Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pemilu, Banalitas Politik, dan Rusaknya Moral Kolektif

×

Pemilu, Banalitas Politik, dan Rusaknya Moral Kolektif

Share this article

Oleh: Syarifuddin Jurdi (Dosen Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar)

KHITTAH. CO – Pemilu Indonesia semakin banal dan brutal. Elite yang berburu kekuasaan bukan menawarkan agenda perubahan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat, mereka berburu kekuasaan bukan mengadu program, tidak juga mendiskusikan gagasan dan ide-ide cerdas untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan perbaikan strata sosial, yang terjadi justru transaksi politik dengan pemilih melalui tukar-menukar pilihan dengan uang atau barang.

Fenomena politik uang ini sebenarnya sudah tergambar dengan baik pada pemilu 2024, atau lebih jauh ke belakang pada pemilu-pemilu sebelumnya, baik 2019, 2014 maupun 2009. Karya akademik yang menggambarkan praktik politik uang sudah tak terhitung jumlahnya, dalam bentuk penelitian, publikasi artikel jurnal ilmiah untuk menerangkan konteks tersebut hingga publikasi buku-buku penting terkait dengan politik uang, karya Arspinall dan Berenschot Democracy for Sale atau buku yang diedit Arspinall dan Sukmajati Electoral Dynamics In Indonesia sebagai suatu refleksi empirik mengenai politik uang dalam pemilu Indonesia.

Dalam perebutan kekuasaan, sejumlah elite yang berkompetisi memperebutkan jabatan eksekutif maupun legislatif tidak semata-mata mengenai gagasan dan perubahan, tetapi sebagian elite justru mengabaikan ide dan gagasan, dengan kemampuan finansial yang mereka miliki dan pengalokasiannya secara tertib-teratur untuk menyuap rakyat melalui gerakan money politics. Dalam kasus-kasus yang fenomenal mengonfirmasi hal tersebut, pemilu 2024 merupakan pemilu yang paling brutal dan mengerikan dalam seleksi kepemimpinan politik, baik nasional maupun lokal, mereka yang bertarung bukan lagi ide mengenai perubahan dan transformasi masyarakat, tetapi masuk dalam lingkaran pertarungan “kemampuan finansial” untuk memperlancar proses keterpilihannya.

Fenomena yang sangat mengerikan adalah kasus Pilkada yang digugat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan hasil yang diumumkan Komisi Pemilihan umum (KPU), sebagian dapat dibuktikan adanya masalah dalam prosesnya, termasuk masalah politik uang. Kasus yang menarik adalah gugatan perselisihan hasil pasca dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diputuskan Mahkamah Konstitusi dengan mengabulkan permohonan pemohon terkait PSU Pilkada Barito Utara.

Putusannya secara tegas dan jelas membuka kotak pandora praktik politik uang yang seringkali sulit dibuktikan. Kita semua bertanya, apakah perilaku yang merendahkan proses demokrasi ini terus dibiarkan berjalan begitu saja tanpa ada upaya untuk membenahinya? Apakah demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi yang telah dibajak oleh kekuatan oligarki dan borjuasi? Apakah esensi dari proses demokrasi yang ideal? Bagaimana upaya kolektif bangsa untuk membenahi proses demokrasi agar berkualitas dan berwibawa dalam menghasilkan kepemimpinan yang kredibel dan berintegritas? Inilah yang menjadi tantangan bagi seluruh warga negara dalam mendorong dan menjaga wibawa demokrasi yang sehat dan berkualitas.Ujungnya adalah perbaikan dan penyempurnaan UU pemilu agar mengakomodir fenomena aktual sebagaimana yang terjadi pada pemilu dan pilkada 2024.

Dalam perselisihan hasil pemilu 2024, ditemukan beberapa kasus saja praktik politik uang yang terungkap, padahal politik uang menyebar dan hampir merata dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki moral dan etika publik, sebagian elite terpilih dalam berburu kekuasaan hanya bermodalkan uang dan barang yang dipertukarkan dengan suara para pemilih. Modal uang dan dukungan finansial merupakan keniscayaan dalam berburu kekuasaan, tanpa kedua hal itu, mustahil elite dapat memperoleh dukungan publik, kira-kira begitulah yang terekam dalam pemikiran elite politik, mereka tidak peduli dengan rekam jejak, mereka tidak perlu pusing dengan gagasan, mereka tidak perlu melakukan kapitalisasi pengetahuan sebagai modal dalam memimpin, mereka hanya pusing dengan berapa modal yang harus disiapkan dalam menyukseskan pencalonannya hingga terpilih.

Satu peristiwa menarik dalam bentuk penegakkan hukum yakni terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mendiskualifikasi dua pasangan calon bupati pada Pilkada Kabupaten Barito Utara, kedua pasangan calon terbukti melakukan money politics (politik uang) berdasarkan fakta persidangan di MK dalam sidang perselisihan hasil pasca Pemungutan Suara Ulang (PSU). Berdasarkan bukti persidangan dan saksi yang dihadirkan menerangkan bahwa praktek politik uang itu nyata adanya, dikisahkan secara detail bahwa ada satu keluarga yang menerima uang sampai Rp. 64 juta dari satu pasangan calon, harga per pemilih yang ditawarkan pasangan calon mencapai angka Rp. 16 juta, suatu fakta politik bahwa money politics itu memang ada dan nilainya sangat fantastis, selama ini orang hanya tahu nominalnya sekitar Rp. 50.000 sampai Rp. 500.000, itupun masih sangat sulit dibuktikan oleh penyelenggara pemilu, tapi fakta sidang perselisihan hasil di MK justru membuktikan bahwa nilai money politics-nya mencapai puluhan juta rupiah, suatu angka yang luar biasa dan fantastis.

Dalam kasus yang sama oleh saksi yang berbeda dikisahkan pula bahwa lawan dari calon yang memberi uang sampai Rp. 16 juta per pemilih juga melakukan praktik yang sama, hanya nominalnya lebih rendah, berdasarkan fakta persidangan MK yang menyidangkan gugatan hasil PSU Kabupaten Barito Utara bahwa calon yang lain memberikan uang nominalnya lebih kecil yakni Rp. 6,5 juta per pemilih, terdapat satu keluarga yang jumlah pemilihnya tiga orang, satu keluarga tersebut mereka memperoleh sebesar Rp. 19,5 juta, ditambah dengan janji akan memberangkatkan untuk menunaikan ibadah umrah dan janji yang lainnya. Atas dasar fakta itu, MK memutuskan untuk mendiskualifikasi kedua pasangan calon tersebut, KPU diperintahkan untuk melakukan PSU lagi tanpa menyertakan kedua pasangan tersebut. Dalam hal ini, KPU diperintah untuk menyampaikan kepada partai politik untuk mengajukan pasangan calon yang baru tanpa menyertakan pasangan calon yang telah didiskualifikasi.

Praktik money politics yang nyata adanya, terang-benderang dan terbuka itu tidak dapat diawasi dengan maksimal oleh Bawaslu, kinerja penyelenggara yang mengawasi jalannya proses PSU menjadi pertanyaan utama oleh banyak pihak, apa kendala dan masalah utama sehingga money politics tidak mampu teridentifikasi oleh Bawaslu? Apakah informasi mengenai money politics itu tidak terdengar sama sekali oleh Bawaslu dengan jejaringnya sampai tingkat desa? Mengapa money politics yang nilainya fantastis itu tidak tercium oleh Bawaslu, justru terbuka di MK? Atau mungkin Bawaslu sengaja mengabaikan informasi terkait dengan praktik itu tanpa memproses dengan serius, karena money politics sudah dianggap biasa dalam pemilu dan pilkada Indonesia? Tentu banyak hal yang bisa diurutkan untuk mempertanyakan kejadian serius ini, uang rakyat yang dipergunakan untuk Pilkada dan PSU tidak sedikit, tetapi hasilnya sangat mengecewakan.

Kejadian transaksi jual-beli suara antara pemilih dengan kandidat yang bertarung ini harus menjadi catatan evaluasi menyeluruh dari proses penyelenggaraan pemilu dan pilkada di Indonesia. Money politics yang selama ini dianggap sulit dibuktikan, itu bahasa yang sering muncul dari mereka yang mengawasinya, ibarat baunya tercium, tetapi aktornya sulit terungkap, tapi nyatanya dapat dibuktikan melalui suatu proses penegakkan hasil yang dilakukan oleh mereka yang berintegritas, artinya pengawasan dengan penuh integritas dapat dilakukan dengan penegakkan hukum dengan sungguh-sungguh.

Inilah yang menjadi harapan masyarakat, bahwa penyelenggara pemilu dan pilkada haruslah mereka yang memiliki kekuatan moral dan pribadi yang kuat, tidak mudah goyang dalam menghadapi godaan dan gangguan yang menghalangi pelaksanaan tugas. Klaim selama ini bahwa money politics  itu sulit dibuktikan, toh akhirnya dapat terungkap melalui MK melalui perselisihan hasil pasca PSU, inilah fakta persidangan bahwa money politics itu nyata, sungguh-sungguh ada dan fantastis.

Manipulasi pemilih yang terus berulang dari pemilu ke pemilu dan dari pilkada ke pilkada harus diakhiri dengan mengatur secara lebih tegas dan lembaga penegakkan hukumnya yang kredibel. Aspek lain yang harus diperhatikan adalah diperlukan pendidikan politik yang maksimal agar pemilih lebih cerdas dalam menentukan pilihannya dan tidak mudah dimanipulasi oleh elite politik yang berebut kekuasaan dengan iming-iming uang dan barang. Oleh sebab itu, UU pemilu harus lebih tegas mengatur soal ini dan lembaga yang menjalankan fungsi penegakkan hukum diberi peran yang lebih besar untuk menindaknya.

Opsi untuk menghadirkan satu lembaga baru yang mungkin dapat disebut sebagai satu badan peradilan pemilu diperlukan, semua proses yang berhubungan dengan pemilu diselesaikan oleh badan itu, misalnya dibuatlah Badan Peradilan Pemilu yang memiliki fungsi dan peran yang lebih khusus mengadili dan menyelesaikan seluruh sengketa proses tahapan pemilu, mulai dari urusan administrasi hingga perselisihan hasil pemilu. Sementara untuk urusan mengawasi proses pemilu dapat dilakukan oleh masyarakat, kampus, dan organisasi masyarakat sipil, serta saling mengawasi antar sesama peserta pemilu supaya lebih efektif dan maksimal. Bawaslu posisinya dapat diubah menjadi Badan peradilan Pemilu yang disertai juga dengan fungsi pengawasan.

Wallahu a’lam bi shawab

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply