Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pemilu, Bansos, dan Manipulasi Pemilih

×

Pemilu, Bansos, dan Manipulasi Pemilih

Share this article

Oleh: Syarifuddin Jurdi (Dosen Sosiologi Politik UIN Alauddin Makassar)

KHITTAH. CO Pasca Putusan MK No. 135 Tahun 2024, arah perubahan atau revisi Undang-undang (UU) Pemilu akan mencakup keseluruhan dinamika pelaksanaan pemilu serentak 2019 dan 2024 serta keserentakkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. Dalam rangkaian proses pemilu dan pilkada langsung diselenggarakan sejak pertama kali tahun 2004 (Pilpres) dan 2005 dimulai Pilkada langsung sampai dengan keserentakkan pemilu dan Pilkada 2024 menyisakan banyak hal, salah satu dari banyak masalah itu adalah penggunaan kekuasaan untuk mengamankan kepentingan politik petahana (incumbent). Kritik tajam masyarakat sipil terletak pada pemanfaatan kekuasaan untuk memenangkan kandidat tertentu, terutama dalam hal pilkada, petahana akan maksimal agar terpilih kembali atau memperjuangkan agar klan politiknya dapat memenangkan pilkada.

Fase yang paling fenomena penggunaan kekuasaan itu tampak dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2024, suatu pemilu yang menjadi pengalaman bangsa Indonesia yang cukup unik, bagaimana tidak unik, mendekati ujung proses pemilu (kampanye) dan menjelang pemungutan suara dilakukan, Bantuan Sosial (Bansos) yang diberikan pemerintah meningkat tajam, rakyat miskin yang hidupnya terbatas dan memerlukan bantuan, ketika diperhadapkan dengan pemberian bantuan tertentu dalam bentuk uang dan barang sangat diharapkan, bagi mereka itu merupakan keberkahan, suatu dukungan terhadap eksistensi kehidupan mereka.

Pemilih yang hidupnya terbatas secara ekonomi dan masih dalam garis kemiskinan akan sangat merasakan manfaat atas kebaikan elite yang ditunjukkan ketika mereka memperoleh bantuan, tanpa berpikir panjang apa yang akan menjadi dampak dari penerimaan mereka terhadap bantuan itu, sementara elite dan mereka yang berkuasa sangat gemar memberikan bantuan kepada rakyat miskin justru ketika momentum pemilu dan Pilkada seperti pemberian uang dan barang akan sangat ditunggu-tunggu oleh pemilih. Gerakan politik uang atau money politics yang massif pada momen pemilu sebenarnya bukan gerakan menyelematkan rakyat, tetapi suatu gerakan penipuan dan pembodohan terhadap rakyat, mereka yang terpilih sebagai wakil rakyat dengan cara-cara yang rendah dan nista itu, sulit diharapkan akan memperjuangkan kepentingan rakyat, meskipun mereka mengklaim sebagai wakil rakyat dan berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Salah satu fenomena yang paling celaka pada pemilu 2024 adalah pemberian bansos yang dilakukan oleh pemangku kekuasaan dengan menggelontorkan sejumlah bantuan kepada pemilih kelas bawah. Penguasa itu mengklaim bahwa rakyat sangat butuh bantuan, mereka masih hidup serba kekurangan dan miskin.

Atas dasar itu, mereka memberikan bantuan, baik dengan cara-cara yang terhormat tanpa intimidasi maupun dengan cara-cara yang mengancam agar rakyat yang memperoleh bantuan itu memilih calon tertentu atau kandidat yang memiliki koneksi dengan sumber pemberian bantuan. Meskipun sebagian dari rakyat memahami, bahwa bantuan yang diberikan kepada mereka itu berasal dari dana rakyat, dana yang dikumpulkan dari pajak dan pungutan yang legal, bukan dana yang bersumber dari kantong pribadi para elite berkuasa yang secara sadar memanipulasi kebijakan untuk kepentingan politiknya.

Produksi isu dan kondisi rakyat yang seakan-akan membutuhkan bantuan dalam waktu sekejap oleh elite berkuasa merupakan modus yang berulang, tapi pemilu 2024 sangat vulgar dan menyedihkan. Elite berkuasa dengan sengaja memproduksi keadaan masyarakat yang diorkestrasi begitu rupa bahwa rakyat mengalami situasi “darurat”, padahal itu hanya modus untuk tujuan-tujuan elektoral.

Bansos telah dipergunakan oleh mereka yang punya otoritas untuk “membeli suara rakyat”, atau dalam bahasa lain, bansos ditukar dengan suara, tindakan elite yang berulang dalam model pemberian bansos dengan berbagai argumentsi yang mereka rumuskan telah membuahkan hasil, bahwa rakyat seakan-akan telah membenarkan adanya model itu sebagai suatu arena untuk transaksi suara, lebih parah lagi adalah praktik money politics telah menjadi suatu “kebiasaan” yang oleh sebagian rakyat dianggap sebagai praktik yang wajar.

Korelasi antara pemberian uang dan barang oleh elite politik kepada pemilih sangat terkait dengan keberpihakan mereka dalam pemilu. Rakyat yang hidupnya dalam serba kekurangan akan memberikan penilaian yang sangat positif kepada elite yang memberi mereka sesuatu, namun harus disadari bahwa tindakan itu memiliki konsekuensi serius bagi demokrasi dan kedaulatan rakyat.

Model pemilu yang tidak mengandalkan gagasan dan agenda-agenda penguatan nilai-nilai kebangsaan sebagaimana yang diamanahkan para pendiri bangsa akan menghasilkan atau memproduksi model kepemimpinan yang rendah integritas, rendah kualifikasi dan rendah kredibilitasnya. Elite terpilih merupakan produk dari relasi kuasa antara mereka yang memiliki modal/kapital dengan pemilih yang sedang memerlukan dukungan dan bantuan. Model pemilu yang melibatkan dukungan finansial dalam bentuk menyuap pemilih pada momen pemilu merusak demokrasi.

Pembahasan UU pemilu mendesak agar sejumlah isu krusial yang muncul dalam dua kali pemilu terakhir dapat dibicarakan lebih mendalam dengan melibatkan sejumlah kalangan, praktisi, akademisi, penyelenggara, politisi, dan mereka yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia. Dua isu utama dalam soal ini adalah bansos yang dipaksakan pada momen pemilu serta money politics yang seakan-akan sudah menjadi suatu kewajaran dalam praktik demkorasi Indonesia. Isu ini harus memperoleh perhatian khusus dalam pembahasan revisi UU pemilu.

Praktik jual-beli suara saat pemilu yang dilakukan dengan pemberian bansos perlu pengaturan yang tegas dan penegakkan hukumnya, artinya aturannya disertai kebijakan yang memberi sanksi kepada mereka yang melanggar aturan. Apabila praktik pemberian bansos tidak diatur dengan tegas, jelas dan pemberian sanksinya, tentu ke depan, praktik itu akan dilakukan secara berulang-ulang oleh mereka yang memiliki hasrat untuk terus berkuasa dengan memanfaatkan posisi kekuasaannya untuk mengamankan melanggengkan kekuasaan.

Dalam situasi masyarakat yang hidup dalam serba keterbatasan, di mana kemiskinan masih menyelimuti sebagian masyarakat Indonesia, pendidikan yang masih terbatas untuk beberapa wilayah, demokrasi elektoral melalui pemilihan langsung akan rawan dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan dan penggunaan kekuatan ekonomi untuk memanipulasi dukungan pemilih dalam pemilu. Pengaturan soal bantuan sosial dan pemberian berupa bantuan tertentu pada saat kampanye pemilu harus diatur secara ketat supaya pemilu ke depan menjadi pemilu yang kredibel, bermartabat dan menghasilkan kepemimpinan yang bertanggungjawab.

Selain pengaturan mengenai dana kampanye, penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi rakyat, pemberian bantuan oleh kandidat, baik yang bersifat terbuka maupun tertutup dalam bentuk money politics juga harus tegas aturan dan sanksinya. Karena, transaksi suara sering terjadi dalam pasar “gelap” jual beli suara, antara pemilih dan kandidat.

Pemilu 2024 menjadi bukti bahwa kekuasaan digunakan untuk memenangkan kandidat tertentu dengan dukungan dana APBN yang dikonversi menjadi bantuan sosial, sebagian besar rakyat melakukan kritik, bahkan kampus-kampus secara terbuka menyampaikan kritik terhadap penggunaan kekuasaan yang tidak wajar menjelang pemilu 2024. Kita semua sadar bahwa kecurangan dalam pemilu merupakan musuh bersama, baik kecurangan itu dilakukan oleh peserta pemilu maupun kecurangan yang dilakukan pemerintah harus diberi sanksi yang tegas. Misalnya dalam soal yang berhubungan dengan biaya yang harus disiapkan oleh kandidat seperti menyiapkan anggaran untuk tim sukses, anggaran/biaya operasional, anggaran/biaya yang harus disetorkan kepada partai untuk kepentingan kolektif, dan sejumlah anggaran lainnya yang diperlukan untuk mempermudah proses keterpilihan kandidat. Pembiayaan ini harus diatur secara jelas, batasannya, besarannya dan lain sebagainya agar kompetisi berlangsung setara antar kandidat.

Indonesia yang luas terdiri dari berbagai suku, etnik, bahasa dan agama, terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki peluang yang berbeda dalam mengakses informasi, pendidikan, dan kesempatan pada bidang ekonomi. Ketidaksetaraan dalam akses pada dunia pendidikan dan kemampuan ekonomi yang berbeda, membuka ruang bagi praktik money politics yang meluas, hal itu tampak dalam sejumlah penilaian terhadap pemilu 2024 yang “brutal” dalam banyak hal, mulai dari pelanggaran norma-norma hukum sampai pada praktik money politics yang marak dilakukan, hampir oleh sebagian calon legislatif yang memperebutkan kursi DPR dan DPRD. Pointnya harus ada tindakan terhadap ptaktek yang tidak lazim itu agar pemilu tidak digunakan oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi, kelompok atau kekuatan tertentu, mereka tidak menempatkan kepentingan rakyat sebagai agenda utama yang dikerjakan ketika terpilih sebagai elite berkuasa.

Pemilu yang berkualitas akan sangat ditentukan oleh proses yang dilakukan, indikator yang menentukan kualitas demokrasi ditentukan oleh atur main yang adil antar kompetitor, pemilih akan memperoleh pendidikan politik yang baik, penyelenggara yang menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan imparsial, peserta pemilu akan bersaing secara proporsional serta penegakkan hukum yang adil tanpa pandang bulu.

Wallahu a’lam bi shawab

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply