesuatu yang impossible menjadi possible. Bagaimana menjadikan Indonesia menjadi bangsa dan negara yang tangguh, masih berjalan pincang.
Bagi yang fokus pada dimensi teoritis, hanya memahami Pancasila sebagai sebuah diskursus semata dan kurang memberikan pengaruh pada dimensi praksis. Pemahamannya tidak mampu menjadi solusi dalam realitas empirik. Atau Pancasila hanya menjadi teks-teks menarik dibalik syarat formal menduduki jabatan. Dan lebih banyak hanya sekedar bahan hafalan atau menjadi “rukun” wajib bagi setiap pelaksanaan upacara.
Dan bagi yang fokus pada dimensi praksis dan kurang peduli pada dimensi teoritis, menampilkan laku Pancasila yang kurang pas, kaku dan tidak mampu menggerakkan kehidupan yang bermuara pada pencapaian Indonesia yang tangguh.
Kekeliruan ini, berawal dari dikotomis antara dua dimensi tersebut—meskipun bukan hanya faktor dikotomisnya—bisa ditemukan titik temunya yang menjadi pemantik kesadaran yang kuat. Titik temu yang dimaksud adalah dengan memahami perspektif Paulo Freire dan Hannah Arendt.
Sebelum saya menjelaskan lebih dalam tentang perspektif Freire dan Arendt, saya berharap semoga yang merumuskan tema “hari jadi Pancasila Tahun 2021 ini” dan yang menetapkannya pun tidak terjebak seperti apa yang digambarkan oleh M. Husni. Dan lebih fatal jika terma “tindakan” dimaknai hanya sebatas “kerja”, “kerja” dan “kerja”.
Yang saya pahami dari Mansour Fakih begitu pun dari diskusi ringan saya dengan Hadi Saputra (Sosiolog Unismuh Makassar), bahwa apa yang dimaknai sebagai tindakan bagi Freire menyebutnya “praksisme”. Sebagaimana bisa dipahami dalam buku “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis” karya Mansour Fakih, dkk ditegaskan bahwa praxis (atau Praksisme) adalah “manunggal karsa, kata dan karya”. Hadi Saputra menyederhakan menjadi “perpaduan gagasan/visi dan aksi”.
Hal ini disimpulkan karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Dan praksis dalam hal ini, tindakan tidak memisahkan ketiga fungsi atau aspek tersebut. Yang dihindari “pendewaan” atau “pendulum ekstrem” antara berlebihan pada kerja atau berlebihan pada dimensi berpikir”. Metodologi pendidikan kaum tertindasnya Freire memadukan kedua hal itu membentuk sebuah kesatuan yang utuh dan berlangsung secara terus menerus, membentuk garis lingkaran utuh antara bertindak dan berpikir, sehingga tidak terpisah.
Ini menjadi penting, untuk menghindari kesalah-pahaman tentang “Pancasila dalam tindakan” dimaknai menjadi “Pancasila dalam kerja, kerja dan kerja”. Yang harus dibedakan secara filosofis dan paradigmatik adalah “labour berarti kerja”, “work berarti karya” dan “action berarti tindakan”. Jika di depannya dilekatkan term “man” maka bisa menjadi “man of labour”, “man of work” dan “man of action”. Man of action sering kali dimaknai dangkal sebagai manusia pekerja atau berkarya yang bersifat material semata. Ini sebuah kekeliruan yang fatal.
Dalam diskusi ringan saya dengan Hadi Saputra, menegaskan bahwa bagi Arendt tindakan itu dimaknai sebagai puncak kemampuan menerjemahkan pikiran manusia. Begitu pun setelah saya membaca artikel ilmiah Astrid Veranita Indah (Mahasiswa Program Doktor Filsafat, Universitas Gajah Mada) yang melandaskan teorinya pada “filsafat tindakan Hannah Arendt”, saya menemukan kesimpulan sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Saputra.
Secara sederhana, saya mengilustrasikan bahwa tindakan bukanlah kerja (labour) dan karya (work) semata—sebagaimana yang disalah pahami selama ini oleh publik—tetapi berawal dan merupakan keterpaduan dari teori, pengetahuan yang dipahami secara mendalam bahkan kaitan atau relasinya dengan berbagai pengetahuan lainnya, interdisiplin, multidisiplin dan transdisiplin, untuk selanjutnya pemahaman mendalam tersebut terimplementasi dalam realitas empirik untuk memberikan implikasi besar dalam setiap perubahan kehidupan.
Jadi tindakan sedangkal dan dimaknai sebagai kerja, kerja, dan kerja meskipun berlandaskan Pancasila. Pancasila dalam tindakan bermakna bahwa Pancasila harus dipahami secara mendalam, mulai dari fase “pembuahan”, “perumusan” dan “pengesahan”. Begitu pun bagi saya dan kita umat Islam, bagaimana relasi antara Pancasila dan agama Islam.
Hakikat Pancasila adalah keberagaman, Pancasila lahir dari genius nusantara termasuk mendapatkan nafas dari nilai-nilai Islam, apatah lagi kelompok Islam memiliki peran besar dalam perumusannya tersebut. Pancasila—jika merujuk pada Yudi Latief—merupakan hasil “endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang tersimpan di laci ingatan para pendiri bangsa”.
Pancasila dalam tindakan dan kita harus bersatu mewujudkan dan mengimplementasikannya agar bermuara pada Indonesia tangguh harus berangkat dari pemahaman mendalam tersebut untuk selanjutnya terimplementasi dalam realitas sosial. Bagaimana cara memahaminya secara sederhana?
Pancasila dalam tindakan, harus mampu terwujud dengan (bagaimana) anak bangsa, tidak anti atas perbedaan, plularitas yang ada, karena sesungguhnya Pancasila yang diperas dari genius nusantara, secara filosofis memiliki kemampuan menerima realitas berbeda (plural) dan menumbuhkan semuanya sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial yang ada.
Pancasila dalam tindakan, harus memantik dan mendorong jenis perbuatan, termasuk perencanaan, dan sampai pengambilan kebijakan dalam tata kelola negara, bahwa segalanya harus sesuai nafas agama, dimensi ilahiah. Indonesia meskipun bukan negara agama tetapi bukan juga negara sekuler, Indonesia memiliki nafas religiusitas dan spiritualistik. Ini saja, jika disadari, terutama oleh penyelenggara negara, maka tidak akan pernah lagi melakukan korupsi, yang tidak sesuaui nafas agama, dimensi ilahiah dan merusak bangsa dan negara.
Jika dipahami secara baik fase “perumusan” Pancasila, awalnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” berada dalam posisi penutup, sila kelima dan akhirnya disepakati diubah menjadi sila pertama, posisi pembuka. Dari sini menegaskan bahwa bangsa, para founding fathers sangat menyadari bahwa fundamen moral (agama) harus menjadi dasar atau landasan utama dari fundamen kemanusiaan, politik dan kebangsaan.
Kesadaran ilahian ini pula dipertegas dalam pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat frasa “atas berkat dan rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Founding fathers menyadari dan anak bangsa pun harus memiliki kesadaran yang sama, bahwa kemerdekaan Indonesia, bukan semata ikhtiar penuh manusia, tetapi ada kekuatan ilahiah di dalamnya. Agama pun mengajarkan perbedaan adalah rahmat dan realitas yang plural adalah sebuah keniscayaan, takdir ilahi atau sesuatu yang taken for granted.
Pancasila dalam tindakan, dan agar Indonesia menjadi tangguh, maka syarat utama persatuan Indonesia harus terbangun yang lahir dari kohesivitas sosial, intrapersonal relation dan interdependen tanpa dominasi. Untuk yang ini bisa dibaca dalam tulisan saya hari ke-29 Ramadhan. Selain persatuan jika Indonesia ingin menjadi tangguh, sila “Keadilan Sosial” harus nyata dalam realitas empirik dari berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila dalam tindakan, akan bisa terwujud dengan baik, jika kita pun mampu memahami Pancasila secara ideologis. Pemahaman secara ideologis di dalamnya sarat dan mengsyaratkan tiga hal; pedoman dan pemahaman mendalam, pemahaman atas pedoman tersebut menjadi alat interpretasi realitas yang ada, dan sekaligus mengandung petunjuk teknis tindakan atas pedoman dan hasil pembacaan realitas tersebut. Hal ini saya interpretasi ulang dari pemahaman ideologis Yudi Latif.
Kita seringkali masih keliru membaca realitas yang ada dan tidak menggunakan kacamata Pancasila. Dari kekeliruan ini, maka kesimpulan dan langkah yang diambil juga akan keliru dan tidak sesuai Pancasila. Ketika Indonesia, mengalami kelumpuhan dan kepincangan dalam melangkah, serta merta ada kelompok tertentu berupaya menggerogoti dan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi, karena dipandang tidak sesuai. Ini satu contoh nyata kekeliruan, karena Pancasila tidak dipahami secara ideologis.
Kami pun para penyelenggara Pemilu, jika saya merujuk pada Surat Edaran KPU RI Nomor 8 Tahun 2021 tentang “Peringatan Hari Lahir Pancasila Tahun 2021”, mendapatkan satu kenangan peristiwan mendalam dari para founding fathers. Bahwa betapa dimensi “demokratis” nampak mengawali dan mengiringi perjalanan sejarah menuju kemerdekaan.
Dan tentunya bagi kami ini harus menjadi best practice, yang harus diwujudkan dalam setiap perhelatan demokrasi. Dan termasuk spirit ini (kehidupan demokratis) salah satunya yang akan kami dorong melalui program Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3). Kami sedang berupaya mewujudkan “Pancasila dalam tindakan” sesuai tugas, fungsi dan wewenang kami sebagai penyelenggara Pemilu.
Saya menyadari banyak hal yang belum bisa saya uraikan melalui tulisan ini, karena keterbasan ruang, namun yang ingin saya tegaskan bahwa “Pancasila dalam tindakan” jangan dimaknai hanya sebagai kerja, kerja dan kerja. Jika ini yang terjadi itu kekeliruan yang sangat fatal. Tetapi harus berangkat dari pemahaman yang mendalam.
*Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.