Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pendidikan Pemilih dalam Pencegahan Politik Uang

×

Pendidikan Pemilih dalam Pencegahan Politik Uang

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Pembahasan pendidikan pemilih, dan politik uang khususnya upaya pencegahannya, muara besarnya adalah masa depan Indonesia yang lebih baik, demokratis, berdaulat, dan mampu menjamin kesejahteraan rakyat dengan mengedepankan asas keadilan. Dalam hidup ini, saya senantiasa mengedepankan prinsip apresiatif, dan optimisme (sebagaimana saya rujuk dari Kamus Ilmiah Populer karya Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry, tambahan ‘isme’ di sini bukan bermakna ideologi atau paham, tetapi ‘keadaan’. Berarti keadaan/perasaan optimis), tetapi melintas dalam benak, bahwa dari judul di atas akan ada pembaca yang pesimis karena menilai, bahwa dalam realitas kehidupan masih ada praktik “politik uang”.

Selain itu, pembicaraan tentang dua tema besar di atas “pendidikan pemilih”, dan “politik uang”, pikiran pembaca, terutama akan tertaut atau menarik garis relasi dengan kontestasi demokrasi, yaitu pemilu dan pemilihan, yang secara kontekstual menjadi ruang dan waktu. Dalam forum-forum “Berbagi Ilmu” termasuk dalam forum pembekalan kader DP3 (Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan), apalagi judul tulisan di atas adalah materi utama yang dipercayakan kepada saya selaku fasilitator DP3, menyebut/menjelaskan pemilu dan pemilihan, saya tautkan dan membangun analogi atau pengandaian, Indonesia ibarat kapal. Saya menyebutnya “kapal kebangsaan”.

Pengandaian “kapal kebangsaan” ini menjadi urgen dan akan memberikan implikasi besar untuk membangun pemahaman dan kesadaran, bahwa “pendidikan pemilih” menjadi penting, dan tidak kalah pentingnya “pencegahan politik uang” tersebut. Melalui pendidikan pemilih mengandung harapan besar, salah satunya memahami defenisi, bentuk, modus, dan terutama dampak negatif “politik uang”.

Menjalani hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ibaratnya adalah sedang berlayar menuju “pulau harapan”. Kita semua berharap bahkan ini adalah impian besar, bisa tiba sampai di pulau harapan, yang telah menjadi tujuan dan cita-cita nasional sebagaimana telah dirumuskan oleh para founding fathers dan termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kita sedang berlayar menuju pulau harapan dengan menggunakan, yang saya menyebutnya “kapal kebangsaan”. Dibutuhkan nakhoda yang tangguh, peduli, berani, berintegritas dan profesional, serta memiliki leadership yang mampu mengarahkan “kapal kebangsaan” serta segala yang menjadi bagian di dalamnya (termasuk rakyat), ke pulau harapan.

Nakhoda kapal kebangsaan ini, tentunya dipilih, ditentukan, dan ditetapkan melalui kontestasi demokrasi: pemilu dan pemilihan. Dan yang memilih adalah rakyat, dalam hal ini adalah “pemilih”. Hal ini relevan dengan konstruksi konstitusi bangsa dan negara Indonesia, yang menganut sistem demokrasi, dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dalam pengertian lain, pemilik kapal atau kapal kebangsaan ini adalah rakyat.

Pengandaian “kapal kebangsaan”, dan pemahaman terkait sistem demokrasi, selain memantik pemahaman mengenai urgensi, signifikansi dan implikasi besar dari pemilu dan pemilihan, termasuk pula makna dan peran penting partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pemilihan sebagai sarana mewujudkan secara langsung kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, yang bisa pula saya menyebutnya “nakhoda” kapal kebangsaan. Dan yang utama dari ini adalah menjadi pemilih yang cerdas dan aktif, serta mencegah politik uang.

Pendidikan pemilih, dan pencegahan politik uang semakin menjadi urgen di balik pemahaman “kapal kebangsaan” karena bisa dipastikan bahwa sikap dan perilaku “nakhoda” akan sangat menentukan apakah kita akan tiba atau tidak di pulau harapan tersebut. Bisa jadi dan ini yang harus diwaspadai pula, jika kapal ini justru menuju pulau lain: pulau harapan personal, keluarga, dan golongan nakhoda, dan pulau yang diimpikan oleh bangsa dan negara lain. Selain itu, bisa saja kapal ini “oleng”, dan mudah-mudahan tidak tenggelam dalam samudera kepentingan pribadi, keluarga dan golongan tertentu.

Di atas kapal kebangsaan ini, si pemilik kapal atau rakyat, bukan hanya memilih nakhoda, tetapi harus mampu mengontrol dan mengawasi, dan bahkan idealnya harus menerapkan mekanisme evalusi yang benar dan baik. Dan selain itu, saya selipkan sedikit penegasan, bahwa tidak boleh pula ada rakyat yang berada di atas kapal kebangsaan ini, yang berupaya menggerogoti, melubangi dengan ideologi atau cara pandang yang tidak relevan dengan apa yang menjadi nalar kebangsaan kita. Seperti berupaya menjadikannya sebagai negara kapitalis liberal, komunis, termasuk pula tidak diupayakan untuk menjadi negara Islam. Pancasila sudah final sebagai konsensus bersama.

Politik Uang

Melihat data hasil studi yang dilakukan oleh The Latin American Public Opinion Project (LAPOP), menempatkan Indonesia, yang saya menyebutnya “posisi buruk” di dunia sebagai “yang banyak melakukan praktik jual beli suara atau politik uang”. Bahkan sebagaimana dikutip oleh tim penyusun modul DP3 dari Purnamasari dan LIPI bahwa, “Dari survey yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2019 yang menunjukkan sebanyak 40% masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019. Kemudian sebesar 37% masyarakat Indonesia mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka”.

Politik uang, sebagaimana yang dikutip oleh penyusun Modul DP3 dari Aspinal & Sukmajati, adalah “Upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap”. Ada banyak defenisi tentang politik uang, termasuk pula bisa dipahami dari Pasal 187A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mem[p]engaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengna cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu…”.

Selain defenisi, politik uang pun memiliki beragam bentuk dan modus yang digunakan. Tanpa kecuali dalam politik uang ini pun akan ditemukan, apa yang selama ini dimaknai “kekuatan oligarki” yang menghasilkan kesimpulan pengamat dan menyebutnya “demokrasi oligarki”. Tanpa kecuali yang lazim didengar masyarakat dengan istilah “cukong”.

Selain pemahaman di atas terkait politik uang, yang paling utama yang harus dipahami bersama adalah dampak negatif politik uang. Dampak politik uang ini, tidak hanya merusak kehidupan demokrasi secara luas, tetapi merugikan semua pihak, tanpa kecuali pelaku, jika mau memahami dan menyadarinya.

Dari modul DP3 yang saya pahami, ternyata bagi kandidat, praktik politik uang bisa dipastikan akan merugikan karena: Pertama, biaya politik unguk mengikuti kontestasi pemilu/pemilihan sebagai kandidat/pasangan calon tertentu menjadi sangat tinggi. Efek lanjutan ini, terkadang ada prinsip atau paradigma “mengembalikan modal”. Dan kedua, Kandidat/pasangan calon menjadi tersandera kepentingan politik balas budi dalam hal kebijakan atau pun uang yang pada akhirnya cenderung mengarah pada perilaku korupsi.

Bagi partai politik, praktik politik uang sangat merugukan karena: Pertama, partai politik akan terjebak dalam sistem politik pragmatis dengan mengusung kandidat/pasangang calon yang bukan dari kader partai. Kedua, membuat kaderisasi kepemimpinan dalam partai politik tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Dan ketiga, tujuan partai politik hanya bersifat jangka pendek dari koalisi yang diusung.

Bagi pemilih, praktik politik uang merugikan karena: Pertama, menjadikan pilihan kandidat paslon pada penyelenggaraan pemilu dan pemilihan semakin terbatas. Kedua, kandidat/pasangan calon yang tersedia bkan berasal dari kaderisasi tetapi kandidat/pasangan calon yang bersifat instan sehingga pemilih tidak mendapatkan kandidat/pasangang calon yang berkualitas. Dan ketiga, pemilih terjebak dalam pilihan yang memberikan keuntungan sesaat yaitu dengan mencari tawaran uang yang lebih tinggi.

Bagi penyelenggara, praktik politik uang merugikan karena: Pertama, penyelenggara kesulitan untuk menindak karena kesepakatan dilakukan secara rahasia prosesnya dan sanksi harus berkekuatan hukum tetap dahulu baru bisa dijatuhkan. Dan kedua, penyelenggara (terkesan) hanya bisa mengimbau untuk pencegahan praktik tersebut dilakukan.

Dari uraian di atas yang menegaskan bahwa praktik poltik uang, sesungguhnya merugikan semua pihak, maka sebaiknya pencegahan politik uang harus dilakukan secara bersama-sama, bukan hanya oleh penyelenggara pemilu, tetapi termasuk oleh peserta pemilu sendiri dan terutama oleh pemilih (apalagi pemilih yang menyadari posisisnya selaku rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi).

Bagi saya jika mencermati perspektif input-proses(process)-output-outcome, dan termasuk melihat positioning masing-masing, maka yang paling strategis dan memiliki peran penting dan besar untuk mencegah politik uang adalah rakyat, terutama dalam hal ini adalah yang berstatus sebagai “pemilih”. Bahkan integritas atau kualitas pemilu dan pemilihan, oleh pemilih bisa dijamin mulai dari “input” sampai “outcome”. Sedangkan kami bagi penyelenggara, tentunya hanya mampu menjamin langsung hanya sampai “output”. Mengapa disimpulkan demikinan? Karena penyelenggara terikat oleh aturan, kode etik dan syarat administratif tertentu, sehingga meskipun penyelenggara mengetahui dengan baik rekam jejak seorang kandidat tertentu, dirinya tidak bisa mengarahkan dan memengaruhi pemilih untuk memilih atau tidak memilih.

Pendidikan Pemilih

Urgensi pemilu dan pemilihan, kesadaran akan sistem demokrasi, peran dan positioning pemilih, maka upaya yang bisa dilakukan dan dimaksimalkan oleh penyelenggaa pemilu dalam rangka memaksimalkan, meskipun sifatnya tidak langsung, untuk menjamin kualitas sampai pada dimensi “outcome” adalah melalui pendidikan pemilih. Terkait pendidikan pemilih, penyelenggara pemilu, telah melakukan berbagai upaya, salah satunya yang dilaksanakan oleh KPU adalah program DP3 (Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan). Meskipun dalam akronim ini hanya menyebut desa, tetapi sesungguhnya termasuk mencakup kelurahan.

Secara sederhana, pendidikan pemilih—salah satunya bisa dipahami dari Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2018—adalah “Proses penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran pemilih tentang pemilu”. Jadi poin utamanya bukan hanya sampai pada pengetahuan, tetapi termasuk dan terutama pemahaman dan kesadaran. Harapan lain pendidikan pemilih adalah menjadikan pemilih semakin cerdas dan aktif.

Pendidikan pemilih dalam upaya memberikan pengetahuan kepada pemilih, dimuarakan pada harapan agar segala hal teknis terkait proses, tahapan, regulasi yang mengikat dalam pemilu/pemilihan, dan termasuk aktor dan/atau stakeholder yang ada, tanpa kecuali perilaku, dampak dan sanksi politik uang harus dipahami dengan baik oleh masyarakat. Mekanisme pelaporan, jika menemukan sesuatu yang keliru dalam proses dan tahapan yang ada. Minimal hal ini, bisa menjadi gambaran terkait pengetahuan apa saja yang harus diketahui.

Pendidikan pemilih dalam upaya memberikan pemahaman dan kesadaran kepada pemilih, tidak hanya fokus pada hal-hal teknis, tetapi termasuk yang sifatnya motivasi, nalar dan kesadaran kebangsaan. kesadaran konstitusional, seperti penggambaran dan analogi “kapal kebangsaan” di atas. Pilihan setiap pemilih akan terakumulasi pada masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pemilih memiliki kebebasan dalam memilih, namun yang harus disadari pula bahwa konsekuensi atas setiap pilihannya, pemilih tidak memiliki kebebasan untuk memilihnya. Rumus ini berlaku secara umum dalam kehidupan sosial, bahwa memang kita memiliki kebebasan berkehendak termasuk menentukan pilihan, tetapi terkait konsekuensi atau dampaknya, tidak bisa dipilih. Artinya, memilih calon yang buruk atau baik, itu haknya pemilih, tetapi dampak dari pilihannya, terutama jika memilih yang “buruk” maka tidak bisa dipilih, bahwa hasilnya harus baik.

Berbicara tentang kesadaran, sebenarnya harus pula berbicara tentang konsep diri dan nalar kebangsaan. artinya apa? bahwa untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran termasuk dalam hal pemilu dan pemilihan, maka tidak bisa dilepaskan dari pemahaman yang baik, benar dan matang dari seseorang terkait “konsep diri”-nya termasuk relevan dengan “nalar kebangsaan”-nya.

Pembaca mungkin pernah atau sering melihat spanduk yang dibuat oleh KPU tanpa kecuali KPU Kabupaten Bantaeng. Coba perhatikan dan/atau ingat di bagian pojok/sudutnya (bawah atau atas) ada frasa “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”. Berdasarkan kajian saya pribadi, ini bukan hanya “slogan” atau “tagline” semata. Ini mengandung kesadaran filosofis dan ideologis yang memiliki implikasi besar untuk mewujudkan pemilu dan/atau pemilihan yang berintegritas/berkualitas. Dan termasuk kesadaran kebangsaan dan konstitusional akan peran penting pemilih terhadap masa depan Indonesia.

Bagi saya, bahkan ini “Pemilih Berdaulat Negara Kuat” harus dipertegas untuk dipahami secara ideologis. Meskipun Kuntowijoyo menegaskan pergeseran paradigma pemahaman akan kebenaran dari mitos, ideologi ke ilmu, karena dipandang ideologi masih bersifat subjektif, namun bagi saya dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, pemahaman dan kesadaran ideologis ini masih sangat penting.

“Pemilih Berdaulat Negara Kuat” menegaskan dan memberikan key word bahwa syarat utama agar negara ini menjdi kuat, maka pemilihnya harus berdaulat. Ini relevan dengan kesadaran kontitusional rakyat Indonesia. Di mana dirinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi, yang harus terus disadari dan diimplementasikan dalam setiap konteks kehidupan, terutama dalam kontestasi demokrasi, pemilu dan pemilihan.

Selain menjadi tujuan dan harapan jangka panjang dari pendidikan pemilih, menjadi pemilih cerdas dan aktif bagian daripada interpretasi operasional dari “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”.

Reinterpretasi dan sekaligus representasi dari “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”, dan “pemahaman dan kesadaran dari hasil pendidikan pemilih” adalah bagaimana pemilih menjadi cerdas dan aktif. Menjadi cerdas, termasuk relevan dengan pemahaman dan kesadaran filosofis dan ideologis di atas. Sedangkan menjadi aktif, berarti pemahaman filosofis dan ideologis pemilih tersebut diterjemahkan dengan benar dan baik dan dioperasionalisasikan dalam dimensi praksis.

Pemilih yang memiliki kesadaran, maka dirinya akan aktif termasuk mencari tahu dan/atau mendaftarkan dirinya dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), tanpa kecuali dalam upaya yang sedang dilakukan oleh KPU, yaitu Pemuktahiran Data Pemilih Berkelanjutan, maka pemilih/calon pemilih akan pro aktif, karena ini menyangkut hak kontitusionalnya yang harus diperjuangkan dan termasuk untuk masa depan bangsa dan negaranya, di mana dirinya menjadi bagian di dalamnya, sehingga apa pun keadaannya ikut dirasakan.

Pemilih yang cerdas, dan memiliki kesadaran filosifis dan ideologis, akan selalu berupaya dan berperan aktif untuk mencegah politik uang, karena perilaku atau tindakan ini adalah bagian daripada yang menjadi embrio kehancuran masa depan bangsa dan negara tanpa kecuali masa depan dirinya. Bahkan bagi mereka, berupaya memengaruhi pemilih lainnya, untuk bersama-sama dalam pencegahan politik uang secara massif, dengan berbagai cara yang dibenarkan sesuai regulasi yang ada.

Pemilih yang cerdas, juga akan aktif untuk memahami segala hal yang menyangkut pemilu, pemilihan, kehidupan demokrasi, hak konstitusional, dan dampak negatif politik uang. Dan pemahamannya ini, tidak hanya berhenti sampai pada dirinya semata, melainkan terus ditransfer ke pemilih lainnya, agar memiliki sikap dan tindakan yang sama demi mewujudkan pemilu dan pemilihan berintegritas/berkualitas, dan kehidupan yang lebih demokratis.

Pemilih yang cerdas, dan memiliki kesadaran filosofis dan ideologis baik terhadap “Pemilih Berdaulat Negara Kuat” maupun terhadap analagi “Kapal Kebangsaan” di atas, akan senantiasa aktif mengontrol perilaku dan tindakan penyelenggara pemilu dan peserta pemilu, agar tetap dalam koridor hukum yang digariskan. Selain itu akan mampu menerapkan mekanisme yang baik dan cerdas. Artinya jika sudah terlanjut dipilih, lalu nyatanya tidak sesuai harapan, maka minimal, pada saat kontestasi demokrasi berikutnya, dirinya akan memiliki perhitungan yang matang, terhadap yang bersangkutan.

Ruang yang sangat terbatas ini, tentunya tidak cukup untuk mengurai semuanya, namun yang terakhir yang ingin saya tegas dan sekaligus sebagai harapan besar, bahwa politik uang memberikan dampak negatif bagi kita semua, olehnya itu mencegah secara bersama-sama, adalah langkah cerdas untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Cegah politik uang agar bangsa dan negara kita bebas dari koruptor, dan selanjutnya mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaneg. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply