Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Pengendalian Diri: Algoritma Puasa Ramadan

×

Pengendalian Diri: Algoritma Puasa Ramadan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO. – Bagaimana alam semesta dan kehidupan ini bekerja, sesungguhnya itu berada dalam algoritma yang disusun oleh Allah. Allah pula yang mengatur algoritmanya sehingga sikap dan perilaku manusia di muka bumi akan menentukan seperti apa bentuk kehidupan manusia yang bersangkutan di akhirat kelak. Apakah akan di surga atau di neraka. Bahkan, Allah pun mengatur algoritmanya sehingga jika kita memperhatikan dengan baik, kita akan mendapati ternyata ayat-ayat qauliyah tidak bertentangan dengan ayat-ayat kauniyah.

Dalam konteks kehidupan dunia dan bagaimana manusia menjalani hidup dan kehidupannya di muka bumi ini, ternyata itu tidak terlepas dari algoritma yang telah diciptakan oleh Allah. Jika kita mengenal dalam kehidupan ini yang disebut dengan sunnatullah atau hukum  alam dan law of attraction (hukum tarik-menarik) yang pengaruhnya sangat besar dan kuat bagi manusia, itu karena di dalamnya Allah telah menanamkan satu jenis algoritmaNya sehingga mekanisme kerjanya sangat dahsyat dan terasa bagi manusia.

Sama halnya ketika seseorang ingin menguasai skill atau kemampuan tertentu, Allah pun telah menyiapkan satu hukum alam yang berlaku bagi diri manusia.  Algoritmanya itu selain melakukan latihan untuk mengetahui cara kerjanya yang benar, harus pula dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan kesempurnaan.

Practice makes right, repetition makes perfect. Hukum alam atau sunnatullah ini disebut habits (kebiasaan). Berdasarkan algoritmanya, ketika sudah menjadi kebiasaan, maka cepat atau lambat akan menjadi karakter. Setelah itu menjadi nasib dalam hal ini—dalam konteks skill tersebut—menjadi keahlian dan bisa menjadi jati diri sejati dalam konteks sikap dan perilaku.

Pernahkah kita menyaksikan bagaimana kehebatan dan kemahiran kungfu para Shaolin. Para freestyle skater pun jika kita menontonnya betapa hebatnya melakukan atraksi-atraksi dan gerakan bebasnya dengan sepatu roda. Begitu pun para penari balet bagaimana kelincahan tubuhnya menunjukkan skill yang luar biasa. Para pemain sirkus pun kita sering kali dibuat kagum atas akrobat yang dimainkannya. Skill dan kehebatan tersebut diperolehnya karena dirinya telah berproses mengikuti hukum alam dan algoritma yang telah disusun dan diciptakan Allah yang berlaku di alam semesta dan dalam diri setiap manusia.

Jika ingin ditambahkan satu contoh lagi. Hari ini, saya sudah semakin mahir menulis. Jika mendapatkan judul tulisan lalu memikirkannya secara serius sambil membaca buku kurang lebih satu jam, maka setelah berhadapan dengan laptop, dalam waktu dua jam nonstop, bisa menghasilkan tulisan yang panjangnya kurang lebih sama dengan keseluruhan tulisan yang sahabat pembaca sedang membacanya ini atau tulisan-tulisan saya yang sering dibacanya. Skill ini saya miliki setelah berproses mengikuti sunnatullah habits dan Algoritma Allah tersebut di atas.

Sampai pada untaian ini, kita sudah membaca dan menemukan beberapa kali diksi tentang Algoritma Allah. Dalam konteks teknologi sudah pasti algoritma itu adalah “langkah metodis” yang memengaruhi atau dipengaruhi oleh sirkuit listrik dan gir-gir mekanik untuk memecahkan sebuah masalah dan/atau menemukan suatu solusi/kesimpulan yang tepat dan akurat. Kurang lebih ini penjelasan algoritma dalam konteks teknologi oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya, Homo Deus. Dalam konteks diri manusia proses algoritma itu menurut Harari dipengaruhi oleh sensasi-sensasi, emosi-emosi, dan pikiran-pikiran.

Harari sama sekali tidak menyinggung tentang Algoritma Allah. Namun, pemahaman saya tentang Algoritma Allah pun sedikit-banyaknya mendapatkan inspirasi dari Harari. Algoritma Allah tentu saja dipengaruhi oleh kekuasaan, kehendak, keadilan, keteraturan, keseimbangan, kasih sayang, rahmat, serta ketentuan perintah , larangan, dan rida Allah. Termasuk Algoritma Allah tentunya memberikan ruang pula atas kehendak bebas yang Allah berikan kepada manusia dan jenis takdir yang telah Allah tetapkan bagi tiap-tiap makhluk ciptaannya.

Setelah kita mendapatkan sedikit penjelasan tentang Algoritma Allah di atas, kita pun tentunya sudah bisa menangkap dan memahami bahwa bulan Ramadan pun sejatinya, di dalamnya terdapat algoritma yang telah susun, tentukan dan ciptakan  oleh Allah. Sebagaimana telah saya jelaskan di atas bahwa Algoritma Allah pun mengatur mekanisme dan ketentuan sehingga antara ayat qauniyah dan ayat kauliyah tidak akan bertentangan.

Perintah puasa khususnya selama dalam bulan Ramadan sejatinya mengandung algoritma yang muaranya menjadi sejenis “langkah metodis” untuk membentuk manusia yang menjadi harapan. Manusia yang bertakwa dan menebar kebaikan dan kemanfaatan bagi makhluk lainnya. Apatah lagi manusia diutus di muka bumi ini sebagai khalifah. Bisa dipastikan bahwa semua perintah Allah tanpa kecuali puasa—terutama puasa Ramadan—itu menunjang mandat kosmik manusia yang mengemban amanah mulia namun berat dalam logika dan rasionalitas manusia.

Jika memperhatikan misi mulia manusia—beribadah, khalifah, dan berdakwah—maka sesungguhnya sikap dan perilaku manusia di muka bumi ini harus mampu menjawab “keraguan malaikat” yang menilai manusia hanya menimbulkan pertumpahan darah di muka bumi. Sesungguhnya modal untuk menjawab “keraguan malaikat” tersebut, manusia atau setiap orang telah memilikinya mulai dari komitmen ilahiah yang diikrarkan sebelum ruh ditiupkan ke dalam janin dirinya.

Setelah ikrar suci berupa komitmen ilahiah, manusia pun dibekali akal dan kalbu agar memiliki perangkat internal untuk membedakan benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. Kemudian dalam kehidupannya pun dituntun dengan nilai dan ajaran agama, dan melewati proses pendidikan. Allah pun membuat satu ajaran berupa rukun Islam yang tujuannya bisa dpandang sebagai pengasah bagi rukun iman agar tidak berkarat dalam melindungi suara hati agar tetap senantiasa terbebas dari belenggu hati dan memancarkan suara ilahiah.

Satu di antara rukun Islam itu adalah puasa wajib pada bulan Ramadan. Ini pun, algoritma sesungguhnya mengandung tujuan yang mendukung mandat kosmik manusia dari Allah sebagai khalifah. Artinya mandat kosmik dari Allah ini, mensyaratkan manusia menjadi manusia yang baik, berjalan dalam rel kebenaran dan mampu memilih hal-hal etis dan/atau patut untuk dilakukan bagi sebagai hamba Allah maupun berdasarkan identitas yang melekat pada dirinya dalam konteks keduniawian.

Salah satu karakter yang dibutuhkan agar manusia yang mengemban amanah mulia berupa mandat kosmik dari Allah bisa mengimplementasikannya dengan baik untuk memberikan implikasi positif dan konstruktif, maka “pengendalian diri” menjadi hal penting. Ternyata jika kita memperhatikan, memahami, dan menyadari dengan baik, maka algoritma yang Allah tanamkan dalam perintah puasa pada bulan Ramadan itu bisa mewujudkan manusia berkarakter dengan pengendalian diri yang kokoh.

Bahasa Al-Qur’an sebagaimana QS. Al-Baqarah [2]: 183, kita bisa menemukan penegasan bahwa dengan berpuasa kita menjadi bertakwa. Menurut Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag tattaqun yang terkandung dalam ayat tersebut berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayatan, yang artinya “hidup berhati-hati”. Dalam pemahaman sederhana saya, hidup berhati-hati tentunya mensyaratkan kemampuan yang disebut “pengendalian diri”.

Apa lagi berdasarkan ayat tersebut di atas, kita bisa memahami bahwa bisa dipastikan algoritmanya dalam konteks algoritma yang bekerja dalam hukum alam yang bernama habits bisa lebih dahsyat ketimbang apa yang lahir dari yang didapatkan dari penari balet, para kungfu master, skater, dan pemain sirkus.

Maksud saya puasa bulan Ramadan ini bisa pula dilihat dalam konteks hukum alam dan algoritma yang bekerja dalam habits (hukum kebiasaan). Karena puasa ini, dilakukan selama dua puluh atau tiga puluh hari maka idealnya algoritma repetition (pengulangan atau pembiasaan) akan dilewati. Hal practice-nya pun sudah pasti akan dilewati karena sejak sekolah dasar kita telah mendapatkan banyak pemahaman bagaimana rukun-rukun puasa dan hal-hal apa yang harus dihindari dan sebaiknya dilakukan.

Artinya, puasa dan semua ibadah yang mengiringi puasa kita selama bulan Ramadan sejatinya itu membentuk kebiasaan dan membentuk karakter bagi yang melaksanakan. Karakter utama yang terbentuk jika kita memahami, menyadari, dan merasakannya secara langsung itu adalah pengendalian diri. Sebab, inti dari puasa, kita diajarkan untuk melakukan pengendalian diri.

Istimewanya, puasa bulan Ramadan ini bukan hanya bekerja dalam hukum alam habits dan algoritma seperti yang memproses pada pencapaian skill penari balet, skater dan shaolin di atas. Di dalam perintah berpuasa wajib pada bulan Ramadan itu pun tentunya algoritma lebih dahsyat karena Allah menjanjikan predikat atas prestasi spiritual dari puasa berupa “takwa”. Terkait ini tentu saja Allah memasukkan ke dalam algoritmanya hal tersebut, apa lagi algoritma ini adalah algoritma inti dari Allah sudah pasti dan tidak mungkin Allah mengintervensinya ke arah yang lain.

Berbeda dengan sunnatullah, hukum alam, dan algoritma yang Allah ciptakan khusus untuk konteks kehidupan duniawi dan kehidupan muamalah manusia, bisa saja berubah atas intervensi dari Allah sendiri. Ketika hak prerogatif Allah hadir untuk sesuatu yang lebih baik dari pandanganNya.

Jika algoritma puasa bulan Ramadan sangat istimewa, sejatinya manusia-manusia yang berpuasa pada bulan Ramadan mencapai karakter pengendalian diri. Tentunya indikator terbaiknya dalam kehidupan duniawi, mampu mengendalikan diri dalam perbuatan-perbuatan negatif dan destruktif seperti menipu, mencuri, korupsi, melanggar etika jabatan, dan mengkhianti sumpah janji jabatan yang diucapkan atas nama Allah.

Jika ada yang berpuasa kemudian tidak mampu mengendalikan dirinya, sebenarnya bisa dipastikan ada hal yang tidak tepat dalam proses puasanya sehingga tidak sesuai dengan Algoritma Allah sehingga janji “takwa” bagi yang berpuasa tidak bisa diraihnya sebagai prestasi spiritual.

Ternyata dalam kehidupan ini, kita menemukan masih banyak orang yang berpuasa tetapi korupsi bahkan ada yang korupsinya sangat sadis dan gila sehingga sangat tampak bahwa mereka menjalani kehidupannya di luar batas normal, kewajaran, dan kewarasan. Agama pun menegaskan bahwa ada orang yang berpuasa, tetapi hanya merasakan lapar dan dahaga. Mungkin karena lapar dan dahaga ini lebih terasa sehingga yang menjadi karakternya adalah “lapar” dan “dahaga”. Akhirnya karena karakternya seperti itu, meskipun telah berpenghasilan bulanan ratusan juta sampai miliaran, dirinya masih melakukan korupsi dengan tingkat “tergila”.

Sumber gambar: oase.id

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply