KHITTAH.CO, Makassar — Dalam pembukaan Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Batch I yang berlangsung di Makassar, Rabu, 28 Mei 2025, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Dr. Hamim Ilyas, menegaskan kembali karakter pandangan keagamaan Muhammadiyah sebagai bentuk Islam yang wasathiyah, fungsional, dan progresif. Pandangan ini, menurutnya, menjadi fondasi utama gerakan tarjih yang selama ini menjadi rujukan pemikiran keislaman Muhammadiyah.
“Muhammadiyah memahami Islam sebagai din dan nikmah—sebagai sistem keyakinan sekaligus jalan menuju peradaban yang menghadirkan kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan,” ujar Hamim dalam amanahnya yang menggantikan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Islam yang Mendorong Kesejahteraan dan Modernitas
Hamim menyebut, orientasi utama Islam dalam perspektif Muhammadiyah adalah kebaikan hidup manusia baik di dunia maupun akhirat. Hal ini tertuang dalam prinsip tarjih yang mendefinisikan Islam sebagai ajaran yang diturunkan Allah melalui Al-Qur’an dan Sunnah yang sahih untuk mewujudkan kemaslahatan.
“Beragama Islam dalam Muhammadiyah itu harus memiliki nilai guna. Ini berbeda dari pemahaman yang hanya menekankan ritualisme atau sekadar simbolik. Islam yang tidak mampu memenuhi kebutuhan kehidupan manusia tidak bisa dikatakan sebagai rahmatan lil ‘alamin,” tegasnya.
Ia merujuk pada tafsir istilah rahmat menurut Imam Al-Mawardi sebagai “anugerah kepada pihak yang membutuhkan”. Maka, Islam sebagai rahmat bermakna memenuhi kebutuhan hidup semesta, termasuk melalui kemajuan ekonomi, budaya, dan politik.
Din wa Nikmah: Islam sebagai Agama dan Peradaban
Hamim menekankan bahwa Islam dalam pandangan Muhammadiyah bukan sekadar “din wa daulah” atau “akidah wa syariah”, melainkan din wa nikmah agama yang menyempurnakan peradaban.
Ayat Al-Ma’idah: 3 menjadi pijakan teologisnya, yang menunjukkan dua cakupan besar ajaran Islam: kesempurnaan agama (akmaltu lakum dinakum) dan kesempurnaan nikmat (atmamtu alaikum ni’mati). Baginya, nikmah bukan hanya keberagamaan yang baik, tetapi keadaan hidup yang menyeluruh: ekonomi, sosial, budaya, politik, semuanya baik secara bersamaan.
“Inilah sebabnya kita mendorong umat Islam untuk tidak terpinggirkan dalam arus modernitas. Kalau tidak didorong untuk menguasai ekonomi, umat Islam bisa menjadi ‘Aborigin berikutnya’ terasing di tanah sendiri, kalah bersaing dengan kekuatan kapital non-Muslim,” ungkap Hamim dengan nada peringatan.
Kebutuhan Mendesak akan Literatur dan Kaderisasi
Dalam konteks kaderisasi tarjih, Hamim juga menyinggung minimnya literatur keislaman yang mendukung paham Muhammadiyah. Berbeda dengan mazhab fiqh tradisional yang kaya rujukan, paham tarjih Muhammadiyah dinilai masih memerlukan dukungan pustaka yang memadai.
“Jika literatur tidak segera disusun dan kader tidak dikembangkan, maka pembaruan Islam ala Muhammadiyah bisa terputus. Kita tidak ingin mengalami nasib serupa Aligarh di India, yang kehilangan identitas pembaruannya,” tegasnya, merujuk pada kasus organisasi pembaruan Islam di India yang kehilangan pengaruh karena tidak memiliki ulama generasi baru yang sejalan.
Ia mendorong agar buku-buku bertema tarjih dan tafsir terus ditulis oleh generasi muda Muhammadiyah, termasuk melalui program pelatihan seperti PKTN. Hal ini penting untuk memperkuat mazhab tarjih Muhammadiyah sebagai rujukan berkelanjutan.
Islam 5.0: Muhammadiyah Menuju Masyarakat Modern yang Religius
Di akhir sambutan, Hamim mengajak seluruh kader untuk berpikir jauh ke depan. Menurutnya, visi Islam dalam Muhammadiyah harus mengarah pada penciptaan masyarakat 5.0 yakni masyarakat yang maju secara teknologi, tetapi tetap menjunjung nilai-nilai religius.
“Muhammadiyah harus menjadi contoh bagaimana kemajuan modern tetap bisa dibarengi dengan iman, amal saleh, dan komitmen sosial. Kita ingin menjadi masyarakat modern yang religius, bukan sekuler. Inilah wujud dari Islam yang fungsional, Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” pungkasnya.
Pelatihan Kader Tarjih ini menjadi bagian dari strategi Majelis Tarjih dan Tajdid untuk menyosialisasikan tiga agenda utama hingga 2027: Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT), penyusunan Fiqih Muhammadiyah, dan penyelesaian Tafsir At-Tanwir. Seluruh agenda ini dirancang untuk memperkuat posisi Muhammadiyah sebagai pelopor pembaruan Islam yang rasional, progresif, dan berpijak pada tradisi keilmuan yang kokoh.