Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Pendidikan sebagai Rahim Generasi Bangsa

×

Pendidikan sebagai Rahim Generasi Bangsa

Share this article

Oleh: Ardiansyah*

KHITTAH. CO – Bangsa yang besar harus ditopang oleh berbagai faktor, salah satunya adalah sumber daya manusia yang unggul. Sumber daya manusia inilah yang akan memimpin bangsa di masa depan. Untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, tentu diperlukan kapasitas yang mumpuni dan mampu bersaing secara global. Melalui pendidikan, generasi penerus bangsa dibentuk dan ditempa, dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD), kelompok bermain (KB), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), hingga Perguruan Tinggi.

Namun, pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ideal. Sejatinya, pendidikan berfungsi sebagai pemantik pergerakan dan kemajuan bangsa. Sayangnya, dalam realitas, pendidikan justru sering kali menjadi problematik dan menyimpang dari orientasi ideal yang diharapkan.

Seharusnya, pendidikan menjadi sorotan utama dalam menyongsong visi Indonesia Emas 2045. Pendidikan ibarat rahim tempat embrio bangsa berkembang, tumbuh, dan kelak melahirkan generasi yang membawa nilai-nilai kebaruan dalam berpikir serta bertindak.

Salah satu persoalan utama adalah pergantian kurikulum yang terus-menerus setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan. Padahal, kurikulum yang sedang berlaku sering kali masih dalam tahap transisi dan pengembangan. Sayangnya, karena ambisi para pemangku kebijakan untuk menunjukkan eksistensi politiknya, pergantian kurikulum menjadi ajang seremonial semata. Orientasi kurikulum sebagai pedoman pendidikan justru terabaikan dan kehilangan substansinya.

Setiap daerah tentu memiliki tantangan berbeda, mulai dari akses, sarana-prasarana, hingga kesiapan tenaga pendidik. Maka, pelaksanaan kurikulum baru harus didukung oleh prasyarat yang memadai agar proses belajar mengajar berlangsung efektif. Namun, saat implementasi kurikulum belum mencapai hasil maksimal, kurikulum sudah kembali berganti, dengan dalih transformasi yang lebih dinamis.

Kesenjangan Wilayah dan Kualitas

Selain kurikulum yang terus berganti, masalah lain yang tidak kalah penting adalah kesenjangan kualitas pendidikan antara wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) dan wilayah perkotaan. Wilayah-wilayah yang justru seharusnya menjadi prioritas pembangunan malah terabaikan dan terisolasi. Akibatnya, banyak siswa yang terpaksa putus sekolah, baik karena faktor ekonomi, sosial, maupun jarak yang terlalu jauh dari sekolah.

Padahal, hak atas pendidikan telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat 1 dan 2. Ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, sementara ayat 2 menegaskan bahwa “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Pendidikan bukan hanya soal siswa yang belajar, tetapi juga guru yang mengajar. Guru merupakan lumbung ilmu dan teladan bagi para siswa. Namun, di lapangan, masih banyak guru yang kesulitan mengakses pelatihan, belum memenuhi kualifikasi dalam mata pelajaran tertentu, atau mengalami distribusi yang tidak merata, terutama di daerah yang kekurangan tenaga pendidik.

Selain itu, kesejahteraan guru, khususnya di daerah terpencil, juga masih memprihatinkan. Ini sangat ironis mengingat setiap tahun banyak yang lulus dari perguruan tinggi, namun apa yang menjadi latar belakangnya tentu masih kurangnya peningkatan kualitas guru baik pada saat di perguruan tinggi maupun setelah lulus.

Peringkat PISA dan Kompetensi Abad 21

Berdasarkan hasil terbaru dari Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia menempati peringkat ke-68 dalam kualitas pendidikan. PISA mengukur kemampuan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berkomunikasi secara efektif—kompetensi yang sangat penting di abad ke-21.

Tahun 2022 menunjukkan penurunan skor rata-rata sebesar 2–13 poin dalam bidang matematika, membaca, dan sains dibandingkan tahun 2018. Hasil ini merupakan yang terendah secara keseluruhan. Rendahnya skor tersebut mencerminkan belum optimalnya sistem pendidikan Indonesia dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan nyata dan dunia kerja yang kompleks.

Ketiadaan pendidikan yang menumbuhkan nalar kritis berpotensi melahirkan generasi yang hanya siap bekerja, bukan menggerakkan perubahan. Pendidikan kita masih dominan dengan pendekatan hafalan. Siswa didorong untuk mengikuti apa yang sudah ada, bukan menciptakan sesuatu yang baru. Akibatnya, lahirlah generasi yang hanya mendengar, tidak terbiasa berpikir reflektif, dan tunduk pada kebenaran yang sudah dipaketkan. Jika hal ini dibiarkan maka akan menjadi batu sandungan bagi anak bangsa.

Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak hanya dijadikan peringatan rutin atau hari libur semata. Ia harus dimaknai sebagai alarm bagi seluruh pemangku kepentingan untuk kembali sadar akan pentingnya mendesain, merawat, dan mengembangkan sistem pendidikan sebagai rahim tempat tumbuhnya generasi pelanjut bangsa.

Pendidikan harus bisa merata dari sabang sampai merauke, tak mengenal ras, suku, agama dan golongan. Pendidikan harus menjadi perioritas utama jika bangsa ingin maju dan bersaing skala global. Jika negara gagal melahirkan tunas tunas pembaharu maka negara akan tertinggal dari negara-negara lain.

Sudah semestinya sejarah bom Nagasaki dan Hiroshima menjadi hilal bagi para pemimpin bangsa bahwa pendidikan adalah titik awal bangsa yang maju. Sumberdaya manusia unggul adalah cerminan bangsa yang kuat, maka sudah sepatutnya investasi di sektor pendidikan menjadi perioritas utama negara.

Akhir kata, penulis berharap setiap elemen-elemen pendidikan mampu merumuskan kebijakan yang relevan dan melalui pengkajian mendalam agar tak sekedar merancang. Pendidikan Indonesia sangat vital menyongsong cita cita Indonesia emas 2045 kedepan

*Sekretaris Bidang Riset Pengembangan Keilmuan  PC. IMM Sinjai Periode 2025-2026

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply