Oleh: Agusliadi Massere*
Khususnya dalam lingkungan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) ada hal yang keren, sangat akrab didengar atau dibaca, dan memiliki implikasi yang sangat strategis. Apa itu? Jawabannya adalah “Pengawasan partisipatif”.
Dari berbagai literatur, secara sederhana pengawasan-partisipatif adalah kolaborasi antara Bawaslu dan masyarakat dalam meningkatkan fungsi pencegahan dan pengawasan. Bahkan, untuk mewujudkan kepentingan ini, Bawaslu sangat serius dan intens melakukan kegiatan yang muara utamanya adalah pembekalan dan peningkatan kapasitas dalam rangka pengawasan-partisipatif tersebut. Pendidikan Pengawasan Partisipatif (P2P) dan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP) adalah bentuk kegiatan yang dimaksud.
Mencermati Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dari pasal ke pasal, pengawasan partisipatif bukan hanya sebagai derivasi dan elaborasi yang kreatif, tetapi secara fungsional sangat strategis. Bukan sesuatu yang dipandang melanggar aturan, bahkan jika memahami secara filosofis dan ideologis konstitusi negara, merupakan hak dan kewajiban masyarakat.
Atas interpretasi di atas, saya menyimpulkan bahwa pengawasan-partisipatif adalah kristalisasi dari konsepsi “Pemilih Berdaulat”. Pemilih berdaulat yang terkadang hanya terkesan sebagai tagline yang menghiasi desain spanduk kegiatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam pandangan saya—idealnya menjadi pandangan kita semua—adalah basis filosofis dan ideologis yang harus dikonstruksi sebagai bangunan operasional yang memengaruhi tindakan dan perilaku kita dalam proses demokrasi atau Pemilu/Pemilihan.
Pemilih berdaulat pun, dalam perspektif saya adalah derivasi dari “kedaulatan rakyat” yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari hal ini, idealnya pemilih-berdaulat pun harus menjadi napas utama proses demokratisasi.
Bagaimana pemahaman operasionalnya, “Pengawasan Partisipatif sebagai Kristalisasi Pemilih Berdaulat”?
Sebagai warga negara Indonesia, minimal ada tiga hal yang harus dipahami relevansinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: konstitusi negara Indonesia telah menggariskan bahwa rakyatlah sebagai pemegang kedaulatan; dalam menjalankan pemerintahan ada proses pemberian mandat dari rakyat; dan prosesi pemberian mandat itu dilakukan melalui instrumen strategis demokrasi yaitu Pemilu/Pemilihan.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, setiap dari kita bisa dipastikan, karena hal itu bersifat manusiawi, bahwa akan senantiasa menjaga dengan baik apa yang menjadi hak dan/atau yang berada dalam wilayah kepemilikannya. Sesuatu yang menjadi hak dan/atau berada dalam wilayah kepemilikannya, ketika diberikan ke pihak lain untuk dikelola, secara psikologis bisa dipastikan akan mengedepankan sikap dan/atau tindakan kehati-hatian.
Cara pandang di atas sebagai sesuatu yang manusiawi, ternyata jika kita mencermati realitas kehidupan di masyarakat seringkali tidak berlaku dalam persoalan memandang Indonesia sebagai hak atau berada dalam wilayah kedaulatan rakyat. Kita abai dalam sikap bahwa Indonesia adalah milik kita—tepatnya milik bersama—yang harus dijaga dengan baik. Selanjutnya harus pula diberikan hak kelola dan penataannya kepada aktor-aktor yang tepat.
Pada tulisan lain, saya pernah menjelaskan, jika Indonesia diandaikan sebagai “kapal” dan kita menyebut saja dengan “kapal kebangsaan” adalah milik rakyat. Rakyat selain sebagai pemilik, juga menjadi bagian di dalam kapal tersebut. Setiap lima tahun sekali dalam pesta demokrasi, rakyat—yang memiliki hak memilih—memilih sosok pemimpin dan wakil yang dipercayakan sebagai nakhoda kapal yang akan mengendalikan dan membawa kapal tersebut berlayar.
Dari pandangan tersebut, bahwa rakyatlah sebagai pemilik kapal-kebangsaan dan sekaligus menjadi bagian di dalamnya, maka idealnya mengedepankan sikap kehati-hatian dan cerdas dalam memilih pemimpin dan wakil yang akan menjadi nakhoda. Hal ini menjadi penting dan strategis karena merekalah para nakhoda itu, yang mengendalikan ke mana kapal ini akan berlayar.
Ketika kapal tersebut berlayar menuju pulau pribadi, keluarga dan golongan, tidak berlayar ke pulau yang menjadi harapan rakyat atau menjadi cita-cita para founding fathers sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka yang akan merasakan dampaknya adalah si pemilik kapal: rakyat.
Selain itu jika diberikan kepada calon nakhoda yang tidak tepat, maka selain salah arah dalam berlayar, bisa pula berpotensi kapal tersebut tenggelam. Dalam kondisi seperti ini bisa dipastikan semuanya akan merasakan dampaknya. Hukum sosial memang seperti ini, akibat perbuatan seseorang tidak bisa ditentukan/dipilih dan seringkali yang merasakan dampaknya tidak bisa dicegah dan dibatasi hanya untuk pelakunya saja.
Dari pemahaman di atas, dan idealnya menjadi kesadaran bersama, maka kita semua, rakyat khususnya pemilih, dalam Pemilu atau Pemilihan harus mau dan mampu melakukan apa yang disebut dengan “pengawasan partisipatif” tersebut. Dalam pemahaman dan kesadaran ini mengandung hak dan kewajiban rakyat atau pemilih itu sendiri.
Sebagai bentuk pengawasan-partisipatif, idealnya dalam setiap tahapan pemilu, siapapun yang merasa sebagai rakyat apalagi sebagai pemilih terlibat secara proaktif dan cerdas melakukan pengawasan, minimal langkah pencegahan. Hal ini dilakukan agar setiap proses yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan dilakoni oleh para peserta pemilu, berada dalam koridor aturan yang ditentukan, rel integritas dan profesionalitas.
Pengawasan-partisipatif dalam setiap tahapan pemilu dilakukan karena outcome dari semuanya akan dirasakan oleh rakyat terutama pemilih itu sendiri. Dan jika pembaca memahami salah satu makna dari demokrasi-substansial yang saya uraikan dalam tulisan saya kemarin “Literasi Politik Menuju Demokrasi Substansial”, maka pengawasan-partispatif bagian dari makna government by the people, yang intinya terkait social control.
Jika pengawasan partisipatif secara fungsional dan operasional berjalan dengan baik mengiringi setiap tahapan pemilu, maka bisa dipastikan bukan hanya “input”, “process” dan “output” Pemilu yang berkualitas dan berintegritas, namun yang paling utama adalah “outcome”-nya. Pengawasan partispatif mampu mencegah terjadinya politik uang, kampanye SARA, dan penyebaran hoax yang seringkali menciderai proses menuju Pemilu yang berkualitas dan berintegritas.
Melampaui dari pengertian pengawasan-partispatif yang secara substansial terkesan wajib membangun kolaborasi resmi dengan Bawaslu. Idealnya, atas dasar pemahaman dan kesadaran filosofis dan ideologis secara mandiri dan kolektif tanpa kerjasama dengan Bawaslu pun, masyarakat terutama pemilih harus melakukan pengawasan atau social control terhadap setiap tahapan pemilu dan seluruh proses demokratisasi. Hal ini menjadi penting karena dampak dari semua ini, tanpa kecuali akan dirasakan oleh masyarakat.
Hanya saja disadari bahwa untuk memaksimalkan fungsi dan peran masyarakat dalam pengawasan- partisipatif maka penting untuk diberikan bekal pengetahuan dan pemahaman. Dan di sinilah peran Bawaslu untuk memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut.
Jika pun kita tidak tersentuh dengan program dan kegiatan P2P dan SKPP Bawaslu tersebut di atas, melalui literasi politik yang baik dan matang, pemahaman dan kesadaran untuk menjalankan fungsi dan peran pengawasan-partisipatif harus tetap jalan atau diperankan. Sekali lagi ini memiliki relasi positif dengan hak, kewajiban, wilayah kedaulatan termasuk dengan logika dan analogi “kapal-kebangsaan” di atas.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023