Oleh: Agusliadi (Eks Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Banteang 2016-2018 dan Komisioner KPU Kab. Bantaeng, Sulawesi Selatan 2018-2023)
KHITTAH.CO — Indonesia sebagai negara dan bangsa secara kolektivitas telah berkomitmen menjadikan Pancasila sebagai asas dan ideologi. Memperhatikan dinamika dan realitas kehidupan Indonesia, masih dipenuhi dengan spektrum yang menunjukkan sikap paradoks terhadap pancasila. Bukan hanya dalam bentuk perilaku tetapi termasuk dalam bentuk sikap dan pemikiran, dan tentunya ini lebih berbahaya.
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, sejatinya dipahami sebagai sebuah mercusuar, untuk tidak langsung mengatakan bahwa pancasila harus dibaca dan dipahami secara ideologis.
Mercusuar sebagai pemahaman analogis akan mudah menjadi pengantar memahami pancasila secara ideologis.
Mercusuar, secara harfiah dipahami sebagai sebuah menara, menara api, menara suar, menari angin. Menara yang di puncaknya terdapat cahaya sebagai petunjuk navigasi kapal laut yang secara utilitas berfungsi sebagai penunjuk arah dan sekaligus memberikan petunjuk sesuatu yang perlu dihindari karena berbahaya.
Pancasila sebagai mercusuar diharapkan menjadi cahaya petunjuk bagi seluruh warga negara Indonesia terutama penyelenggara negara dalam mengarungi “lautan” Indonesia. Segala sikap, pikiran dan perilaku yang dilakukan harus berkiblat pada nilai dan spirit Pancasila. Pancasla menjadi nafas dalam pengambilan kebijakan, perencanaan pembangunan serta tata kelola negara.
Sampai hari ini masih banyak sikap dan perilaku yang menunjukkan paradoks Pancasila: Koruptor merajalela; Keadilan sosial belum nampak; Intoleransi pemecah persatuan; Supremasi hukum masih lemah; Oligarki menguasai perpolitikan dan perekonomian bangsa; dan Benturan agama dan Pancasila.
Pancasila belum secara sungguh-sungguh diharapkan dan dijadikan sebagai mercusuar apalagi sebagai ideologi dan dipahami secara ideologis. Pancasila selama ini, berdasarkan apa yang saya lihat dan saya rasakan masih banyak warga negara dan elit negara yang menjadikannya hanya sebatas bahan hapalan, rukun wajib dalam upacara, prosedur dan syarat formal. Setiap penyelenggara negara dalam proses seleksi dan/atau menduduki jabatan telah membuat “pernyataan setia kepada pancasila”, selain terhadap UUD, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Dan lebih parah ada segelintir oknum yang menganggap Pancasila tidak sesuai agama, tidak sesuai Islam, Pancasila haram, Pancasila produk kafir. Bahkan ada ideologi lain yang berupaya menggerogoti Pancasila. Ini relevan dari sebuah cerita (mohon maaf saya lupa sumbernya, tetapi yang saya ingat bahwa ini ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian). Suatu ketika ada kapal induk perang berlabuh dalam gelap gulita. Kapten kapal yang sedang melihat ada cahaya/sorot lampu (yang sesungguhnya itu dari mercusuar) memberikan tanda agar segera berpindah karena dirinya adalah kapal induk perang. Petugas mercusuar pun memberikan tanda agar kapal induk yang harus mengalihkan arah karena sedang akan menabrak mercusuar.
Kapten kapal egois, tidak mau mengalihkan kapalnya, dan merasa dirinya superior sebagai kapal induk perang. Kapten kapal tidak pernah mau menyadari bahwa cahaya yang sedang dilihat di depannya adalah sebuah mercusuar yang terletak dan berdiri di pinggir pantai.
Dalam “lautan” Indonesia, secara konotatif banyak kapal yang mungkin merasa sebagai kapal induk, merasa superior, kaptennya egois sehingga bukan melihat Pancasila sebagai mercusuar hanya melihat sebagai “sampan kecil” yang harus disingkirkan.
Pancasila bukan sebagai cahaya, pedoman hidup, tidak menjadi petunjuk sikap, pikiran dan perilaku terutama dalam menyusun kebijakan, perencanaan dan implementasi pembangunan. Kenapa hal tersebut terjadi?. Padahal para founding father telah bersusah payah, menghabiskan selaksa narasi, argumentasi dalam perdebatan penyusunannya. Kelapangan hati, keteguhan sikap, komitmen persatuan telah ditunjukkan pula oleh tokoh Islam pada saat itu.
Bagi saya, jawabannya adalah karena Pancasila selama ini belum dibaca dan dipahami secara ideologis. Anak bangsa, seluruh warga negara Indonesia terutama elit/pejabat negara masih banyak yang belum memahaminya secara ideologis.
Lalu seperti apa yang dimaksud pembacaan dan pemahaman secara ideologis?. Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu saya menyampaikan satu hal. Saya terinspirasi dari tulisan Moh. Mudzakkir (sosiolog UNESA/Universitas Negeri Surabaya) dalam buku Pelajar Bergerak menuju Indonesia Berkemajuan (2014:98)
Dalam buku tersebut pada tulisan Mudzakkir, Membaca Gerakan Pelajar Muhammadiyah: Perspektif Filosofis, menjelaskan bahwa “…sebuah gerakan harus memiliki landasan filosofis, paradigma, ideologi, ataupun teori gerakan sebagai dasar dalam bergerak”. Bagi saya jika gerakan saja membutuhkan ideologi apalagi selevel bangsa dan negara yang di dalamnya memanage kompleksitas manusia dengan segala sikap, pikiran, orientasi hidup dan tendensi yang sangat majemuk.
Saya tidak seperti segelintir orang lainnya, yang ketika menyebut ideologi merasa risih, anti, bahkan mengecam sebagai ilmu berbohong, yang bahkan dituduh untuk menyesatkan orang. Membaca dan memahami Pancasila secara ideologis, saya terinspirasi dari endorsement Yudi Latif (penulis buku Negara Pancasila, dan tepat jika disebut pakar Pancasila) dalam buku Nun Tafsir Gerakan Al-Qalam karya Azaki Khoiruddin (2014).
Yudi latif dalam endorsementnya pada buku tersebut menjelaskan “Setiap ideologi idealnya harus mampu memadukan tiga unsur; keyakinan, pengetahuan dan tindakan. Pertama, ideologi mengandung seperangkat keyakinan berisi tuntunan-tuntunan normatif, perspektif yang menjadi pedoman hidup. Kedua, ideologi mengandung semacam paradigma pengetahuan berisi seperangkat prinsip, doktrin, dan teori, yang menyediakan kerangka interpretasi dalam memahami realitas. Ketiga, ideologi mengandung dimensi tindakan yang mengandung level operasional dari keyakinan dan pengetahuan dalam realitas kongkret.
Pancasila sebagai ideologi seharusnya bahkan bisa dikatakan wajib dipahami sebagaimana tiga model pemahaman ideologis yang diuraikan oleh Yudi Latif agar tujuan utama pendirian Negara Indonesia yaitu “keadilan sosial” bisa terwujud dan nyata dalam kehidupan.
Pancasila harus dipahami dan itu sudah built-in dalam dirinya berisi tiga perangkat secara terpadu yaitu sebagai keyakinan, pengetahuan dan tindakan. Segala yang hidup dalam atmosfir bangunan Indonesia sebagai nation-state harus senyawa dengan Pancasila. Keyakinan dan pengetahuan lain hidup dalam spektrum Indonesia harus senafas dengan Pancasila. Bukan Justru sebaliknya dipertentang dengan Pancasila atau bahkan ada melakukan gerakan TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif) untuk merongrong dan berharap mengganti Pancasila.
Muhammadiyah telah menunjukkan teladan yang baik dalam membangun pemahaman yang senafas antara Islam dan Pancasila yaitu melalui rumusan paradigmatiknya “Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah”. NU (kalau tidak salah) menjadi Pancasila sebagai “Rumah Bersama”.
Pancasila dalam pemahaman ideologis maka: Pertama, Pancasila harus menjadi pedoman hidup, karena sesungguhnya pancasila sudah berisi tuntunan-tuntunan normatif. Dalam satu kesempatan pidato kebangsaan, Yudi Latif pernah mengatakan bahwa, Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah perasan dari nilai dan ajaran Islam. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila bisa menjadi indikator dan barometer mengukur pengamalan ajaran Islam dan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Pancasila harus mampu digunakan sebagai instrumen membaca realitas, apakah realitas kehidupan yang ada sudah sesuai dengan tujuan dan cita-cita nasional Indonesia sebagai bangsa dan negara.
Pancasila harus mampu menjadi pedoman dalam perilaku dan tindakan seluruh warga negara Indonesia. Saya Pancasila atau Pancasilais bukan hanya retorika semata, tetapi harus nyata dalam perilaku seluruh warga negara dan dalam perencanaan dan implementasi pembangunan yang menjadi tanggungjawab dan kewajiban penyelenggara negara tanpa kecuali.