Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa

×

Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

“Apakah ada yang dapat memastikan hari esok? Bahwa kita pasti jaya atau sebaliknya terpuruk. Begitu pula nasib Indonesia ke depan seperti apa”. Inilah pertanyaan dan pernyataan Prof. Haedar Nashir yang saya kutip dari bukunya, Indonesia Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa.

Berdasarkan ungkapan tersebut di atas, maka berbagai ikhtiar harus diupayakan secara maksimal, begitupun harapan dipancarkan dalam spektrum kehidupan. Saya yakin tidak keliru, jika narasi yang terus kami—sebagai jajaran penyelenggara pemilu—lontarkan ke publik “Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa” dimaknai mengandung ikhtiar dan sekaligus harapan.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam buku Indonesia Jelang Satu Abad: Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Keindonesiaa pada sub judul “Integrasi Nasional dalam Taruhan” (2022) bahwa, “Salah satu modal sosiokultural yang teramat penting bagi kelanjutan hari depan Indonesia adalah manakala terpelihara dan kukuhnya rajutan integrasi nasional”.

Buya Syafii pun menegaskan “Kita tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final. Masih dalam proses menjadi, belum stabil benar”. Saya pun ingin mengatakan bahwa kemajemukan atau pluralitas Indonesia sebagai bangsa dan negara, itu adalah keniscayaan, sehingga berpotensi lahirnya beragam kepentingan, cara pandang, dan dinamika yang mewarnainya.

Idealnya Pemilu dipandang—dan diikuti langkah praksis—sebagai wadah kolektif, ruang kebersamaan, dan starting point menyusun bata bangunan keindonesiaan yang lebih maju. Pemilu tidak boleh menjadi arena polarisasi dan mengumbar hasrat kuasa tanpa batas. Meskipun, Thomas Hobbes memandang bahwa “hal yang paling purba, paling naluriah, paling manusiawi, dan sekaligus paling fundamental yang telah selalu bermukim di dalam diri kita semua manusia, yaitu: hasrat (desire) dan kuasa (power).

Pemilu sebagai sarana memilih pemimpin dan wakil rakyat yang berfungsi sebagai nakhoda dalam menjalankan kapal-kebangsaan menuju pulau harapan, idealnya ditopang dengan the power of love (kekuatan cinta), bukan justru sebaliknya the love of power (cinta kekuasaan). Indonesia sebagai kapal kebangsaan—sebagaimana saya sering ungkapkan dalam beberapa tulisan yang lain—kita semua ada di atasnya atau berada di dalamnya.

Ke mana pun kapal itu berlayar, maka konsekuensinya akan dirasakan bersama, tanpa kecuali ketika bocor dan tenggelam, selain menjadi tanggungjawab bersama, termasuk pula dampaknya akan dirasakan bersama. Pemilu dan segala dinamika di dalamnya, berkonsekuensi logis dan memberikan implikasi besar dan strategis terhadap perjalanan ke mana Indonesia akan berlayar.

Jadi, tidak ada alasan untuk tidak menjadikan Pemilu sebagai wadah bersama merintis dan merancang masa depan Indonesia, minimal satu periode ke depan, dan kita harus pula memahami bahwa perjalanan suatu bangsa dan negara berada dalam prinsip kontuinitas. Di dalamnya tidak boleh ternodai oleh sikap dan tindakan yang menggambarkan antitesa dari integrasi bangsa.

Salah satu upaya yang kami lakukan selaku penyelenggara pemilu, agar Pemilu benar-benar bisa menjadi sarana integrasi bangsa yaitu, memaksimalkan sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk menghindari “kampanye SARA dan berbagai modus operandinya”. Kampanye SARA sangat potensial menggerogoti dan bahkan merusak sendi-sendi integrasi bangsa atau lebih lazim dinarasikan “integrasi nasional”.

Suku, agama, ras, dan antar golongan (Sara), jika menjadi bagian strategis dalam aktivitas kampanye yang diperankan oleh aktor tertentu, memiliki potensi besar merusak integrasi bangsa, karena keempat hal tersebut merupakan sesuatu yang menjadi identitas bagi setiap orang dan di dalamnya mengandung sensitivitas. Apa saja yang menjadi identitas dan di dalamnya mengandung sensitivitas, bisa dipastikan secara psikologis menimbulkan reaksi atau respons yang memicu efek lanjutan yang lebih besar dan buruk.

Indonesia sebagai negara-bangsa memiliki kurang lebih 1.340 suku bangsa, 6 agama resmi yang diakui, terdiri dari beberapa ras (seperti Malayan-Mongoloid, Asia-Mongoloid dan bahkan ada Kaukasoid), serta banyak golongan. Kemajemukan yang serba aneka ini, dalam peta-sosiologis Indonesia haruslah dipandang sebagai keniscayaan, takdir ilahi, dan anugerah luar biasa.

Dalam pemilu idealnya keragaman yang ada sebagai keniscayaan harus fokus melihat pada titik-temunya, bukan pada perbedaannya. Setiap anak bangsa harus mampu mengangkat dirinya ke atas, menuju puncak cita-cita dan tujuan nasional, agar ketika melihat ke bawah, dirinya tidak lagi melihat perbedaan yang ada. Semua tampak sama, jika dilihat dari atas pada tujuan dan cita-cita yang mulia nan ideal.

Kampanye SARA, bukan hanya bermuara pada kerusakan kolosal berupa disintegrasi bangsa, namun di tingkatan lokal, pada skala yang lebih kecil juga sangat merusak. Bisa menimbulkan konflik internal.

Dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat pelaksanaan dan tahapan penyelenggaraan pemilu (termasuk pemilihan), ada sejumlah pasal yang menegaskan larangan yang pada pokoknya terkait “SARA” lengkap dengan sanksi berupa pidana penjara dan denda uang. Di luar konteks kepemiluan pun, tanpa kecuali dalam ruang “informasi dan transaksi elektronik” sangat jelas aturan, larangan, dan sanksinya terkait isu yang berbau Sara.

Selain pendekatan preventif, demi menghindari kampanye SARA dan mewujudkan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa, perlu memaksimalkan pula langkah preemtif. Menyampaikan nilai-nilai positif dibalik kemajemukan atau pluralitas yang ada.

Adalah Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed melalui Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar-nya, menegaskan “Pluralitas adalah realitas. Manusia berbeda secara basyariah (fisik), syuubiyah (suku bangsa), dan diniyah (agama). Pluralitas adalah takdir dan sunnatullah: sesuatu ang terjadi sesuai kehendak dan hukum Allah”.

Selain hal tersebut di atas, maka sikap dan tindakan yang mencerminkan toleransi dan tenggang rasa, harus dikedepankan tanpa kecuali dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilihan. Hanya saja, jika kita membaca secara saksama naskah pidato Abdul Mu’ti masih dijumpai adanya intoleransi yang mewarnai dinamika kehidupan kebangsaan kita, terutama di kalangan mahasiswa dan pelajar, dan itupun lebih banyak intoleransi yang sifatnya internal seagama.

Kita pun, tanpa kecuali dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilihan harus senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa “bhineka tunggal ika”. Saya pun, senantiasa mengharapkan untuk menjadi sikap dan tindakan kolektif bersama, agar nilai dan ibrah dari sejarah perumusan Pancasila oleh para founding fathers, di mana sila “ketuhanan” awalnya berada dalam sila kelima sebagai posisi pengunci, akhirnya disepakati menjadi sila pertama sebagai posisi pembuka.

Perumusan dan pergeseran nilai “ketuhanan” tersebut di dalamnya mengandung harapan dan nilai, agar “fundamen moral” menjadi dasar utama atas segala fundamen politik dan kemanusiaan yang lain (sila kedua sampai sila kelima).

Saya—dan sahabat pembaca mungkin juga—menyakini bahwa jika moralitas, nilai agama menjadi fundamen termasuk dalam pelaksanaan Pemilu/Pemilihan, bisa dipastikan mampu mewujudkan harapan dan cita ideal, termasuk pula integrasi bangsa tentang akan terjaga secara utuh.

Ini hanya seuntai perspektif dari saya, yang merefleksikan seperti apa pandangan yang bermuara pada kesimpulan “Pemilu sebagai Sarana Integrasi Bangsa”.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply