Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pemilu Serentak dan Penguatan Sistem Presidensial

×

Pemilu Serentak dan Penguatan Sistem Presidensial

Share this article

Oleh: Syarifuddin Jurdi (Dosen Sosiologi Politik UIN Makassar)

KHITTAH. CO – Diskusi mengenai keserentakkan pemilu merupakan keniscayaan menjelang proses pembahasan terhadap rencana perubahan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Point diskusi yang sudah muncul sejak evaluasi pemilu serentak 2024 dan proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 terkait dengan posisi penyelenggara pemilu, keserentakkan pemilu dan digitalisasi pemilu seperti penggunaan aplikasi yang mempermudah proses tahapan pemilu yang akan berpengaruh pada penghematan pembiayaan.

Pemilu dan pilkada diselenggarakan pada tahun yang sama, otomatis beban kerja penyelenggara terfokus pada satu atau dua tahun (2023-2024). Pascapemilu dan pilkada 2024, penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) nyaris tidak memiliki kegiatan dan program yang mereka kerjakan. Penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan secara bersamaan itu menjadi poin evaluasi untuk melakukan rekayasa sistem pemilu dan keserentakkan yang ideal bagi penguatan demokrasi dan sistem presidensial Indonesia.

Dalam salah satu forum diskusi di Jakarta pada 29 April 2024, Ketua Komisi II DPR RI yang secara khusus membidangi pemilu dan penyelenggaranya merespons usulan penyelenggara pemilu yang mengusulkan agar pemilu presiden dan legislatif dipisahkan waktunya dengan pilkada. Pertimbangan waktunya, beban kerja penyelenggara, dan kegiatan penyelenggara yang hanya terpusat pada satu tahun akan “mengancam” eksistensi institusi penyelenggara pemilu.

Ketua Komisi II DPR RI menyebut bahwa potensi perubahan UU pemilu dapat dilakukan, menurutnya “Kalau pemilu 2029, ya minimal pilkadanya 2030. Tahun 2031 juga tidak apa-apa”, idealnya menurut Ketua Komisi II antara pemilu legislatif dengan pilkada terdapat jeda waktu untuk mempersiapkan perangkatnya dan segala keperluan yang berhubungan dengan penyelenggaraannya. Jeda waktu bisa digunakan untuk melakukan evaluasi pemilu dan mempersiapkan pilkada berikutnya.

Apabila opsi adanya pilkada menjadi isu sentral dalam pembahasan UU Pemilu dan menyatukannya, kemungkinan akan membahas beberapa undang-undang sekaligus. Ini mengaca pada lahirnya UU No. 7 Tahun 2017 yang menyatukan beberapa undang-undang yakni UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu, maka pembahasan UU Pemilu mendatang yang sedang dipersiapkan pemerintah dan DPR, selain tiga undang-undang tersebut, potensial akan masuk juga UU Pilkada serta UU Partai Politik dalam satu bentuk perundangan yang kemudian dapat disebut dengan Omnibus law Pemilu. Tetapi, jika pemerintah dan DPR dengan berbagai pertimbangan dalam pembahasannya berdasarkan usul-saran masyarakat, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya, bisa memilih opsi pilkada sebagaimana wacana terdahulu dikembalikan kepada DPRD yang memilih kepala daerah, merekalah yang akan memilih gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan walikota-wakil walikota.

Potensi penyatuan undang-undang pemilu dan pilkada serta partai politik terbuka luas, tapi rencana perubahan UU Pemilu sendiri membuka ruang adanya opsi menggeser lagi penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Kalau 2024, kita menyelenggarakan seluruh seleksi kepemimpinan (pusat dan daerah, eksekutif dan legislatif), semua perhatian rakyat fokus pada pesta demokrasi yang paling dahsyat di dunia ini, rakyat tidak memiliki kesempatan untuk menyimak dengan baik apa yang menjadi ide dan gagasan para pejabat itu ketika melakukan kampanye pemilu, pilpres, dan pilkada.

Mereka yang terpilih sebagian bukan karena tawaran program dan agenda perubahan, tetapi karena faktor lain yang kadang-kadang tidak berhubungan langsung dengan posisi jabatannya. Misalnya, pemilu legislatif yang disatukan dengan pemilu presiden, itu menyebabkan gagasan, pemikiran serta program yang ditawarkan calon legislatif tidak menjadi perdebatan publik, bahkan tidak diketahui oleh para pemilih, baik para caleg itu sengaja melakukan tindakan itu maupun karena faktor tertentu terutama menonjolnya diskusi publik tawaran program dan agenda perubahan yang dilakukan oleh para kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Model Pemilu Serentak

Pemilu serentak adalah pemilu yang dilaksanakan untuk memilih pejabat eksekutif dan legislatif dalam waktu yang bersamaan, tidak memisahkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Namun demikian, makna pemilu serentak bisa bermacam-macam, tergantung kebutuhannya, misalnya pemilu yang diselenggarakan secara bersamaan untuk memilih pejabat eksekutif pusat dan pejabat eksekutif daerah pada waktu yang bersamaan, sementara pemilihan legislatif pusat dan legislatif daerah dipilih pada waktu yang berlainan. Makna serentak juga dapat diartikan sebagai penyatuan pemilihan untuk memilih pejabat pusat – baik pejabat eksekutif maupun pejabat legislatif pada waktu yang bersamaan (presiden-wakil presiden, DPR RI dan DPD RI). Dan ini, kita sebut sebagai pemilu nasional, sementara pada waktu yang lain selisih waktunya sekitar dua setengah tahun dari pemilu nasional diselenggarakan pemilu untuk memilih pejabat daerah yakni memilih gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, ini kita sebut dengan pemilu lokal.

Makna keserentakan bisa bervariasi dan beragam tergantung kebutuhan dan sistem politik yang dipilih. Oleh sebab itu, makna keserentakan dalam konteks ini luas, bisa mencakup eksekutif, legislatif maupun wilayah atau daerah secara bersamaan melaksanakan pemilu. Dalam sejumlah kasus bahwa negara-negara yang menganut sistem presidensial menerapkan pola yang berbeda dalam penyelenggaraan pemilunya, ada yang melaksanakan secara serentak dan ada pula yang tidak, Indonesia misalnya.

Sejak pemilu pertama pasca-Orde Baru tahun 1999 sampai pemilu 2014, model penyelenggaraan pemilu dilaksanakan secara terpisah antara legislatif dengan eksekutif, kecuali pemilu 1999 – presiden dipilih oleh anggota MPR hasil pemilu legislatif, sementara pada pemilu 2004, 2009 dan 2014, pemilu presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif. Pilihan ini dalam konteks penguatan sistem presidensial dapat dilakukan, bahwa pemilu serentak sebagai proses memilih pejabat eksekutif dan anggota legislatif secara bersama sebagaimana pemilu serentak 2019 yang menggabungkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada waktu yang sama.

Sejumlah negara menyelenggarakan pemilu dengan beragam model sesuai kebutuhannya, format keserentakannya bervariasi, ada negara yang menggabungkan pemilu untuk memilih presiden, legislatif, dan sekaligus memilih pejabat lokal/daerah seperti yang diterapkan pada sejumlah negara di Amerika Latin (Brazil dan Mexico). Beberapa negara lainnya memisahkan pemilu nasional (eksekutif dan legislatif) dan pemilu lokal (eksekutif dan legislatif) seperti yang diterapkan Korea Selatan.

Demikian pula dengan model keserentakan pemilu nasional dan diikuti oleh sebagian pemilu lokal. Pada prinsipnya, pemilu serentak itu menggabungkan pemilu legislatif dan eksekutif ataupun pemilu lokal dan pemilu nasional dan atau berlaku sebagian disesuaikan dengan konteks yang dihadapi, termasuk keserentakan pemilu 2019 dan pemilu serentak 2024 di Indonesia.

Praktik sistem presidensial sejak 2004-2014 belum berjalan efektif. Pemilu presiden yang diselenggarakan setelah pemilu legislatif tidak memperkuat sistem presidensial, mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi  (checks and balances) antara pemerintah dan DPR belum berjalan sesuai dengan amanah konstitusi, pemerintahan pada periode itu terbelah, koalisi politik dilakukan setelah adanya hasil pemilu, bahkan koalisi dilakukan justru terjadi setelah ada hasil pemilu presiden.

Keterbelahan dan ketidakefektifan akan dapat diatasi dengan menyerentakkan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Secara faktual itu terlihat dari pelaksanaan pemerintahan setahun pertama setelah pemilu serentak 2019, tapi hanya pada level nasional, sementara keterbelahan dan ketidakefektifan masih terus berlangsung pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Pemilu serentak 2019 dan 2024 memberikan kontribusi positif bagi penguatan sistem presidensial, namun dalam praktiknya beban penyelenggara yang cukup berat dalam menyiapkan seluruh tahapan hingga pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, serta kendala yang dihadapi oleh pemilih dalam memberikan suaranya. Pemilu serentak 2019 dan 2024, selain rumit dan membebani penyelenggara, juga mengakibatnya meninggalnya penyelenggara ad hoc mencapai 886 jiwa dan yang sakit mencapai 5175 jiwa yang tersebar di 34 provinsi.

Untuk memperkuat checks and balances antara pemerintah dan parlemen, baik tingkat nasional maupun tingkat provinsi dan kabupaten/kota diperlukan adanya pembaruan sistem pemilu serentak yang memastikan penguatan sistem presidensial yang dikehendaki. Penggabungan pemilu legislatif dan presiden pada level nasional serta penggabungan pemilu legislatif dan eksekutif pada level provinsi dan kabupaten/kota menjadi pilihan ideal.

Penyatuan pemilu nasional akan menghasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam menjalankan pemerintahan, demikian pula dengan penyatuan pemilu lokal akan memberikan kepastian adanya relasi konstruktif antara eksekutif dengan legislatif lokal. Keuntungan lain adalah pemilu akan lebih mudah dan ringan, baik bagi penyelenggara dalam menyiapkan tahapan maupun bagi pemilih dalam menyalurkan hak pilihnya serta isu politik yang diprogram kandidat akan lebih fokus dan terarah sehingga masyarakat lebih jelas dalam menentukan pilihan politiknya.

Wallahu a’lam bi shawab.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply