Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pancasila, Muhammadiyah, dan Matematika: Menyulam Nalar, Moral, dan Masa Depan Bangsa

×

Pancasila, Muhammadiyah, dan Matematika: Menyulam Nalar, Moral, dan Masa Depan Bangsa

Share this article

 

Oleh: Dr. Kiki Henra, M.Pd

KHITTAH. CO – Tanggal 1 Juni setiap tahun diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, menandai pidato historis Soekarno pada tahun 1945 yang menggali dan menggagas dasar negara Indonesia: Pancasila. Namun, sejarah lahirnya Pancasila bukanlah kisah tunggal satu tokoh, melainkan hasil dialektika kolektif yang mencerminkan dinamika kebangsaan, keagamaan, dan kecendekiaan bangsa ini. Dalam mozaik sejarah tersebut, Muhammadiyah memainkan peran yang tidak bisa diabaikan.

Tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo bukan hanya menjadi bagian dari BPUPKI, tetapi juga memiliki kontribusi pemikiran yang sangat penting dalam memperjuangkan nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan dalam sila pertama. Bagi Ki Bagus, ketuhanan bukan semata persoalan dogmatis, tetapi sumber etika sosial dan pijakan moral dalam membangun bangsa. Perjuangan beliau menjadi bukti bahwa Pancasila lahir dari sintesis nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan. Selain Soekarno dan Ki Bagus, terdapat pula tokoh-tokoh lainnya seperti Mohammad Yamin dan Soepomo yang menandai proses perumusan Pancasila sebagai hasil perdebatan serius lintas ideologi.

Muhammadiyah sejak awal abad ke-20 telah menjadi kekuatan pembaru dalam masyarakat Indonesia. Sebagai organisasi Islam modern, Muhammadiyah memperjuangkan integrasi antara iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan sehari-hari. Spirit inilah yang sejalan dengan lima sila Pancasila yang menuntut keseimbangan antara moralitas, kemanusiaan, demokrasi, keadilan, dan persatuan.

Sebagai gerakan Islam yang mengusung misi tajdid, Muhammadiyah telah membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila bisa dijalankan tanpa harus melalui jargon kosong. Berbagai lembaga pendidikan, layanan sosial, hingga unit usaha strategis di bidang transportasi, ritel, energi, dan teknologi, semuanya adalah bentuk nyata pengamalan Pancasila secara praksis.

Pancasila bukan hanya teks di dinding kelas atau pelajaran dalam mata kuliah kewarganegaraan. Ia harus dihidupkan dalam tindakan, pelayanan, dan kontribusi nyata terhadap kemaslahatan umat dan bangsa. Di sinilah peran Muhammadiyah sangat relevanmenjadi gerakan yang menjaga idealisme sambil terus bekerja nyata untuk bangsa.

Pendidikan Tinggi dan Tanggung Jawab Intelektual

Dalam era yang ditandai oleh disrupsi teknologi, krisis epistemologi, dan informasi yang membanjir namun minim kedalaman, peran pendidikan tinggi menjadi sangat strategis. Kampus tidak cukup hanya mencetak sarjana dengan IP tinggi, tetapi juga harus menjadi ruang pembentukan karakter kebangsaan, penguatan nalar kritis, dan penanaman nilai-nilai luhur Pancasila.

Pendidikan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA), misalnya, memegang peran penting sebagai pengembang triple helix antara agama, ilmu, dan kebangsaan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Al-Islam dan Kemuhammadiyahan ke dalam kurikulum dan kehidupan kampus, PTMA bukan hanya mendidik ilmuwan, tetapi juga membentuk pemimpin yang Pancasilais yakni berpikir mendalam, bermoral tinggi, dan berorientasi pada keadilan sosial.

Saat ini, kita menghadapi tantangan serius berupa radikalisme ideologi, banalitas media sosial, serta disorientasi intelektual. Kampus harus menjadi benteng terakhir dalam menjaga rasionalitas publik dan merawat optimisme kebangsaan. Hal ini sejalan dengan amanat Pancasila yang bukan hanya mengikat dalam aspek hukum, tetapi juga menjadi fondasi pembentukan watak dan akal sehat bangsa.

Matematika dan Nalar Publik

Sering dianggap sebagai ilmu yang kering, matematika sesungguhnya menyimpan kekayaan nilai yang sangat relevan dalam pembentukan karakter dan kebangsaan. Matematika menuntut ketekunan, kejujuran, dan konsistensi berpikir. Matematika mengajarkan kita bahwa setiap langkah harus logis, setiap kesimpulan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Di tengah krisis disinformasi dan manipulasi data yang marak di media sosial, keterampilan berpikir matematis, termasuk berpikir logis, deduktif, dan kritis menjadi sangat penting. Inilah kontribusi nyata para pendidik dan ilmuwan matematika dalam menjaga ekosistem nalar publik tetap waras dan sehat.

Lebih dari itu, matematika adalah ilmu kolaboratif. Misalnya,dalam pengembangan algoritma atau pemodelan epidemi, para ahli matematika bekerja lintas bidang dan lintas negara untuk merumuskan solusi bersama, sehingga hasil yang besar lahir dari kerja kolektif, saling uji, dan keterbukaan terhadap kritik. Ini sangat sejalan dengan sila keempat Pancasila: “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Maka, meskipun matematika tidak secara eksplisit mengajarkan demokrasi, ia membentuk cara berpikir yang inklusif dan terbuka.

Di ruang-ruang kelas, para dosen matematika punya peran strategis bukan hanya sebagai pengajar rumus, tetapi sebagai penanam nilai-nilai keilmuan yang jujur, logis, dan berpihak pada kebenaran. Bahkan, proses pembelajaran matematika yang baik sejatinya adalah proses pembudayaan nilai Pancasila itu sendiri.

Dalam konteks Indonesia yang multikultural, matematika juga berkontribusi dalam membentuk cara pandang yang adil dan proporsional. Dalam matematika, segala hal memiliki aturan dan ukuran yang objektif. Tidak ada ruang bagi bias, prasangka, atau penghakiman sepihak. Nilai-nilai ini jika diterapkan dalam kehidupan sosial dapat mendorong terciptanya masyarakat yang lebih rasional dalam menyikapi perbedaan, menghindari hoaks, serta membangun keputusan berdasarkan data dan pertimbangan yang logis. Di sinilah matematika menjadi alat penting dalam membentuk budaya berpikir kritis yang dibutuhkan dalam demokrasi modern.

Lebih jauh lagi, kemampuan berpikir abstrak dan pemodelan dalam matematika membantu manusia memetakan persoalan kompleks dan merumuskan solusinya secara sistematis. Dalam dunia kebijakan publik, perencanaan pembangunan, hingga mitigasi bencana, prinsip-prinsip matematika sangat esensial. Maka, mendidik mahasiswa tidak hanya menguasai teori matematika, tetapi juga mampu menerapkannya secara kontekstual dalam kehidupan sosial adalah bagian dari misi kebangsaan. Ini merupakan bentuk kontribusi nyata dalam mewujudkan sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di tengah tantangan zaman yang makin kompleks, memperingati Hari Lahir Pancasila tidak cukup dengan upacara dan baliho. Kita perlu menghadirkannya dalam ruang-ruang kehidupan nyata di kelas, di laboratorium, di media, dan dalam praktik kebijakan publik.Mari jadikan ruang-ruang pendidikan tersebut sebagai tempat membangun manusia Indonesia yang berpikir kritis, berakhlak kuat, dan memiliki komitmen kebangsaan.

Muhammadiyah telah memberi teladan bagaimana ideologi tidak cukup diperdebatkan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan. Pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermakna. Selain itu, ilmu matematika, dalam keheningan logikanya, bisa menjadi penjaga akal sehat bangsa yang makin dibutuhkan hari ini.

Mari kita rawat Pancasila bukan sebagai simbol, tetapi sebagai jalan hidup berbangsa yang rasional, bermoral, dan berkeadaban, karena masa depan Indonesia tidak cukup dibangun dengan kecanggihan teknologi, tetapi harus ditegakkan di atas fondasi nilai dan nalar.

 

Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Bone

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply