Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pancasila dan Islam Berkemajuan: ”Tombol Off” Lonceng Kematian Toleransi

×

Pancasila dan Islam Berkemajuan: ”Tombol Off” Lonceng Kematian Toleransi

Share this article
Ilustrasi/ahtenane.com

Khittah.co— Fajar Riza Ul Haq pada bagian tulisannya “Gerakan Sub-Altern” dalam buku karyanya Membela Islam Membela Kemanusiaan (2017: 249) mengungkapkan pesimisme Michael Foucault: Side dark effect dari modernisme telah mengubur kebebasan otonomi manusia (the end of man). Fajar Riza menambahkan “lenyapnya penghargaan terhadap keragaman historisitas, agama, ideologi, politik, dan kreativitas lokal menandai denting lonceng kematian toleransi.

Apa yang ditemukan oleh Fajar Riza dalam meneropong kehidupan globalisasi, ia menyebutnya fenomena paradocs-chaotic. Kondisi ini─jika kita mau jujur─berdasarkan fakta-fakta yang disaksikan langsung, juga menjadi spectrum, mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Jika kita membaca data-data yang disampaikan oleh Abdul Mu’ti dalam materi “Pidato Pengukuhan Guru Besar”-nya (2020), begitupun fakta-fakta empiris yang disampaikan oleh Ahmad Najib Burhani melalui materi “Orasi Pengukuhan Professor Riset”-nya (2020), saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya sedang menandai pula “denting lonceng kematian toleransi”.

Denting lonceng kematian toleransi tersebut, jika dibiarkan, tidak segera mengambil langkah serius dan strategis maka semakin lama akan semakin memancarkan gelombang “bunyi intoleransi” dengan gema bunyi bisa berwujud “radikalisme”, “ekstrimisme” dan bahkan bisa sampai “terorisme”. Namun sesungguhnya gema bunyi ini, sudah nyaring pun di telinga kita sebagai anak bangsa. Dan tentunya saya sendiri, mengharapkan untuk aktornya tidak selalu distigmatisasi dengan umat Islam.

Fajar Riza─yang dikenal sebagai pembicara Global Counter Terrorism Forum’s Practisioners Workshop di Washington (2013) ─ pun menarik sebuah tesis “…prasyarat (prerequisite) tegaknya sebuah tatanan demokratis adalah tumbuh kembagnya semangat toleransi. Karena keduanya merupakan saudara kembar dari simbol kebebasan (freedom’s twin).

Toleransi─sebagaimana dalam Kamus Ilmiah Populer (Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry, 1994:752)─adalah sifat dan sikap menghargai. Adalah Abdul Mu’ti menjelaskan “Toleransi berarti menyadari adanya perbedaan, memahami sebab terjadinya perbedaan, memberi kesempatan pihak lain untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinan, dan─dalam batas tertentu─memfasilitasi, melindungi, serta menjamin keamanan”.

Denting lonceng kematian toleransi berarti intoleransi menjadi alamat menuju kehancuran bangsa dan negara, apalagi Indonesia sebagai bangsa yang─dalam pandangan Mohd Sabri (Pengurus BPIP RI)─intinya adalah kebelbagaian, majemuk, dinamik dan sangat serba aneka. Dalam pandangan Abdul Mu’ti, pluralitas adalah realitas. Manusia berbeda secara basyariah (fisik), syuubiyah (suku bangsa), dan diniyyah (agama).

Pluralitas atau kemajemukan─yang oleh Abdul Mu’ti disejajarkan dengan tanawwu, ikhtilaf, taaddud─adalah takdir dan sunnatullah: sesuatu yang terjadi sesuai kehendak dan hukum Allah. Sebagaimana dikutip oleh Abdul Mu’ti dari Qardhawi (1995), Dagaq (2013), dan Khalil (2011) menegaskan bahwa pluralitas adalah sebuah keniscayaan yang disebabkn oleh faktor-faktor alamiah, ilmiah dan amaliah.

Pluralitas sebagai sebuah realitas, takdir, keniscayaan bahkan sunnatullah terutama dalam konteks kehidupan Indonesia sebagai nation-state maka membunyikan lonceng kematian toleransi sama saja─jika meminjam istilah Mohd. Sabri─anti ilahi karena itu adalah by. design Ilahi atau taken for granted.

Betulkah lonceng kematian toleransi itu sedang dibunyikan?. Atau intolernasi sedang menggema?. Melalui materi “Pidato Pengukuhan Guru Besar”-nya, Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa “yang mendapat sorotan tajam adalah intoleransi keagamaan. Banyak pihak sangat khawatir dengan meningkatnya intolernasi keagamaan di dunia, termasuk di Indonesia”.

“Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap pelajar dan mahasiswa menunjukkan gejala tingginya intoleransi (PPIM-UNDP, 2018). Survei menemukan 58,15 persen pelajar dan mahasiswa cenderung berpandangan radikal, 51,1 persen intoleran terhadap mereka yang seagama” (Abdul Mu’ti, 2020: 6).

Apa yang disebut “dilema minoritas” sebagai salah satu tesis utama yang disampaikan oleh Ahmad Najib Burhani─melalui Orasi Pengukuhan Professor Riset-nya─lengkap dengan fakta-fakta empirisnya, sebagaimana saya pahami dari materi orasi tersebut, sesungguhnya berakar dari problema kultur (in)toleransi.

Sebagai anak bangsa, apakah kita rela “lonceng kematian toleransi” terus berdenting?. Dan yakin saja jika ini dibiarkan secara terus menerus maka kelak gema bunyi “radikalisme”, “ekstrimisme” bahkan “terorisme” akan semakin nyaring bahkan bising di telinga. Dan bukan hanya itu, tetapi akan perih di mata dan menimbulkan duka nestapa bagi “ibu pertiwi” Indonesia.

Sesungguhnya Allah mengharapkan manusia senantiasa bersikap optimis. Salah satunya bisa dibaca melalui QS. Az Zumar ayat 53. Lonceng Kematian Toleransi, dengan terma “lonceng” di dalamnya baik yang dipersepsikan sebagai lonceng konvensional atau pun dipersepsikan sebagai lonceng modern, menggunakan teknologi super canggih ─ dengan sikap dan spirit optimism ─ kita bisa membuat suatu “tombol off”. Dan tombol ini harus segera ditekan agar lonceng kematian toleransi, tidak lagi berdenting.

Menghentikan denting lonceng kematian toleransi yang saya persepsikan dan analogikan sebagai “tombol off” adalah “Pancasila” dan “Islam Berkemajuan”. Menekan tombol off secara analogis adalah deskripsi atau diksi lain dari memahami Pancasila dan Islam Berkemajuan secara filosofis,

Inti Pancasila─jika meminjam perspektif Mohd. Sabri─adalah kebhinekaan. Tidak menerima perbedaan apapun alasannya─dalam pengertian disertai sikap dan tindakan yang kurang etis dan merugikan pihak lain─, sesungguhnya anti Pancasila, Berbeda, jika sikap terhadap perbedaan itu hanya sebatas tidak setuju/sepakat/menerima, itu adalah persoalan lain dan tentunya manusiawi.

Pancasila adalah jenius nusantara, yang jika memahami perspektif para Founding Fathers secara substansial memiliki kemampuan menyerap, membersihkan dan menumbuhkan. Sehingga jika pancasila yang saya persepsikan sebagai “tombol” disentuh (baca: dipahami) maka sesungguhnya memiliki modal sosial untuk mampu menampung/menerima segala keragaman yang ada. Tanpa kecuali keragaman agama dan ideologi.

Indonesia sebagai negara demokrasi dalam perspektif Pancasila, memandang kebebasan bukan hanya berdasarkan HAM─yang dalam pemahaman Mohd. Sabri, fokus pada persoalan hukum─tetapi terutama berdasarkan human dignity (martabat kemanusiaan). Pancasila juga termasuk kode─yang dalam tradisi semiotika─adalah sesuatu yang lahir, ditentukan dan ditetapkan karena narasi –narasi biasa tidak mampu mengungkapkan realitas yang sebenarnya.

Di balik Pancasila sebagai kode terdapat sejumlah narasi dan realitas yang tak tercakapkan. Di balik Pancasila sebagai rumusan dan nilai mengandung apa yang disebut sebagai meja statis dan leitstar dinamis. Pancasila merupakan dasar negara, falsafah hidup bangsa dan ideologi negara, yang idealnya menjadi kiblat bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika Pancasila dipahami secara mendalam dengan penuh kesadaran─apalagi sebagaimana pemahaman Soekarno sebagai ideologi Par Excellence─maka tidak satu pun ideologi lain yang berupaya dan mampu menggerogotinya. Apalagi tidak akan ada anak bangsa yang mau dan/atau menjadi pengasong ideologi lain: kapitalisme liberal, trans komunisme, Islamisme (termasuk Populisme Islamis sebagai bentuk merebaknya Islamisme) yang berupaya menggantikan Pancasila sebagai meja statis yang di atasnya bangunan keindonesiaan didirikan.

Di atas saya menyebut terma “Islamisme”, pembaca─berdasarkan pemahaman Bassam Tibi (2016)─perlu mengetahui bahwa ada perbedaan substansial yang mendasar antara “Islam” sebagai keyakin dan “Islamisme” sebagai politik keagamaan.

Selain Pancasila, umat Islam─meskipun ini terkesan lebih kental dengan Muhammadiyah─adalah “Islam Berkemajuan”. Islam Berkemajuan sebagaimana yang saya persepsikan sebagai “tombol off” mampu menghentikan denting lonceng kematian toleransi.

Mengapa dengan Islam Berkemajuan?, mengapa dengan model keislaman lain?. Mengapa bukan dengan Islam Nusantara?, Alasan utama yang tepat khusus untuk pribadi saya adalah karena pemahaman saya lebih dalam terhadap Islam Berkemajuan. Namun selain itu ada banyak tawaran perspektif yang lahir dari paradigma Islam Berkemajuan yang memiliki relevansi dan memiliki korelasi positif dengan Pancasila sebagai meja statis dan leitstar dinamis. Hal itu salah satunya bisa dibaca dalam tulisan Dar al-’Ahd Wa Al-Shahadah: Upaya dan Tantangan Muhammadiyah Merawat Kebinekaan Hasnan Bachtiar (Jurnal Maarif, Vol. 14 No. 1-Juni 2019: 67-101.

Dari tulisan Hasnan Bachtiar, saya memahami bahwa Muhammadiyah dengan paradigma “Islam Berkemajuan”-nya, telah menawarkan sebuah konsep Dar al-‘Ahd wa al-Shahadah (negara perjanjian dan persaksian).

Konsep ini merupakan elaborasi antara doktrin Siyar – hukum perang dan hubungan internasional dalam tradisi Islam – dan Pancasila yang bertujuan: memberikan pedoman bagi para aktivis Muhammadiyah mengenai hubungan negara dan organisasi, sebagai fondasi pertahanan ideologis, sebagai alat harmonisasi politik, dan manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme”.

Selain itu─masih berdasarkan padangan Hasnan Bachtiar yang saya pahami─Islam Berkemajuan adalah Islam yang “…mengedepankan cinta, welas asih, perdamaian, toleransi, persaudaraan, nir kekerasan dan berorientasi pembangunan peradabaan kemanusiaan yang luhur. Islam Berkemajuan dalam merespon Populisme Islamis, tetap memandang dan memperjuangkan nilai-nilai keadailan dan kesejahteraan, tetapi tidak sependapat dengan upaya mengkapitalisasi agama untuk kepentingan politik praktis, terlebih yang termanifestasikan dalam aksi politik yang menonjolkan identitas Islamisme yang formalistik.

Minimal dengan perspektif tentang Pancasila dan Islam Berkemajuan di atas, mampu menjadi “tombol off” denting lonceng kematian toleransi. Agar gelombang bunyi intoleransi tidak lagi merambat apalagi menghasilkan gema “radikalisme”, “ekstrimisme” dan “terorisme”. Baik Pancasila maupun Islam Berkemajuan menjadi modal sosial menuju Indonesia yang berkemajuan.

Penulis: Agusliadi, Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Sekarang sebagai Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply