Oleh: Agusliadi Massere*
Bagi rakyat atau masyarakat, urusan Pemilu tanpa kecuali Pemilu 2024 yang tahapannya sedang berlangsung, yang menjadi tugas utama atau peran signifikan dan strategis yang harus diperankan—sebagaimana analogi yang saya konstruksi sendiri—adalah “menjaga kapal kebangsaan”.
Indonesia sebagaimana tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya analogikan sebagai “Kapal-Kebangsaan”.
Sebenarnya siapa pun yang lahir dan menjalani kehidupan di bumi Indonesia, termasuk para pejabat, elit negara, dan/atau para konglomerat, idealnya memiliki tugas utama dan peran untuk menjaga Kapal-Kebangsaan ketika dirinya menyadari tentang kewajibannya termasuk posisi dirinya yang bukan hanya sebagai makhluk individual, tetapi termasuk sebagai makhluk sosial.
Meskipun, dalam hal ini tidak semua memiliki kesadaran sehingga ada yang lebih mementingkan diri, keluarga dan golongannya saja.
Saya menggunakan analogi “kapal” atau “Kapal-Kebangsaan” dengan harapan terbangun perspektif kepemilikan yang seringkali secara psikologis dan antropologis mampu memengaruhi sikap dan perilaku untuk memaksimalkan upaya mempertahankan, tidak merusak, dan/atau tidak membiarkan pihak lain untuk merusaknya.
Meskipun, perspektif kepemilikan pun terkadang dipengaruhi dan didominasi oleh hasrat keserakahan. Analogi dan bangunan perspektif kepemilikan ini memiliki landasan konstitusional yang sangat kokoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Sebagai Kapal-Kebangsaan, sebagaimana bangunan konstitusional Indonesia, rakyat adalah pemiliknya. Hal ini senada atau sebagai derivasi dari penegasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonsia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) hasil amandemen ketiga: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Rakyat bukan hanya sebagai pemilik, tetapi juga berada di atas atau di dalam kapal tersebut.
Pemilu 2024 pun, terlepas dari berbagai analogi, defenisi, dan perspektif yang disematkan terhadapnya, sesungguhnya satu hal yang harus disadari oleh rakyat adalah sebagai proses untuk menentukan “nakhoda”.
Sebagai nakhoda bisa dipahami, dalam makna harfiah kapal pun, berarti akan menentukan kondisi kapal dan termasuk ke mana akan berlayar.
Pandangan ideal atau suara nurani kita bersama—dan saya yakin tanpa kecuali—menginginkan kapal ini berlayar menuju harapan, cita-cita ideal dan tujuan nasional sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Sesungguhnya, tak satu pun di antara kita (selaku rakyat) yang mengharapkan Kapal-Kebangsaan ini berlayar ke arah pulau harapan lain yang tidak sesuai atau paradoks dengan yang telah dikonstruksi oleh para founding fathers.
Selain itu, kondisi minimal yang tidak diinginkan, ketika kita bertanya pada nurani kita masing-masing, adalah Kapal-Kebangsaan mengalami kondisi “oleng”, “bocor” atau pun “onderdilnya” dihilangkan, diambil dan tanpa kecuali biaya operasional dan pemeliharaannya, termasuk kelangsungan hidup para awak dan penumpang lainnya itu dikorupsi.
Saya yakin ini harapan mulia, dan suara hati kita semua tanpa kecuali. Saya menegaskan dengan frasa “tanpa kecuali”, bahwa siapa pun termasuk para penyelengga negara dan elit negara yang masih punya kebiasaan koruptif akan merasakan hal tersebut, tetapi dengan syarat bertanya pada nuraninya yang jernih.
Dalam upaya mewujudkan harapan di atas, sebagaimana telah saya tegaskan, maka kita semua sebagai rakyat harus mengambil peran signifikan dan strategis termasuk dalam tahapan Pemilu 2024.
Setelah Pemilu pun, kita sebagai rakyat idealnya harus tetap memainkan peran strategis untuk menjaga Kapal-Kebangsaan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga Kapal-Kebangsaan terutama dalam konteks Pemilu sebagai starting point untuk memilih para nakhodanya. Selain banyak cara, berbagai pihak pun sesungguhnya punya ruang dan hak untuk memerankan minimal satu peran dalam rangka menjaga Kapal-Kebangsaan.
Ketika kita memahami analogi Kapal-Kebangsaan dengan berbagai perspektif dan pemaknaan yang terkandung di dalamnya, idealnya—minimal—meskipun Indonesia tidak menganut sistem yang mewajibkan warganya datang ke TPS untuk mencoblos, maka urusan yang satu ini seharusnya—berdasarkan kesadaran kita—menjadi “keharusan”.
Mencegah politik uang atau minimal tidak ingin terjerumus dalam rayuan politik uang adalah bagian dari menjaga Kapal-Kebangsaan.
Mendorong spirit the power of love (kekuatan cinta) dari para anak negeri terhadap Kapal-Kebangsaannya adalah sebagai upaya untuk meng-counter (mencegah) tumbuh suburnya the love of power (cinta kekuasaan).
Cinta kekuasaan merusak banyak sendi-sendi kehidupan, termasuk, minimal akan menimbulkan lubang-lubang kecil atau kebocoran pada Kapal-Kebangsaan.
Sama hal, sebagaimana yang telah saya ingat kutipan Yudi Latif dari Montesquieu, pada status Facebook-nya tujuh tahun yang lalu (tepatnya, 25 Agustus 2016) “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin”.
Saya merasa dan yakin, bahwa hari ini ada fenomena “spirit kesetaraan ekstreem” yang sedang berlangsung sebagaimana pandangan Montesquieu di atas.
Hari ini, banyak yang hanya bermodalkan harta dan/atau pun keluarga, yang sudah merasa layak jadi pemimpin, padahal kapasitas keilmuan, intelektualitas, modal psikologis dan sosial personalnya masih sangat minim.
Dalam pandangan saya, kritis terhadap ini dan cerdas dalam menilainya adalah bagian dari menjaga Kapal-Kebangsaan.
Meningkatkan Pengawasan-Partispatif (meminjam istilah Bawaslu) dalam setiap tahapan Pemilu, dengan versi dan porsi sesuai dengan pemaknaan dan kemampuan masing-masing adalah bagian dari menjaga Kapal-Kebangsaan.
Pengawasan-partisipatif dalam tahapan pemilu sangat penting dan strategis bukan hanya terhadap proses teknisnya tetapi termasuk para aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Aktor-aktor yang dimaksud, yang harus pula menjadi target pengawasan tanpa kecuali adalah terhadap penyelenggara pemilu. Apatah lagi ketika ada oknum-oknum tertentu yang berupaya menggerogoti integritas dan profesionalitas oknum penyelenggara pemilu.
Terhadap peserta pemilu pun, idealnya tidak luput dari apa yang dimaknai dan didefenisikan sebagai Pengawasan-Partispatif masyarakat.
Peserta pemilu di dalam dirinya dibingkai spirit kompetisi, dan tidak sedikit di antaranya ada oknum yang termasuk dipenuhi dengan hasrat “The Love of Power” (Cinta kekuasaan).
Sebagaimana yang saya pahami dari pandangan dan pemikiran Yudi Latif, nilai-nilai Pancasila pun tidak bisa tumbuh subur manakala warganya lebih berorientasi “The lover of power” (cinta kekuasaan) ketimbang “The power of lover” (kekuatan cinta).
Ketika dua di antara tiga aktor utama Pemilu, ada potensi untuk digerogoti dan digiring masuk ke ranah cinta kekuasaan dan menimbulkan lubang-lubang pada dinding Kapal-Kebangsaan atau bahkan berpotensi dalam jangka panjang membuat kapal ini tenggelam atau berlayar ke pulau harapan lain yang tidak sesuai dengan konstitusi, maka yang diharapkan untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga Kapal-Kebangsaan ini adalah rakyat, masyarakat atau warga negara.
Menjaga Kapal-Kebangsaan dalam konteks Pemilu, bukan sekadar datang ke TPS, mencoblos, lalu pulang kembali ke rumah. Namun memastikan dirinya memiliki peran strategis berdasarkan kesadaran kritis dan nalar kebangsaan atau minimal nalar kedaulatannya, yang salah satu kristalisasinya adalah cerdas dalam memilih dan proaktif dalam setiap tahapan. Proaktif berarti minimal memastikan dirinya hak konstitusionalnya bisa terwujud dan terimplementasikan.
Menjaga Kapal-Kebangsaan bagi rakyat bukan sekadar mendapatkan sosialisasi dalam pengertian memberikan pengetahuan terkait simbil-simbol dan lambang yang digunakan oleh para peserta pemilu, bukan sekadar tata cara dan hari pencoblosan, atau bagaimana dirinya dipastikan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) atau bisa minimal menjadi bagian dari Daftar Pemilih Khusus (DPK).
Beyond, melampaui dari itu membutuhkan upaya maksimal bagaimana mendapatkan pencerdasan, pencerahan, pendidikan pemilih, dan pendidikan politik agar kesadaran kritis dan nalar kebangsaannya mengalami proses revitalisasi dan kristalisasi.
Revitalisasi dan kristalisasi kesadaran kritis dan nalar kebangsaan (atau minimal nalar kedaulatan) adalah hal urgen dan signifikan untuk mengalami proses internalisasi dan eksternalisasi dalam diri setiap rakyat atau warga negara Indonesia, terutama yang bersyarat sebagai Pemilih.
Hal ini menjadi poin penting dan harus mendapatkan porsi maksimal karena implikasinya sangat besar terutama dalam konteks pemahaman menjaga Kapal-Kebangsaan, di mana kapal tersebut mampu membawa pemilik, nakhoda, awak, dan para penumpang secara bersama-sama ke pulau harapan yang menjadi mimpi besar para founding fathers sebagaimana telah termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
*Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Periode 2014-2018. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023