Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Pembacaan Kreatif Atas Teks Agama ; Aku Membaca Maka Aku Ada (Bag. 2)

×

Pembacaan Kreatif Atas Teks Agama ; Aku Membaca Maka Aku Ada (Bag. 2)

Share this article

Oleh : Muh. Asratillah Senge

KHITTAH.co _ Ali Harb berpendapat bahwa, membaca berarti berbeda dengan teks yang dibaca. Jika ada aktivitas membaca tetapi mengatakan bahwa apa yang dia peroleh dari proses pembacaannya sama persis dan telanjang dengan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, pada hakikatnya itu bukanlah sebuah proses pembacaan. Semua pengetahuan adalah peniruan , jika biologi adalah peniruan terhadap dunia hayati, fisika atom adalah peniruan terhadap realitas fisik atomik dan subatomik, sosiologi adalah peniruan terhadap interaksi sosial yang real maka tafsir agama adalah berusaha meniru makna autentik pesan agama. Tetapi yang perlu diingat, peniruan tidak akan melahirkan kesamaan dengan realitas yang menjadi referentnya, tapi melahirkan realitas dan kebenaran baru.

Lalu apakah yang dimaksud dengan teks? Teks adalah segala sesuatu yang terbuka bagi pembacaan dan interpretasi yang beragam. Keterbukaan mengharuskan bahwa teks tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang tertutup dan mandiri dari pengarang tunggal. Sebagai proses teks sama sekali bukanlah entitas baku , teks tetap berubah dan meraih pengertian-pengertian baru sesuai dengan bagaimana teks tersebut diterima dan dipahami oleh pembacanya. Itu berarti struktur dan makna dari teks secara terus menerus disusun ataupun tidak disusun. Menempatkan kitab suci ataupun rekaman pewahyuan dari Tuhan ke Nabi sebagi teks sangatlah urgen, itu untuk membersihkannya dari monopoli penafsiran yang seringkali diklaim dengan nuansa kesakralan. Tekstualitas dari teks agama, berarti teks-teks agama struktur dan maknanya dalam prosesnya terbuka kemungkinan mengalami penyususnan terus menerus, tergantung dari konteks sosio-kultural yang melingkupi.

Kemudian bagaimana cara kita membaca teks agama secara kreatif?. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba mengeksplore secara singkat beberapa buah pemikiran para pemikir Islam Kontemporer, Seperti Fazlurrahman, Abu Zayd, Mohammed Arkoun , Abid Al-JAbiry dan Ali Harb. Melalui metodologi mereka dalam melakukan pembacaan terhadap teks suci Islam maka kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan pembacaan kreatif.

Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Islamic Thought menyebutkan bahwa di antara tahun 800 sampai dengan 1100 M terdapat lebih dari 100 sistem teologi dalam Islam. Menurutnya ini merupakan bukti bahwa Muhammad telah menanamkan kesadaran kreatif dalam tubuh umat manusia.

Sejalan dengan itu Fazlurrahman juga mengatakan bahwa pada generasi-generasi awal kemunculan Islam, Al-Qur’an dan sunnah dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan hidup. Dengan kata lain Al-Qur’an dan sunnah merupakan perlambang momentum-momentum keterlibatan manusia dengan realitas beserta petanda transendentalnya (meminjam istilah Mohammed Arkoun).

Pembacaan kreatif secara diametral berseberangan dengan pembacaan yang dilakukan oleh gerakan atau kelompok yang kita kenal dengan istilah Fundamentalisme islam/legalis formal/ revivalisme dan neorevivalisme Islam . Dimana dalam melakukan pembacaan terhadap Teks Suci Islam, bersifat rigid, harfiah dan menerima beberapa prapemhaman atau aksioma-aksioma tradisional dalam melakukan penfasiran, bahkan mati-matian untuk mempertahankannya. Mohammed Arkoun mengatakan bahwa kita perlu membedakan antara Islamy dengan Islamawiyyun, membedakan antara gerakan Islamy dan gerakan Islamawiyyun. Islamy adalah sebuah terma yang terbuka terhadap perkembangan dan pembaharuan seperti yang terlihat pada misi nabi yang melakukan perombakan struktur masyarakat yang menindas, sedangkan Islamawiyun adalah sebuah tendensi untuk menggunakan wacana islam demi kepentingan politik dan ekonomi serta kekuasaan. Begitu pula antara istilah Ushulawiyun dengan dengan Ushuliyun (kata ushuliyun biasanya diterjemahkan dengan kata fundamentalisme , padahal lebih tepat jika diterjemahkan dari kata ushulawiyun). Ushuliyun adalah usaha dan ijtihad dari para ulama untuk merumuskan system teologi dengan menggunakan metodologi tertentu serta didasari dengan spirit pencarian kebenaran secara jujur, sedangkan Ushulawiyyun adalah kepentingan politik-kekuasaan tertentu yang mempergunakan secara tidak jujur produk-produk ushul tertentu.

Pembacaan teks agama Islam secara ortodoks menempatkan masa lalu dan masa depan secara tidak seimbang. Yang dimaksud dengan tidak seimbang adalah masa depan dipersilahkan untuk nampak jika dan hanya jika terus menerus secara pasif menatap masa lalu, jika masa depan itu memalingkan wajahnya dari masa lalu maka masa depan tersebut dilabeli “jahiliyah kontemporer”.

Dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam, Adonis mengatakan bahwa dalam pandangan ortodoks , wahyu merupakan dasar dan permulaan secara mutlak, melampaui waktu : masa lalu,sekarang dan masa mendatang. Wahyu merupakan masa lalu dari segi bahwa ia merupakan awal, wahyu merupakan masa sekarang dari segi ia merupakan sesuatu yang terus bergerak dan wahyu merupakan masa mendatang dari segi ia merupakan yang terakhir. Zaman historis tidak bernilai di depan zaman wahyu. Dalam buku tersebut Adonis membedakan antara zaman wahyu dan zaman historis. Jika zaman historis merupakan zaman dimana peristiwa-peristiwa, gejala-gejala, perubahan-perubahan terjadi maka zaman wahyu merupakan substansi yang tidak bergerak, abadi, hadir secara terus menerus ditengah-tengah gejala-gejala yang bergerak dan akhirnya sirna. Di sini tidak ada tempat untuk masa depan sebab masa depan hanyalah “yang hadir” di masa mendatang. Mempraktikkan isi wahyu dan mengalami kehadiran wahyu itulah masa mendatang. Zaman wahyu bertentangan dengan zaman yunani- chronos. Chronos menciptakan segala sesuatu dan mematikan apa yang diciptakannya. Sementara zaman wahyu berada di luar gerak dari kelahiran dan kematian serta gerak perubahan atau proses. Zaman wahyu selalu berada seperti apa adanya sama dengan sedia kalanya. Wahyu tidak dikenali melalui zaman tetapi zamanlah yang dikenali melalui wahyu. Dengan ungkapan yang lebih tepat wahyu merupakan potensi zaman dan bukan zaman yang merupakan potensi wahyu.

Pembacaan secara kreatif adalah jawaban terhadap beberapa episteme pembacaan yang ortodoks di atas, bila kita menggunakan premis Ali Harb dalam paragraph sebelumnya, episteme pembacaan yang ortodoks di atas bukanlah sebuah pembacaaan, sebab pembacaan mensyaratkan menjadi berbeda dengan teks yang dibaca termasuk wahyu. Pembacaan kreatif mengandaikan bahwa makna dalam sebuah teks akan tersingkap sejalan dengan perjalanan waktu atau proses atau gerak perubahan. Alih-alih mengasumsikan bahwa wahyu adalah potensi zaman, pembacaan kreatif berasumsi justru zamanlah yang menjadi potensi makna bagi wahyu.

Beberapa pemikir Islam Kontemporer merekomendasikan penggunaan hermeneutika sebagai salah satu metode agar pembacaan kita terhadap teks-teks keagamaan menjadi kreatif. Apakah hermeneutika itu ? Menurut Fazlurrahman heremenutika adalah cara membaca , memaknai serta melampaui makna. Cara memahami masa lalu yang tidak dialami untuk di bawa ke masa sekarang, dengan kata lain adanya fusi antara horizon kekinian dan masa lalu dimana teks tersebut dibuat. Hasan Hanafi mengatakan bahwa hermenutika bukanlah sekedar bagaimana menarik makna dari sebuah teks, tetapi juga merupakan usaha untuk memhami dan memaknai perubahan dari logos menjadi praksis.

Gadamer sebagai dalam bukunya yang berjudul Truth and Method (1960) menyatakan bahwa hermeneutika berarti mengakui akan peran signifikan prasangka dalam pembacaan terhadap sebuah teks, dengan kata lain dalam mencari sebuah kebenaran prasangka merupakan sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Apakah yang dimaksud dengan prasangka? Yaitu menggunakan asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma baik disadari atau tidak disadari yang lahir dari rasa percaya terhadap otoritas yang sah. Kalau kita membaca sejarah agama-agama besar termasuk Islam, maka kita akan menemukan bahwa perkembangan dan penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari penggunaan otoritas atau kekuasaan imperium tertentu, bahkan dalam sejarah Islam bukanlah sesuatu yang homogen tetapi lebih berupa mozaik-mozaik mazhab fiqh, teologis,filsafat ataupun mistisme yang kadangkala saling berebut pengerauh. Perumusan teologi, fiqh atau kompilasi konsep keagamaan tertentu seringkali diikuti dengan restu penguasa, ini menunjukkan bahwa teks-teks agama yang dibuat tidak bisa lepas dari prasangka.

Dalam buku yang sama Gadamer mengatakan “sejarah bukanlah milik kita tetapi kita dimiliki oleh sejarah”. Maksudnya dalam upaya membaca atau menafsir teks selalu berada dalam kondisi Ke-sejarah-an tertentu. Pembacaan, penafsiran ataupun pemahaman terhadap teks mensyarakat kepada kita mula-mula perasaaan asing terhadap teks, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang dikenal atau dipahami. Inilah sebabnya mengenali prasangka-prasangka kita adalah sesuatu yang penting, tiada pembacaan yang murni dari Tuhan, setiap pembacaan pasti mengikut sertakan prasangka kita. Inilah yang disebut oleh Gadamer sebagai “Prinsip Sejarah Efektif”.

Bersambung ke Pembacaan Kreatif Atas Teks Agma ; Fazlurrahman dan Nshr Hamid Abu Zayd……………

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply